Judul: Pingkan Melipat Jarak
Penulis: Sapardi Joko Damono
Tahun Terbit: 2017
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 131
ISBN: 978-602-03-3975-7
Buku ini adalah buku kedua dari trilogi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono (SDD). Buku pertama berkisah tentang hubungan cinta antara Sarwono dengan Pingkan yang berakhir dengan Sarwono terbaring di rumah sakit karena masalah di paru-parunya. Buku pertama diakhiri dengan cara menggantung hubungan kedua insan berbeda suku berbeda agama oleh SDD.
Jika pada buku pertama saya mendapatkan pelajaran tentang betapa sulitnya untuk menjadi Indonesia, dalam buku kedua ini saya mendapat pelajaran tentang pilinan cinta, keinginan memiliki, keinginan untuk menyembuhkan dan pencarian identitas. Dengan memanfaatkan sakitnya Sarwono yang menyebabkan Pingkan juga sakit, SDD menyajikan saling berbelitnya rasa cinta, rasa ingin memiliki, rasa ingin menyembuhkan dan krisis identitas. Dalam novel kedua ini pun saya belum mendapatkan penyelesaian dari hubungan Pingkan dengan Sarwono. SDD masih mengajak pembaca untuk berselancar dalam waktu yang terlipat. Waktu nyata para manusia dan waktu para tokoh dalam dongeng.
Sarwono yang sakit digambarkan sebagai Sarwono yang kehilangan “pancer.” Pancer adalah saudara kembar seseorang dalam tradisi Jawa. Kadang papat lima pancer, empat saudara dan pancer yang kelima. Keempat saudara itu ialah kawah, ari-ari, darah dan pusar. Pancer adalah diri kita sendiri. Kehilangan pancer berarti kehilangan kesadaran akan diri. Makanya upaya penyembuhan Sarwono tidak hanya dilakukan melalui pengobatan modern, tetapi juga dengan cara Jawa. Ibu Hadi – ibunya Sarwono menempatkan inthuk-inthuk di depan pintu supaya pancer yang sedang melanglang Buana bisa pulang.
Pingkan yang datang dari Jakarta diminta untuk menuju rumah Ibu Hadi. Tidak ke rumah sakit dimana Sarwono berbaring. Pingkan diarahkan untuk masuk ke kamar Sarwono dan menerima berkas-berkas tulisan tangan Sarwono yang harus disimpannya. Sementara itu Katsuo, seorang Jepang yang menjadi pengajar di Indonesia, berupaya untuk ikut membantu penyembuhan Sarwono. Katsuo adalah teman Sarwono dan Pingkan. Katsuo sangat tertarik dengan budaya Jawa dan jatuh cinta kepada Pingkan.
Hubungan Katsuo-Pingkan-Sarwono sangatlah unik. Kedua lelaki ini sama-sama mencintai Pingkan. Namun cinta Katsuo seperti terbentur waktu. Kalah dulu. Maka Katsuo mengarahkan cintanya kepada Pingkan dengan cara mengupayakan kesembuhan Sarwono. Sarwono dan Pingkan harus Bersatu, supaya cinta Katsuo kepada Pingkan bisa terwujud. Apalagi Katsuo sudah setuju dengan perjodohan yang diatur oleh ibunya dengan Noriko, gadis dari tempat asalnya.
Katsuo harus meminta pertolongan ibunya untuk mengembalikan mabui – pancer Sarwono yang hilang. Ibu Katsuo adalah seorang Yuta. Seorang perempuan yang terpanggil untuk menjadi tokoh spiritual.
Sepanjang waktu penyembuhan Sarwono (dan Pingkan) terjadilah lompatan waktu. Pingkan menjadi Galuh dan Sarwono menjadi Ino (Kertapati), sepasang kekasih dalam cerita Panji. Namun anehnya saat Sarwono mengira bahwa Pingkan adalah Galuh, Pingkan merasa dirinya adalah Pingkan. Sedangkan saat Pingkan merasa dirinya Galuh dan melihat Sarwono sebagai Ino, Sarwono malah merasa dia adalah Sarwono. Demikian pun saat Katsuo memanggil Pingkan sebagai Noriko, Pingkan merasa dirinya adalah Pingkan. Disinilah waktu terlipat.
Di bagian akhir novel, SDD mengajak kita mendiskusikan tentang arti cinta. Percakapan antara Pingkan dengan Toar – abangnya, dipakai oleh SDD untuk mempertanyakan apa arti cinta. Cinta itu apa sih?
SDD mengakhiri cerita dengan kesembuhan Pingkan. Pingkan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Kyoto. Ia terbang kembali ke Jepang bersama Katsuo. Mengikuti nasihat Bu Hadi, Pingkan tidak pamit kepada Sarwono yang masih di rumah sakit. Demi kesembuhan Sarwono, demikianlah alasan Bu Hadi.
Cinta itu apa sih? Cinta menjadi ruwet dan berpilin-pilin di tangan SDD. Meski melewati waktu yang terlipat, cinta tetap tak bisa dijelaskan. Dan waktu malah sering menjadi penghalang cinta untuk mewujud. Ah…seandainya cinta bisa hidup di luar waktu.
Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.