x

Iklan

Mizan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Oktober 2019

Minggu, 8 Desember 2019 14:30 WIB

Memaklumi Sisi Manusiawi Nabi

Nabi memiliki sisi manusiawi yang memungkinkan beliau menjadi model yang patut diteladani manusia dalam menjalani kehidupannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*Memaklumi Sisi Manusiawi Nabi*

oleh Ainul Mizan

Diutusnya Nabi dan Rasul kepada manusia guna menyampaikan risalah. Tentunya, dari kalangan manusia diangkatnya Nabi dan Rasul tersebut. Alasannya, selain sebagai penyampai risalah, Nabi dan Rasul itu sebagai model yang dicontoh oleh manusia dalam menjalani kehidupan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai manusia, tentunya Nabi Muhammad Saw memiliki sisi manusiawi yang boleh berlaku pada manusia secara umum. Beliau juga membutuhkan makan, minum, dan tidur. Lebih jauh sisi - sisi manusiawi pada diri Nabi Saw disebutkan di dalam al - Qur'an, di antaranya adalah Nabi saw pernah berpaling dari sahabat buta, Ibnu Ummi Maktum yang ingin belajar Islam. Sedangkan di sisi Nabi Saw ada para pemuka Quraisy yang beliau inginkan keislamannya. Hal itu akan menambah kekuatan kaum muslimin. Kemudian Alloh swt menegur beliau saw sebagaimana yang ada di dalam surat Abasa.

Dalam kasus ini, Nabi saw sangat berkeinginan dakwahnya segera berhasil dengan keislaman para tokoh Quraisy. Sikap semacam ini adalah kewajaran yang berlaku pula bagi manusia pada umumnya. Jadi teguran Alloh kepada beliau bukanlah kesalahan yang mengandung dosa dan bukan pula sesuatu yang bisa menurunkan derajat kenabiannya. Teguran Alloh tersebut sebagai aspek min babil aula, manakah sesuatu yang mestinya lebih utama untuk dilakukan.

Pada fragmen yang lain, pernah Nabi Saw mengharamkan meminum madu bagi dirinya. Hal demikian dilakukannya lantaran besarnya keinginan beliau untuk menyenangkan hati isterinya. Alloh swt menegur beliau Saw di dalam surat at Tahrim ayat ke - 1.

Alloh swt menegur beliau sebagai bagian dari sesuatu manakah yang lebih utama dilakukan. Beliau tidaklah mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Alloh swt. Akan tetapi beliau menyulitkan dirinya sendiri agar bisa menyenangkan sebagian istrinya.

Pernah juga Nabi saw merasa berat hati terhadap istri - istrinya yang meminta jatah lebih dari nafkah. Hal tersebut sangat berat dirasakan oleh Nabi, hingga beliau menyendiri di biliknya selama sekitar sebulan. Lalu Alloh swt menurunkan ayat agar Nabi memberikan 2 pilihan kepada istri - istrinya. Jika mereka memilih dunia, tentunya Nabi pun menceraikannya. Akan tetapi bila mereka lebih memilih Alloh dan RasulNya, tentunya ini adalah pilihan yang terbaik.

Ini sebagian contoh fragmen yang menjelaskan aspek - aspek manusiawi pada diri Nabi saw. Hal - hal tersebut tidaklah berakibat merendahkan derajat kenabiannya. Entoh demikian, di dalam fragmen - fragmen tersebut terkandung pelajaran berharga bagi umat manusia.

Sekarang mari kita membandingkan dengan sebutan "rembes" yang dilekatkan oleh Gus Muwafiq kepada diri Nabi Saw.

Istilah rembes adalah istilah bahasa Jawa, tentunya untuk memaknainya harus memakai pakem makna bahasa Jawa. Tidak bisa seseorang memaknai semaunya.

Makna kata rembes dalam Bahasa Jawa berkonotasi negatif. Kata rembes bisa digunakan untuk menyebut anak kecil yang beringus atau ingusan hingga ingusnya keluar mengotori area antara hidung dan mulutnya. Penampilannya lusuh dan dekil.

Kata rembes juga digunakan untuk menyebut seseorang yang bangun tidur belum mandi, di matanya masih terlihat ada kotoran mata.

Pada anak remaja, kata rembes digunakan untuk mengolok - olok temannya yang belum mandi, lusuh dan rambutnya masih acak - acakan.

Begitu pula kata rembes digunakan untuk menyebut seorang anak yang tidak terurus dengan baik. Biasanya seorang anak yang tinggal bersama kedua orang tuanya akan lebih terurus dibandingkan dengan seorang anak yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Lalu si Kakek yang merawatnya.

Dari sekian makna dan pengertian kata rembes tersebut, bisa dipahami bahwa tuduhan Muwafiq dengan kata rembes itu bermakna tidak terurusnya masa kecil Nabi saat diasuh oleh kakeknya. Selanjutnya bisa dipahami pula kalau sudah tidak terurus dengan baik oleh sang kakek, tampaklah pada diri sang anak tampilan yang kotor, lusuh dan dekil.

Tentunya hal sedemikian termasuk bagian dari sesuatu yang bisa menyebabkan menciderai kemuliaan derajat kenabian. Tudingan itu pada diri Nabi bukanlah termasuk sisi - sisi manusiawi yang patut dimaklumi. Keterurusan atau tidak ini merupakan aspek pemeliharaan kesehatan diri. Baik itu dilakukan oleh diri sendiri maupun oleh pihak lain. Artinya, dengan kata lain, ia juga menghina Abdul Mutholib, kakek Nabi, seolah beliau tidak bisa mengurus cucunya dengan sebaik - baiknya.

Sesungguhnya Nabi Muhammad adalah manusia pilihan Alloh dan kekasihNya. Tentunya tumbuh kembang Nabi dari masa kecilnya diliputi oleh keadaan - keadaan terbaik hingga masa kenabiannya dan wafatnya.

Di masa bayinya, Nabi pernah disusui oleh Halimah Sa'diyah dari sebuah kaum yang baik perilakunya. Lingkungannya baik. Bahkan bayi Muhammad Saw ini mendapat perhatian istimewa dari ibu persusuannya dan disayangi anak - anak Halimah yang lain.

Nabi juga pernah merasakan pengasuhan ibunya secara langsung setelah dikembalikan oleh Halimah Sa'diyah. Sepeninggal sang ibu, Nabi dipelihara oleh kakeknya. Abdul Mutholib adalah tokoh Quraisy yang mulia. Beliau yang memegang kunci kabah dan melayani semua kafilah yang datang berziarah ke kabah. Abdul Mutholib menyediakan jamuan yang istimewa terhadap kafilah - kafilah tersebut. Maka tidak masuk akal bila Abdul Mutholib menelantarkan sang cucu yang dicintainya.

Abdulloh ayah Nabi, adalah anak yang sangat dicintai dan disayangi oleh Abdul Mutholib. Sang kakek sangat berharap akan kehadiran Nabi Muhammad, cucunya. Kasih sayangnya kepada Nabi semakin besar dan dalam mengingat keadaan cucunya yang sudah menjadi yatim piatu di usianya yang masih sangat belia. Oleh karenanya curahan perhatiannya sangat besar dalam pemeliharaan Nabi.

Setiap penghinaan kepada Nabi Muhammad Saw, sejatinya merupakan upaya untuk menjauhkan umat dari Nabinya. Dengan begitu, akan lebih mudah melakukan deligitimasi pribadi Nabi sebagai pembuat hukum dalam kehidupan seorang muslim. Wujud nyata akan hal ini adalah dengan menanamkan rasa islamophobia dalam diri umat. Jika umat sudah phobia dengan agamanya, tentunya akan semakin terkikis ketaqwaan. Dengan demikian, umat menjadi lemah dan akan semakin mudah untuk dijajah.

#Penulis tinggal di Malang

Ikuti tulisan menarik Mizan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB