x

Seorang wanita membaca Alquran di Masjid Agung, Bandung, Kamis, 16 Mei 2019. Selama bulan Ramadan, pengajian majelis-majelis taklim kaum wanita bergantian mengisi kegiatan ibadah berupa pengajian, tausiah, dan kajian serta tafsir Al Quran, dari pagi sampai sore. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

tuluswijanarko

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 1 Desember 2019 16:47 WIB

Alasan Peraturan Menag Soal Majelis Taklim Perlu Ditolak

Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 tahun 2019, tentang Majelis Taklim dinilai terlalu berlebihan karena ingin mencampuri aktivitas sosial masyarakat. Aturan itu juga rawan disalah gunakan sebagai alat untuk menekan paham keagamaan yang tak sesuai dengan paham keagamaan pemegang kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 tahun 2019, tentang Majelis Taklim dinilai terlalu berlebihan karena ingin mencampuri aktivitas sosial masyarakat. Aturan itu juga rawan disalah gunakan sebagai alat untuk menekan paham keagamaan yang tak sesuai dengan paham keagamaan pemegang kekuasaan.

Tentangan atas PMA soal Majelis Taklim itu, antara lain, diutarakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, KH Salahuddin Wahid alias Gus Sholah.

Peraturan soal Majelis Taklim itu diterbitkan pemerintah pada 13 November 2019. Salah satu hal penting dalam aturan ini adalah majelis taklim diharuskan mendaftar ke Kementerian Agama. Direktur Penerangan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kemenag, Juraidi menjelaskan PMA ini tidak mewajibkan majelis taklim untuk mendaftar.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Dalam pasal 6, kami gunakan istilah harus, bukan wajib. Harus sifatnya lebih ke administratif, kalau wajib berdampak sanksi," ujar Juraidi seperti dikutip dari laman resmi Kemenag.go.id pada Sabtu, 30 November 2019. "Jadi tidak ada sanksi bagi majelis taklim yang tidak mau mendaftar."

Menurut Juraidi terdaftarnya majelis taklim akan memudahkan Kementerian Agama melakukan pembinaan. Jenis-jenis pembinaan yang bisa dilakukan, misalnya workshop dan dialog tentang manajemen majelis taklim dan materi dakwah, penguatan organisasi, peningkatan kompetensi pengurus, dan pemberdayaan jamaah.

Selai  itu dengan terdaftarnya majelis taklim akan terkait dengan pemberian bantuan pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD. “PMA ini bisa dijadikan dasar atau payung hukum," ujar dia.

Menurut Haedar Nashir aturan itu membuat pemerintah terlalu jauh mengatur kegiatan keagamaan, seperti majelis taklim. Kata dia, kalau semua serba diatur pemerintah, nanti aktivitas sosial lainnya seperti gotong royong maupun kegiatan keagamaan lain harus diatur pula. “Tidak boleh ada diskriminasi khusus pada kegiatan keagamaan di lingkungan umat Islam seperti majelis taklim," kata Haedar Nashir melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Minggu, 1/12.

Haedar mengingatkan kalau ada aktivitas yang menyimpang dapat dilakukan dengan pendekatan hukum dan ketertiban sosial yang berlaku. “Ttidak perlu dengan aturan yang terlalu jauh dan bersifat generalisasi.”

Ia khawatir PMA Majelis Taklim menjadi alat mengatur dan melarang majelis-majelis taklim yang tidak sepaham dengan aparat atau pejabat Kementerian Agama ,dalam hal ini KUA setempat. Sehingga aturan itu menjadi instrumen untuk kepentingan golongan atau mazhab agama yang menyatu atau dominan dalam instansi pemerintah tersebut.

"Jika hal itu terjadi dimungkinkan akan memunculkan konflik kepentingan dan gesekan paham keagamaan yang melibatkan otoritas negara atau institusi pemerintah. Semuanya perlu keseksamaan dan kearifan," kata Haedar.

Dalam hal usaha mencegah radikalisme atau ekstrimisme sebenarnya ketentuan perundangan yang ada sudah lebih dari cukup. Dia menegaskan menolak segala bentuk radikalisme yang mengarah pada ekstrimisme. Namun semuanya perlu dasar pemikiran, rujukan, cakupan, dan langkah tentang radikalisme yang objektif, komprehensif, serta tidak parsial dan diskriminatif.

Indonesia setelah reformasi sudah masuk era demokrasi, kata Haedar, maka jangan dibawa lagi ke masa lalu yang serba diatur berlebihan. Apalagi pengaturannya secara sepihak dan cenderung diskriminatif. "Tentu di era kebebasan ini semua pihak jangan pula menyalahgunakan demokrasi untuk segala aktivitas yang bertentangan dengan hukum, agama, moral, dan ketertiban sosial.”

Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, KH Salahuddin Wahid atau Gus Solah berpandangan serupa. Dia meminta majelis taklim tidak harus melakukan pendaftaran ke Kementerian Agama. “Makin sedikit pemerintah campur tangan, menurut saya makin baik," kata Gus Sholah, kepada Tempo.co di Jakarta, Sabtu, 30/11.

Namun, Gus Sholah tak mempersoalkan jika aturan itu bertujuan untuk memudahkan pemerintah dalam memberikan bantuan kepada majelis taklim. "Tapi kalau mengarahkan, biarkan saja. Kalau beri bantuan kan beda," kata dia.

Ikuti tulisan menarik tuluswijanarko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu