Taman Bacaan ala Rumahan di Kaki Gunung Salak

Senin, 9 Desember 2019 05:18 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gimana cara mendirikan taman bacaan ala rumahan. Begini tips sederhana TBM Lentera Pustaka untuk memulainya

Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka berawal dari garasi rumah. Digagas oleh Syarifudin Yunus, sebagai ikhtiar kecil untuk menghidupkan tradisi baca anak-anak usia sekolah; yang sebelumnya jauh dari akses bacaan. Dan kini, sekitar 60-an anak-anak usia sekolah mulai rajin membaca. Sekalipun perjuangan untuk mengajak anak-anak lainnya belum usai, bahkan tidak akan pernah usai.

Tiap Rabu sore, Jumat sore, dan Minggu pagi, anak-anak dari 3 kampung di Kaki Gunung Salak pun kini terus membaca buku yang tersedia secara gratis. Syarifudin Yunus yang kini tengah menempuh S3 --Program Doktor Manajemen Pendidikan di Pascasarjana Unpak-- beasiswa dari Unindra, sadar betul mengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) tidaklah mudah. Karena faktanya di Indonesia, banyak taman bacaan masyarakat yang “mati suri” akibat tiga hal; 1) buku ada pembaca tidak ada, 2) pembaca ada buku tidak ada, dan 3) komitmen pengelola TBM yang lemah, tidak fokus mengelola taman bacaan. Maka di benaknya, taman bacaan harus bisa menjadi arena yang asyik dan menyenangkan anak-anak.

Dari bekas garasi rumah yang kini berubah menjadi taman bacaan, Syarif pun menerapkan konsep “TBM Edutainment”, sebuah cara beda dalam mengelola taman bacaan masyarakat. Taman bacaan bukan hanya menjadi tempat membaca anak-anak atau masyarakat. Tapi taman bacaan harus bisa menjadi “motor penggerak” aktivitas sosial dan kemasyarakatan di mana taman bacaan beroperasi. “TBM-edutainment”; tata kelola taman bacaan masyarakat yang memadukan edukasi dan entertainment.

Konsep “TBM-edutainment” inilah yang diterapkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di Kp. Warung Loa Desa Sukaluyu Kec. Tamansari di Kaki Gn. Salak Bogor yang bertumpu pada membudayakan membaca bersuara, selalu ada “senam — salam – doa literasi” sebelum jam baca, laboratorium Baca tiap hari Minggu; kegiatan pemahaman bacaan di alam terbuka, selalu ada event bulanan, dengan mendatngkan “tamu dari luar” untuk ber-interaksi dan memotivasi anak-anak agar rajin membaca.

Lalu, ada “jajajan kampung” gratis setiap bulan, tersedia WiFi gratis tiap Sabtu dan Minggu, anugerah pembaca terbaik diberikan kepada anak yang rajin membaca dan mengusung motto #BacaBukanMaen; untuk menjaga keseimbangan antara perilaku membaca dan bermain anak-anak.

“Konsep TBM-Edutainment saya gagas agar mampu menjadikan taman bacaan sebagai center dari edukasi dan entertainment untuk anak-anak. Hal ini sebagai penyesuaian terhadap era digital dan milenial.  Maka harus ada cara yang kreatif dan beda untuk menghidupkan tradisi baca dan budaya literasi anak-anak. Membaca harus asyik dan menyenangkan” ujar Syarifudin Yunus, alumni peraih UNJ Award 2017 dan salah satu pegiat literasi Indonesia.

Satu hal yang selalu diperjuangkan Syarifudin Yunus adalah bahwa mengelola taman bacaan butuh kolaborasi dengan rekan-rekan yang peduli atau korporasi yang concern terhadap tradisi baca dan budaya literasi anak.  Karena itu, setiap tahun, TBM Lentera Pustaka selalu mengajak kalangan korporasi untuk menghibahkan dana CSR ke taman bacaan yang relatif tidak besar. Hanya untuk membeli buku bacaan baru dan operasional program taman baca. Maka di tahun 2019 ini, TBM Lentera Pustaka pun menggandeng CSR Korporasi dari Chubb Life, AJ Tugu Mandiri, dan Perkumpulan DPLK.  Tentu, demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi anak-anak usia sekolah, agar tidak terlindas oleh pengaruh era digital yang jelek. Maka, untuk mendirikan taman bacaan di rumah sangat dibutuhkan komitmen dan kreativitas agar tetap bertahan. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi anak-anak usia sekolah.

Tradisi Baca Anak

Mengubah perilaku anak-anak yang terbiasa main menjadi “dekat” dengan buku tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bukan hanya tekad kuat, keberanian, dan komitmen, tapi jauh lebih dari itu, sungguh butuh kesabaran dan kemampuan khusus untuk meyakinkan masyarakat dan anak-anak untuk mau membaca secara rutin. Apalagi anak-anak yang ada di kampung atau pedesaan seperti di Kampung Warung Loa Desa Sukaluyu Kec. Tamansari Kaki Gunung Salak Bogor, mMembangun tradisi baca dan budaya literasi, sama sekali tidak mudah. Dan tidak pernah sama dengan tema seminar atau diskusi tentang pentingnya budaya literasi.

Perjuangan tidak kenal lelah dalam menebar virus membaca, itulah yang dilakukan Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka. Pria berusia 49 tahun ini sejak 5 November 2017 telah mengubah anak-anak kampung yang semula polos, pemalu dan cenderung sulit berinteraksi dengan orang “dari luar”. Mereka berubah menjadi anak-anak sekolah yang terbiasa membaca 3 kali seminggu, bahkan bisa “menghabiskan” 5-10 buku per minggu. Sebuah perilaku dan budaya anak-anak yang tadinya jauh dari buku, kini menjadi lebih dekat pada buku dalam kesehariannya.

Tekad Syarifudin ini sederhana saja. Tradisi baca dan buku dianggap mampu menekan angka putus sekolah. Karena anak-anak di Desa Sukaluyu, 81% tingkat pendidikannya hanya SD dan 9% SMP. Itu berarti, angka putus sekolah sangat tinggi. Mungkin karena persoalan ekonomi.

Maka berangkat dari tekad menekan angka putus sekolah dan membangun tradisi baca di kalangan anak-anak usia sekolah, Syarif begitu panggilannya, lalu mengubah “garasi rumah” menjadi rak-rak buku yang menjadi cikal bakal TBM Lentera Pustaka.

Dengan modal seadanya, mulailah disiapkan taman bacaan. Tanpa disangka, bantuan rekan-rekan yang peduli pun mengalir. Mulai dari donasi buku bacaan, bantuan dana untuk fasilitas taman bacaan, hingga perlengkapan taman bacaan. Tanggal 5 November 2017 pun TBM Lentera Pustaka diresmikan oleh Camat Tamansari, Prof. Dr. Sofyan Hanif (Warek 3 UNJ), Khatibul Umam (Anggota DPR), dan Dr. Liliana Muliastuti (Dekan FPBS UNJ). 

Awal berdiri, hanya 18 anak yang mau bergabung untuk membaca tiap Rabu-Jumat-Minggu. Buku yang tersedia pun hanya 700 buku bacaan. Dan kini setelah 2 tahun berjalan, TBM Lentera Pustaka telah memiliki 62 anak pembaca aktif, yang rutin membaca 3 kali seminggu dengan koleksi buku lebih dari 3.000 buku. Dan kini, anak-anak yang terancam putus sekolah pun berubah menjadi anak-anak yang giat membaca buku. Anak-anak yang haus buku bacaan baru.

“Saya berpikir sederhana. Buku dan bacaan diharapkan bisa mengubah mind set akan pentingnya sekolah dan belajar. Agar angka putus sekolah bisa ditekan. Karena saya tidak punya uang banyak untuk menyekolahkan mereka. Maka saya memilih mendirikan taman bacaan. Agar tidak ada lagi anak yang putus sekolah, di samping membangun tradisi baca anak-anak” ujar Syarifudin Yunus yang kini tekun sebagai pegiat literasi.

Semua Pihak Harus Peduli Tradisi Membaca

Maka ke depan, tradisi baca dan budaya literasi sudah pasti hanya bisa tegak bila didukung oleh banyak pihak; aparatur, masyarakat, kaum yang peduli atau relawan, donatur, dan korporasi. Semua pihak harus peduli tradisi baca dan budaya literasi. Karena kepedulian sosial bukanlah sekadar niat baik tapi harus diwujudkan dalam aksi nyata, perilaku nyata untuk terjun langsung ke lapangan secara konsisten.

Di TBM Lentera Pustaka, dari garasi rumah hingga hidupkan tradisi baca anak-anak di Kaki Gunung Salak Bogor. Memang belum usai dan akan terus berlangsung. Agar menjadi legasi atau warisan bagi umat. Dan kini TBM Lentera Pustaka pun mulai merambah ke aktivitas sosial yang lebih besar, menyiapkan kreasi dan inovasi baru sebagai bagian untuk pengembangan taman bacaan. Agar dapat mengundang daya tarik anak-anak untuk makin rajin dalam membaca.

Beberapa program TBM Lentera Pustaka yang telah disiapkan antara lain: 1) Penyelenggaraan “Gerakan BERantas Buta  aksaRA (GEBER BURA)” bagi ibu-ibu dan bapak-bapak yang buta huruf sebagai bagian gerakan pemberantasan buta huruf, 2) Implementasi “Wisata Literasi lentera Pustaka Gn. Salak”sebagai wisata edukasi alternatif yang berbasis membaca buku sambil menyusuri sungai dan kebun di alam terbuka dengan spot-spot foto yang menarik sambil berlatih cara mudah memahami isi bacaan melalui teknik metaforma, dan 3) Edukasi Literasi Finansial (EDULIF) sebagai bentuk program edukasi literasi keuangan anak-anak setiap bulan. Agar anak-anak mampu mengenal dan mengelola uang secara sederhana, membelanjakan uang berdasarkan “kebutuhan” bukan “keinginan”.

“Taman bacaan masyarakat adalah momentum semua pihak untuk ikut berbuat menyiapkan masa depan anak-anak yang lebih baik dari orang tuanya. Maka, semua pihak harus turun tangan dan terlibat. Agar niat baik segera berubah jadi aksi nyata,” kata Syarifudin Yunus.

Jangan bilang kita cinta anak, bila tidak ada aksi nyata. Karena cinta bukan hanya serpihan ludah yang terpancar dari lisan semata. Tapi cinta itu tentang pengabdian dan kepedulian yang tertumpahkan tanpa henti sepanjang masa. Agar anak-anak tetap mau membaca buku.

Maka siapapun, jangan pernah menyerah mengelola taman bacaan masyarakat. Karena selalu ada cara yang kreatif dan inovatif untuk menjadikan taman bacaan masyarakat agar lebih asyik dan menyenangkan. Berbekal spirit itulah, sikap optimis untuk membangun tradisi baca dan budaya literasi anak-anak akan menjadi kenyataan… salam literasi #TBMLenteraPustaka #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler