x

Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua MPR Bambang Soesatyo (dua di tengah) bersalaman di acara rapat pimpinan nasional (Rapimnas) Golkar, Hotel Ritz-Carlton, Jakarta pada Kamis, 14 November 2019.

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 1 Desember 2019 16:49 WIB

Kematangan Golkar dan Tudingan Intervensi Menteri

Sebagai partai tertua dibandingkan partai-partai lain yang saat ini ada, Golkar tampaknya belum berhasil membangun tradisi peralihan kepemimpinan yang mulus. Mulus bukan berarti harus aklamasi, melainkan tidak diwarnai oleh gejolak internal yang tajam di antara sesama kader partai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kehebohan menjelang Musyawarah Nasional [Munas] Golkar yang diadakan Desember ini mewarnai berita media massa. Tensi di internal partai ini terkesan terus naik mendekati hari H Munas. Perebutan kursi ketua umum partai telah menciptakan pengelompokan kader ke dalam kubu-kubu. Ada beberapa orang kader yang dikabarkan mendaftar untuk menjadi ketua umum, namun sejak awal persaingan keras berlangsung antara Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo. Kedua figur ini sebenarnya sudah menduduki jabatan penting: Airlangga sebagai Menko Perekonomian dan Bamsoet sebagai Ketua MPR. Namun, jabata ketua umum Golkar memang punya arti strategis tersendiri bagi politikus.

Seperti diberitakan oleh beberapa media, persaingan ini bahkan diwarnai tudingan dari pendukung Bamsoet bahwa tiga orang menteri mengintervensi rencana Munas Golkar dengan tujuan agar Airlangga yang terpilih. Nama menteri yang disebut-sebut adalah Mensesneg Pratikno, Menseskab Pramono Anung, dan Menko Maritim Luhut Panjaitan. Seperti dikutip media, Menteri Pratikno membantah tudingan itu: “Apa urusanku sama mereka?”

Persaingan keras di antara kader Golkar untuk menduduki posisi ketua umum partai bukanlah hal baru. Lima tahun lalu, 2014, lahir dua kepengurusan Golkar, yang satu dipimpin oleh Aburizal Bakrie dan yang satu lagi dipimpin oleh Agung Laksono. Kepengurusan Agung yang kemudian memperoleh pengesahan Kementerian Hukum dan HAM, namun digugat oleh kubu Bakrie melalui pengadilan. Setelah kubu Agung sempat menang di tingkat PTUN, Mahkamah Agung mengambil keputusan yang berbeda dengan mengabulkan kasasi yang diajukan kubu Bakrie. Rekonsiliasi berhasil dicapai pada 2016 setelah Jusuf Kalla, mantan ketua umum Golkar yang ketika itu menjabat Wapres-nya Jokowi, turun tangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perpecahan semacam itu cukup mengherankan mengingat Golkar merupakan partai politik yang sudah berusia lebih dari setengah abad—bila dihitung sejak terbentuknya Sekber Golkar pada Oktober 1964. Artinya, ketidakpuasan di antara kader partai selalu ada, dan semakin mengerucut menjelang pemilihan ketua umum yang baru. Kali ini diwarnai oleh isu tentang dukungan Istana dan kemudian berlanjut dengan tudingan intervensi sejumlah menteri agar pemegang hak pilih, dalam hal ini Dewan Pimpinan Daerah [DPD] Golkar, memilih Airlangga.

Sebagai partai tertua dibandingkan partai-partai lain yang saat ini ada, Golkar tampaknya belum berhasil membangun tradisi peralihan kepemimpinan yang mulus. Mulus bukan berarti harus aklamasi, melainkan tidak diwarnai oleh gejolak internal yang tajam di antara sesama kader partai. Dualisme kepemimpinan seperti yang terjadi lima tahun lalu merupakan salah satu bukti bahwa partai ini belum berhasil meletakkan budaya politik yang mampu mengakomodasi secara adil pandangan-pandangan yang berlainan di antara kader-kadernya.

Salah satu sebab persaingan ini boleh jadi karena unsur-unsur pembentuk Golkar belum berhasil meninggalkan ‘warisan genetik’ masing-masing untuk melebur sepenuhnya menjadi Golkar. Sekber Golkar dibentuk 55 tahun lalu sebagai salah satu motor yang digerakkan oleh Suharto untuk menopang tegaknya Orde Baru. Golkar waktu itu menghimpun 7 kelompok kekaryaan [KINO], antara lain Kosgoro, SOKSI, MKGR, dan Hankam. Masing-masing ormas sayap partai cenderung punya calon tersendiri untuk maju ke kursi ketua umum.

Tidak heran bila perebutan kursi ketua umum kali ini juga diwarnai oleh perebutan dukungan dari ormas-ormas sayap Golkar ini. Akibatnya, ormas sayap Golkar pun terimbas oleh persaingan Airlangga-Bamsoet. MKGR, misalnya, terbelah dalam kubu pendukung Airlangga dan kubu pendukung Bamsoet. Siapapun nanti yang terpilih sebagai ketua umum baru, ia mestinya menyadari pentingnya membangun budaya politik di internal partai, termasuk tradisi peralihan kepemimpinan yang baik, maupun menjaga kemandirian partai dari kemungkinan intervensi pihak-pihak luar. Di usianya yang 55 tahun, Golkar mesti menunjukkan diri sebagai partai politik yang semakin matang dalam berdemokrasi. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler