x

Hakim PN Depok memvonis 20 tahun penjara untuk bos First Travel Andika Surachman, Rabu, 30 Mei 2018.

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 19 November 2019 14:34 WIB

Soal Aset First Travel yang Diserahkan ke Negara, Bagaimana Hakim Memaknai Keadilan?

Apakah para hakim hanya bertumpu pada teks-teks undang-undang dan kehilangan kebijaksanaan sebagai orang yang dituntut memutus perkara secara adil?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keputusan para hakim Mahkamah Agung bahwa aset perusahaan First Travel dirampas untuk negara telah menyisakan sejumlah pertanyaan: bagaimana sebenarnya para hakim memahami keadilan? Apakah makna keadilan dalam pikiran para hakim? Apakah saat mengambil keputusan atas suatu perkara, pikiran para hakim sunyi dari suara hati nuraninya? Apakah para hakim hanya bertumpu pada teks-teks undang-undang dan kehilangan kebijaksanaan sebagai orang yang dituntut memutus perkara secara adil?

Masyarakat mengetahui bahwa warga yang telah menyetorkan uang untuk biaya beribadah ke Tanah Suci ditipu oleh pemilik sekaligus manajemen First Travel. Warga  tidak jadi berangkat. Uang setoran untuk beribadah digunakan pemilik First Travel untuk hidup bermewah-mewah: rumah, plesir, dan menngoleksi beragam asesori kehidupan.

Pemilik First Travel telah divonis hukuman, namun para hakim Mahkamah Agung memutuskan aset perusahaan ini dirampas untuk negara. Hasil lelang aset tersebut tidak akan dikembalikan kepada warga masyarakat yang menjadi korban. Tentang hal ini, bahkan Kajari Depok sempat menyarankan kepada calon jamaah agar ‘mengikhlaskan’ uang setoran mereka untuk negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana mungkin semua itu terjadi? Di saat seperti ini, rasa keadilan masyarakat kembali terusik. Di hadapan putusan para hakim Mahkamah Agung, para korban itu seakan tidak lagi berdaya, sebab kabarnya upaya hukum bagi warga untuk memperoleh hak mereka sudah tertutup. Benarkah hukum yang adil itu adalah hukum yang kaku tanpa mengenal kebijaksanaan dan rasa empati?

Sukar untuk mengerti mengapa keputusan para hakim MA terkesan mengabaikan posisi warga sebagai korban yang menginginkan haknya dikembalikan. Mungkinkah para hakim memandang setiap kasus semata dari teks-teks tertulis di kitab hukum dan tidak bersikap ‘melampaui’ teks-teks itu, dalam arti mengandalkan pula kearifannya sebagai hakim—figur yang menjadi tumpuan keadilan masyarakat, sosok yang bukan hanya memandang persoalan dari yang tersurat tapi juga dari yang tersirat?

Di satu sisi, teks hukum memang diperlukan agar ada kepastian hukum mengingat harus ada aturan tertulis yang menjadi rujukan bersama dalam pengambilan keputusan suatu perkara. Namun begitu, teks aturan—undang-undang, dalam hal ini—juga disusun dan ditulis manusia, yang juga mungkin terbatas jangkauan wawasannya. Keterbatasan horison dalam memandang persoalan bisa menjadi rintangan dalam menyusun aturan sehingga kemungkinan-kemungkinan tertentu bisa luput dari pengamatan penyusun undang-undang maupun pengambil keputusan suatu perkara.

Persoalan paling mencolok dari putusan para hakim MA ini ialah bahwa para korban penipuan First Travel merasa tidak terpenuhi tuntutan keadilannya. Mereka tidak dapat memperoleh kembali apa yang sebenarnya masih bisa dikembalikan kepada mereka. Apabila para hakim tidak merasa ada yang keliru dalam keputusan yang sudah mereka ambil, barangkali memang ada persoalan dalam cara para hakim memandang dan memaknai keadilan. Wallahu ‘alam. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler