x

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di Media Center Kemenko Polhukam, Jakarta, 29 Oktober 2019. Tempo/Friski Riana

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 18 November 2019 14:25 WIB

Ruang Bermain yang Kini Mengunci Mahfud Md sebagai Menteri

Inilah dilema yang akan selalu dihadapi oleh cendekiawan, siapapun dia, tatkala berhadapan dengan kekuasaan: berusaha tetap kritis sekalipun berada di dalamnya, melangkah keluar karena nuraninya sukar menerima, atau membiarkan dirinya larut dalam pesona kuasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika seorang akademisi ataupun cendekiawan atau aktivis kemasyarakatan diminta Presiden untuk membantunya di kabinet, mungkin ia berpikir tentang kontribusi yang bisa ia berikan. Ia barangkali sudah berangan-angan untuk melakukan perubahan-perubahan penting yang seiring dengan napas perjuangannya. Namun, angan-angan itu kemudian terbentur pada batasan yang diberikan Presiden: “Tidak ada visi misi menteri, yang ada adalah visi misi Presiden.”

Presiden Jokowi sudah mengingatkan hal itu pada hari pertama sidang kabinet. Maknanya, gerak langkah seorang menteri, yang semula dikenal sebagai akademisi ataupun aktivis hebat, tetap akan dibingkai oleh visi misi Presiden. Itulah ruang bermain yang disediakan Presiden. Sebagai pembantu Presiden, menteri tidak boleh bermain di luar ruang itu, sebab bisa dianggap melanggar visi dan misi Presiden.

Batasan itulah agaknya yang juga membingkai Prof. Mahfud Md, guru besar Universitas Islam Indonesia [UII]. Ketika Mahfud ditunjuk sebagai Menkopolhukam, masyarakat berharap bahwa ia dapat berkontribusi dalam menangani berbagai persoalan di bidangnya. Termasuk, misalnya, membereskan utang-utang lama terkait kasus-kasus hak asasi manusia, serta yang mutakhir seperti undang-undang KPK, KUHP, dan sebagainya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masyarakat sangat berharap bahwa Mahfud akan meluruskan apa yang dianggap bengkok oleh rakyat banyak. Dalam isu undang-undang KPK, Mahfud diharapkan dapat ikut mendorong penerbitan Perppu KPK, terlebih karena dia termasuk di antara 42 tokoh yang diundang Presiden ke Istana untuk membicarakan hal itu.

Apakah Mahfud akan mampu memenuhi harapan masyarakat? Dalam isu Perppu KPK, Mahfud mengaku sudah memberi masukan kepada Presiden, tapi dia juga mengingatkan bahwa bukan dia yang mengambil keputusan. Karena itu pula, Mahfud mengatakan, “Jangan berharap banyak dari saya, karena saya sekarang menteri, pembantu Presiden.” Inilah realitas politik yang dihadapi masyarakat.

Sebagai cendekiawan, Mahfud dihadapkan pada dilema antara mendorong agar Perppu KPK dapat diterbitkan dan posisinya sebagai menteri dalam kabinet Jokowi. Gerak langkahnya sudah dikunci oleh bingkai ‘tidak ada visi dan misi menteri, yang ada visi dan misi presiden’. Perppu KPK hanyalah salah satu isu di antara banyak persoalan lain yang menjadi tanggung jawab Mahfud, seperti penanganan pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau.

Meskipun begitu, Mahfud masih bisa memilih apakah akan terus berada di pemerintahan dengan harapan dia tetap bisa memberi masukan kepada Presiden dalam berbagai masalah atau memilih mundur dari kabinet jika merasa banyak kebijakan yang ditempuh pemerintah ternyata tidak sesuai dengan nuraninya. Tentu saja ini berpulang kepada Mahfud, manakah yang lebih berharga baginya di antara pilihan-pilihan itu.

Bagaimanapun, ini bukanlah tipikal dilema Mahfud. Inilah dilema yang akan selalu dihadapi oleh cendekiawan, siapapun dia, tatkala berhadapan dengan kekuasaan: berusaha tetap kritis sekalipun berada di dalamnya, melangkah keluar karena nuraninya sukar menerima, atau membiarkan dirinya larut dalam pesona kuasa. Wallahu ‘alam. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu