x

Cover Buku Buku yang Dipenjarakan

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 6 Desember 2019 13:12 WIB

Buku yang Dipenjarakan - Memoar Seorang Eksil

Kisah hidup Sobron Aidit sebagai seorang Eksil

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Buku yang Dipenjarakan

Penulis: Sobron Aidit

Tahun Terbit: 2006

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Nuansa Cendekia                                                                                   

Tebal: 152

ISBN: 978-602-350-311-7

Buku karya Sobron Aidit ini adalah buku kedua yang saya baca. Buku pertama karya Sobron Aidit yang saya baca adalah Razia Agustus yang bercerita tentang sosok Dipa Nusantara Aidit – sang abang. Sama seperti buku Razia Agustus, Buku yang Terpenjara ini juga mengambil format kumpulan cerpen. Hanya saja cerpen-cerpen yang disusun dalam buku ini lebih urut penempatannya dibanding dengan Razia Agustus.

Sobron Aidit membuka bukunya tentang bagaimana rejim Orde Baru memenjara buku. Buku-buku kiri yang dianggap berbahaya dihilangkan dari khalayak. Kalau masih ada buku-buku tersebut disimpan di sebuah ruang berjeruji besi di perpustakaan tertentu. Mereka yang ingin membacanya harus mendapatkan ijin dari berbagai pihak dan harus membacanya di dalam “penjara” dimana buku tersebut disimpan.

Selanjutnya Sobron berkisah tentang kepulangannya bersama keluarga ke Belitung. Pada tahun 1996, Sobron Aidit mengunjungi Belitung kampung halamannya. Ia bersama keluarganya hendak menikmati alam Belitung yang telah ditinggalkan lebih dari 30 tahun. Namun sayang sekali, setelah melakukan ziarah ke makan ayah dan ibunya, ia diminta untuk segera kembali ke Jakarta dan kemudian dipulangkan ke Eropa. Sobron – dengan memakai nama samaran Hasrul, mengisahkan bagaimana orang-orang di kampungnya takut untuk bertemu dengannya, karena khawatir mendapat masalah dengan aparat karena bertemu dengannya. Kepulangannya yang tiba-tiba juga sepertinya diatur oleh aparat supaya ia segera meninggalkan Indonesia.

Kisah kemudian diselingi dengan kisah tentang para haji yang ternyata tidak sesuai antara ucapan dan perilakunya. Termasuk si Haji Satu yang pernah menjadi kaisar di sebuah negeri.

Kisah berlanjut tentang kepindahannya dari China menuju Perancis. Hubungan antara China dengan Indonesia yang mulai membaik, membuat posisi para exile menjadi terancam. Sobron mengisahkan bahwa selama ini Pemerintah China memperlakukan para eksil dengan sangat baik. Namun demi memperbaiki hubungan antara Pemerintah China dengan Indonesia, maka ada hal-hal yang harus dilakukan oleh Pemerintah China. Salah satunya adalah memberi kesan kepada Indonesia bahwa mereka tidak lagi mendukung penuh para pelarian politik ini.

Sobron mendapatkan pemutusan hubungan kerja dari tempat kerjanya di Radio Beijing. Ia terpaksa memilih untuk meninggalkan China karena hal ini. Awalnya ia mencari negara yang berbahasa Inggris sebagai negara barunya. Namun setelah berbagai pertimbangan akhirnya Sobron memilih Perancis. Ia berangkat dengan dua putrinya dan meninggalkan istrinya yang sudah meninggal di China.

Cerpen selanjutnya berkisah tentang beban menyandang nama Aidit di belakang nama sang penulis. Sobron mengisahkan betapa nama yang berhubungan dengan seorang tokoh PKI itu membuat hidupnya tidak mudah. Namun Sobron Aidit tetap bersikeras untuk memakai nama tersebut di belakang nama Sobron.

Sebenarnya DN Aidit sudah memperingatkannya saat ia baru berusia 18 tahun untuk tidak memakai nama Aidit di belakang namanya. Sebab sebagai adik/keluarga seorang tokoh politik, risiko untuk ikut menanggung sengsara dari sebuah proses politik bisa saja terjadi. Namun Sobron tetap menggunakan nama tersebut karena ayah dan abangnya begitu bangga menyematkan kata Aidit di belakang nama mereka.

Sobron Aidit menuangkan masalah nama Aidit yang disandangnya dalam 14 cerpen dengan judul yang sama dengan masing-masing nomor yang berbeda. Nama Aidit membuat keluarga yang ada di kampung pun tidak berani menemui secara terbuka, saat Sobron berkunjung ke kampung. Bukan karena mereka membeci, tetapi mereka khawatir akan mendapatkan masalah karena berani bertemu dengan orang yang bernama Aidit.

Saat berlibur di Thailand, Sobron mengalami interogasi karena ada nama Aidit di paspornya. Ada orang yang menolaknya bersapa dan berjabat tangan. Karena nama Aidit mereka dituduh tidak beragama. Anak-anak muda yang mengaguminya menjadi menjauh setelah tahu bahwa Sobron dengan nama Aidit adalah adik dari DN Aidit. Sobron merasa takut ketika diajak berbincang oleh seorang ibu yang mengetahui hubungannya dengan DN Aidit. Adiknya tak bisa pulang saat sang Ibu menjelang ajal.

Lima cerpen yang menutup buku ini berjudul Perjalanan dan Intel 1, 2, 3 ,4 dan 5. Dalam cerpen-cerpen ini Sobron berkisah bagaimana perjalanannya senantiasa dikuntit oleh para intel. Termasuk perjalanannya bersama Mas Oyik untuk mengunjungi Umar Kayam, dan Joko Pekik.

Dalam buku ini Sobron Aidit hendak berkata bahwa betapa ia mencintai Indonesia sebagai tanah airnya. Meski sudah menyandang paspor Perancis, Sobron Aidit tak bisa melupakan Indonesia sebagai tanah air yang dicintainya. Perjalanan hidupnya sebagai exile adalah sebuah konsekwensi dari situasi politik. Ia berharap bahwa suatu saat Indonesia bisa menjernihkan sejarah yang sudah ditelikung oleh Suharto bersama dengan Orde Barunya.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler