x

Solidaritas Masyarakat Adat Dayak Menuntut Pembebasan Enam Orang Peladang di Depan Pengadilan Negeri Sintang (Kamis, 21/11/2019). Foto : Facebook.com

Iklan

Rian Antony

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Agustus 2019

Jumat, 22 November 2019 09:59 WIB

Berladang Sebagai Aktivitas Kultural Etnis Masyarakat Adat Dayak

Peladang bukan kriminal dan berladang tidak sebatas untuk kebutuhan pangan, tetapi juga untuk melestarikan ikatan spiritual masyarakat adat Dayak dengan tanah, benih, dan roh para leluhur. Saat berladang,‘roh’ padi ditimang, ‘roh’ leluhur dihormati, dan budaya dilestarikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Peladang bukan kriminal dan berladang tidak sebatas untuk kebutuhan pangan, tetapi juga untuk melestarikan ikatan spiritual masyarakat adat Dayak dengan tanah, benih, dan roh para leluhur. Saat berladang,‘roh’ padi ditimang, ‘roh’ leluhur dihormati, dan budaya dilestarikan. Oleh sebab itu, aktivitas 'ngireng padi' yang diwujudkan dengan berladang sangat penting bagi masyarakat adat Dayak.

 

Berladang merupakan salah satu kearifan lokal yang telah dilakukan oleh masyarakat adat Dayak sejak berabat-abat lalu. Selama itu pula pengetahuan dan tradisi berladang diwariskan -pada setiap generasi- bukan hanya tentang mengelola ladang, larangan, mali tetapi juga ritual-ritual yang telah ada.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Berladang bukanlah aktivitas yang sederhana, berladang -menurut masyarakat adat Dayak Lebang- dimulai dari (1) Mangul, sebagai aktivitas pertama yang dilakukan untuk melihat apakah tanah di daerah tersebut layak untuk ditanami padi ataukah tidak. Selain itu, mangul juga dilakukan untuk meminta ijin kepada ‘duato puyang gano’ dalam mengelola tanah dan segala jenis kekayaan yang ada di dalam hutan tersebut.

 

(2) Nebas, sebagai aktivitas yang pembersihan semak belukar. Nebas biasanya dilakukan pada pagi hari dan sesaat setelah hujan. Menurut masyarakat adat Dayak Lebang nebas di pagi hari dan sesaat setelah hujan akan membuat semak belukar lebih mudah untuk dibersihkan. (3) Nebang, merupakan aktivitas penebangan kayu-kayu yang berukuran besar. Di dalam aktivitas nebang, arah tumbang kayu sangat diperhatian -dan biasanya seragam- agar memudahkan dalam proses pembakaran. (4) Ngeladak, merupakan proses pembuatan sekat api mengelilingi ladang. Ngladalak adalah proses yang sangat penting dalam mencegah terjadinya kebakaran.

 

(5) Nunu, adalah proses membakar ladang. Bagi masyarakat adat Dayak nunu bukanlah aktivitas sederhana. Nunu adalah proses memberi makan api. Maka dari itu sebelum nunu selalu ada ritual khusus agar api bisa ‘dijinakkan’. Selain itu, nunu juga memperhitungkan arah tumbang kayu, memperhitungkan arah angin dan dilakukan menjelang matahari terbenam. Karena di waktu tersebut, angin sudah mulai stabil dan tanah sudah mulai dingin. Nunu juga dilakukan secara bersama-sama sehingga sangat kecil kemungkinan terjadinya kebakaran. Nunu bukanlah akhir dari proses untuk bisa menaman padi. Masih ada proses lainnya yakni manuk.

 

(6) Manuk, adalah proses membakar kayu-kayu yang tidak terbakar habis oleh api. Manuk biasanya dilakukan dengan menumpukkan kayu-kayu di beberapa tempat dan kemudian membakarnya. Di tempat inilah bisanya ditanam ‘tanaman kampung’ dan tanaman obat-obatan. Setelah aktivitas ini selesai barulah nugal. (7) Nugal merupakan proses menanam padi. Nugal dilakukan secara bersama-sama dan penuh dengan candaan, kebersamaan, dan rasa syukur. Pada saat nugal berbagai ritual dibacakan dan segala mahluk hidup ‘disapa’ dengan cara-cara yang digariskan oleh nenek moyang.

 

Begitulah proses yang harus dilalui untuk bisa meletakan kembali benih yang titipkan oleh nenek moyang kami berabat-abat lalu. Begitulah cara yang kami dilalui untuk bisa menyapa dan hidup berdampingan dengan mahluk-mahluk yang ada ‘di sekitar’ kami. Keadaan ini seperti ‘roh kehidupan’ dari tatanan hidup bersama yang harus yang dijunjung tinggi dan tak lekang oleh waktu.

 

Proses terakhir dalam berladang adalah manyi. (8) Manyi adalah proses memanen padi sekaligus waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh peladang. Saat Manyi pertama dilakukan maka sebuah keluarga akan melakukan pesta dengan mengundang seluruh kerabat untuk makan malam bersama, menikmati ‘beras baru’, empeng, tetempik, jaok dan semua hal yang diberikan oleh alam. Kegiatan ini –menurut masyarakat adat Dayak lebang- disebut datang taun.

 

Bisa dibayangkan, betapa indahnya hidup dalam tradisi dan kebudayaan masyarakat adat Dayak. Hidup yang diistimewakan oleh alam dan hidup dalam balutan tawa dan kebahagiaan. Begitulah kehidupan masyarakat adat Dayak, berulang-ulang selama berabat-abat. Itulah kebahagiaan masyarakat adat Dayak, kebahagian yang menurut Thomas Aquinas terletak pada produk aktivitas virtus (keutamaan) itu sendiri.

 

Peladang bukan Kriminal

 

Mengingat begitu erat hubungan antara masyarakat adat Dayak dengan alam lingkungannya. Maka dari itu, tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa larangan membakar ladang sama halnya dengan membunuh masyarakat Dayak, membunuh budaya dan tradisi Dayak serta memutus tadi persaudaraan antara masyarakat adat Dayak dengan alam, nenek moyang dan liyan secara perlahan. Karena itu adalah benar apa yang dilakukan dan apa yang disuarakan oleh teman-teman di depan Pengadilan Negeri Sintang bahwa ‘Peladang bukan Kriminal’.

 

Teriakan ‘Peladang bukan Kriminal’ bukan hanya teriakan pembelaan dan tuntutan keadilan terhadap kriminalisasi yang terjadi, tetapi juga sebagai upaya dari masyarakat untuk meletakkan hukum pada posisi yang seharusnya.

 

Bagi kami, ‘Fiat Justitia et Ruat Coelum’ Keadilan harus ditegakan, meskipun langit rutuh sekalipun.

 

Pasal 69 ayat 2 Undang-undang No. 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, memberikan ruang bagi pembukaan lahan dengan cara membakar agar memperhatikan kearifan lokal. Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini merujuk pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10/2010, yang mengatur masyarakat adat bisa membuka lahan maksimal 2 Ha per kepala keluarga. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten Sintang sudah mengakomodir kearifan lokal masyarakat adat dengan menerbitkan Peraturan Bupati Sintang Nomor 57 tahun 2018 tentang tata cara pembukaan lahan bagi masyarakat.

 

Atas dasar itulah kami menolak dengan tegas upaya-upaya kriminalisasi yang dilakukan aparat terhadap keenam Peladang tersebut, mengingat pembukaan lahan dengan cara membakar yang mereka lakukan masih dalam batas yang seharusnya.

 

Sementara itu timbul pertanyaan apa dasar yang digunakan untuk menjerat keenam Peladang tersebut? Mungkinkah Aparat menangkap masyarakat dengan dalih mengikuti Instruksi Presiden Joko Widodo yang menginginkan penindakan tegas terhadap pembakar hutan? Ataukah ada upaya untuk ‘mengkambinghitamkan’ masyarakat adat Dayak sebagai biang atas kebakaran hutan?

 

Dan pada saat yang sama kami juga bertanya ke mana, di mana dan sampai mana proses hukum terhadap Perusahaan-perusahaan yang telah disegel KLKH?

 

Tidak ada jawaban yang pasti. Akan tetapi penangkapan sekaligus persidangan terhadap enam orang peladang di Kabupaten Sintang bukanlah fenomena biasa. Ini adalah teror, ancaman dan sebuah penghinaan terhadap budaya masyarakat setempat. Dan yang lebih penting untuk dipahami bersama bahwa ini merupakan cara paling halus yang dilakukan oleh kapitalis dan kepentingannya untuk menyalahkan Peladang sebagai biang atas kebakaran hutan, kabut asap dan rusaknya habitat flora dan fauna.

 

Karena mau tidak mau, suka tidak suka selalu ada kepentingan di belakang jargon-jargon keadilan dan penindakan.

 

Rian Antony

Citizen Journalism

 

 

Ikuti tulisan menarik Rian Antony lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler