x

Sawah pada saat kekeringan di Indramayu

Iklan

Fikri Achmad

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2019

Jumat, 6 Desember 2019 14:17 WIB

Lumbung Padi di Merauke: Hutan Terbabat dan Ekosistem Rusak

Artikel ini menceritakan bagaimana rusaknya ekosistem dan lingkungan masyarakat di Merauke dimana hutan tempat pusat kehidupan (bercocok tanam,berburu) rusak akibat harus di ganti sebagai sawah karena pemerintah yang akan menjadikan merauke sebagai lumbung padi nasional dan penyelesaian konflik yang ada dalam persoalan tersebut menggunakan materi kewarganegaraan (HAK ASASI MANUSIA)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Achmad Fikri Nuruzzaman, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Merauke, kota terujung bagian timur Indonesia yang memiliki luas 46.791 km (setelah pemekaran) dengan kondisi geografis berupa hutan, rawa, sebagian bukit dan pegunungan. Masyarakat adat Merauke menjadikan sagu sebagai bahan pangan utama, Sagu dapat di temui di pohon-pohon hutan sekitar pemukiman mereka. Namun kini, pohon-pohon yang menjadi bahan pangan utama mereka terancam punah.

Tidak hanya itu, tanah adat dan pemukiman mereka juga terancam hilang yang akan diganti ratusan ribu hektar sawah dan beberapa kebun kelapa sawit. Hal ini dikarenakan program kerja pemerintah yang berencana menjadikan Papua sebagai lumbung beras nasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menjadikan Papua sebagai lumbung pertanian (beras) nasional memang salah satu keputusan bagus. Dapat diperhitungkan, bagaimana manfaat dan hasil yang dapat diperoleh beberapa tahun mendatang. seperti panen raya dan terbukanya lapangan pekerjaan. Selain itu juga menambah citra Indonesia sebagai negara agraris sekaligus sebagai negara pengekspor komoditas beras.

Manfaat dan hasil yang diharapkan tentu tidak berjalan begitu saja. Dalam setiap keputusan dan tindakan selalu ada hambatan yang akan dilalui termasuk  rencana pembangunan lumbung pangan ini. Banyak permasalahan yang harus dilalui dan diselesaikan agar dapat menjadikan wacana tersebut sebagai program nyata, antara lain :

Dampak merugikan yang berpengaruh pada ekosistem yang disebabkan oleh limbah perusahaan, tercatat 43 ribu ha sawah dan 220 ribu ha kebun kelapa sawit di Merauke pada tahun 2014. Sebelum dilakukannya perombakan tanah di Merauke menjadi sawah, ada beberapa perusahaan kelapa sawit yang sudah beroperasi dan limbah perusahaan membuat air sungai keruh dan kotor, padahalsungai tersebut menjadi sumber air bagi masyarakat. Hingga saat ini jika masyarakat membutuhkan air bersih untuk kehidupan sehari-hari harus berperahu lumayan jauh. Hal ini tentu belum termasuk dampak bagaimana jadinya jika perusahaan yang berencana beroperasi benar-benar berperasi di Merauke.

Perusahaan menganggap bahwa tanah (hutan dan tanah adat) yang akan mereka operasikan adalah lahan milik negara yang bisa digunakan dan dimanfaatkan hasilnya, tetapi menurut keputusan MK no.35 tahun 2012 ”hutan adat bukanlah tanah/hutan milik negara” jadi secara tidak langsung jika berdasarkan peraturan diatas perusahaan wajib meminta izin dari masyarakat adat untuk pengoperasian kegiatan perusahaan. Tetapi yang terjadi bukanlah seperti itu, hingga kedua belah pihak melakukan pertemuan guna membicarakan batas-batas antara tanah untuk operasi perusahaan dan tanah yang tidak boleh dijamah alat pemberat perusahaan.

Perusahaan menebang dan merusak pohon di wilayah hutan yang telah dipatok dan disepakati bersama untuk tidak di ambil alih perusahaan, hal ini dilakukan perusahaan hingga membuat masyarakat adat emosi dan hendak melaporkan perusahaan kepada pihak yang berwajib. Perusahaan juga merusak papan peringatan yang didirikan di tengah hutan, pihak perusahaan mengatakan sudah mendapat persetujuan dan izin dari salah satu warga adat untuk menggunaka tanah dari batas patok yang sudah di tetapkan bersama. Kenyataannya yang perusahaan katakan hanyalah kebohongan semata yang berimbas dengan terjadinya perpecahan antar lingkup masyarakat itu sendiri.

Konflik internal antara masyarakat adat sendiri (Mahuze), walaupun sempat saling menuduh siapa yang menjadi musuh dalam selimut dan bersekongkol dengan perusahaan tidak membuat masyarakat adat terpecah belah. Mereka mendatangi rumah tetua untuk membicarakan hal ini dan tetap pada keputusan pertama bahwa masyarakat adat tetap menolak pendirian perusahaan yang merusak ekosistem alam dan mengacaukan kehidupan mereka dengan menandatangani surat.

Penyelesaian atau jalan keluar yang dapat diambil untuk permasalahan dan konflik diatas adalah: (1) Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia, baik masyarakat adat meupun perusahaan sekalipun, mereka sama-sama memiliki hak untuk menggunakan lahan hanya saja sekalipun sebagai manusia merdeka tetap tidak boleh semena-mena terhadap manusia lain, seharusnya perusahaan (2) mengembangkan sikap tenggang rasa dan tidak semena-mena terhadap orang lain, perusahaan seharusnya tidak boleh bertindak semena-mena hanya karena mereka memiliki dana dan dukungan dari pemerintah. Seharusnya mereka awal datang berbicara baik-baik dengan warga dan tidak melanggar kesepakatan yang dibuat bersama bukan karena mereka perusahaan merasa tinggi dibanding dengan warga yang belum memiliki sertifikat tanah bukan berarti mereka bebas melakukan apapun yang di inginkan.

(3) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan manusia lain, manusia makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dengan bekerja sama dan menghormati satu dengan lainnya baik perusahaan kepada masyarakat juga sebaliknya maka akan sama-sama dapat memajukan Indonesia. Dengan hal ini maka tidak ada yang dirugikan dan tidak menjauhkan siapapun.

Selain itu juga harus (4) menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yaitu dengan cara pemerintah atau perusahaan tidak menggunakan atau menghilangkan tanah yang dianggap suci oleh masyarakat adat. Karena bagaimanapun hutan (sagu) adalah sumber dari kehidupan mereka. Tetap membangun sawah tetapi tidak membiarkan tanaman sagu hilang, dan menjadikan masyarakat adat sebagai tenaga kerja industri dengan bagi hasil yang adil, dan tidak merugikan masyarakat adat, karena jika hilang sumber kehidupan maka akan hilang pula kehidupan yang ada didalamnya .

Ikuti tulisan menarik Fikri Achmad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu