x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 12 Desember 2019 21:55 WIB

Mengapa Pemimpin Mengabaikan Janjinya?

Tantangan terberat bagi kepemimpinan ialah ketika kekuasaan membuat dirinya lupa akan tugas sejatinya sebagai pemimpin, yaitu menjaga amanah dari orang-orang yang ia pimpin, mendengarkan keluhan rakyat, dan berpihak kepada yang lemah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Janji adalah modal yang sangat bernilai yang dapat diberikan oleh para politikus untuk merebut suara rakyat agar terpilih untuk menempati jabatan publik tertentu yang ditentukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Setinggi apapun jabatan itu: dari presiden hingga kepala desa. Bila dalam sebuah organisasi, rakyat adalah warga organisasi itu. Tidak mengherankan bila para politikus kerap mengobral janji saat kampanye hingga ia lupa bahwa ‘obral’ adalah tindakan yang menurunkan nilai penting sebuah janji—apa lagi banyak janji.

Ketika menebar janji ini dan itu di banyak tempat di banyak waktu, seorang pemimpin mungkin tidak mempedulikan pepatah lama yang sangat arif: “Janji adalah utang.” Pepatah ini menggambarkan secara jitu betapa besar tanggung jawab yang menyertai sebuah janji—apa lagi puluhan janji. Bila janji tidak ditepati, janji itu akan menjadi utang yang terus menggelayuti orang yang berjanji hingga kematiannya, dan bahkan ditagih di alam lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah terpilih, seorang pemimpin politik dihadapkan pada tanggung jawab untuk mewujudkan janji-janjinya. Di saat yang sama, iapun dihadapkan pada tantangan politik yang tidak ringan dari berbagai kelompok kepentingan, mulai dari elite politik, elite ekonomi bisnis, partai, hingga para pendukungnya. Iapun mulai digoda oleh keluarganya. Tantangan ini mulai membuatnya goyah dan ia pun mulai berhitung dan membuat kalkulasi berbagai macam, sehingga ia bertanya-tanya: “Sanggupkah aku menunaikan janji-janjiku?”

Janji memang belum pasti terwujud, tapi orang banyak menilai dari kesungguhan orang yang berjanji dalam berusaha mewujudkan janjinya. Orang akan memaklumi bila janji itu tidak dapat terwujud asalkan ia telah berusaha secara sungguh-sungguh. Namun orang banyak akan merasa dikhianati bila orang yang berjanji itu enggan mewujudkan janjinya, pura-pura lupa, atau ingat tapi berkelit dengan seribu satu alasan. Maka, ketika itulah, ia sebenarnya tengah menumpuk utang yang terdiri dari janji-janji yang tidak ia tunaikan—bukan karena ia telah berusaha namun tidak berhasil, melainkan karena ia memang berniat ingkar janji.

Hanya sedikit pemimpin politik yang menyadari benar bahwa janji adalah utang yang harus ia tunaikan, yang jika ia abaikan di dunia akan dipertanyakan di ahirat. Ia akan ditagih setelah ia tidak mampu berbuat apa-apa. Inilah sebabnya mengapa menjadi pemimpin merupakan jalan yang sukar lagi berat. “Leiden is lijden,” kata Haji Agus Salim, tokoh pergerakan, “memimpin itu menderita.” Lantaran itu, mengherankan bila banyak orang bersuka cita ketika ia terpilih untuk memimpin, bagaimana pun cara ia terpilih.

Tapi kepemimpinan memang memiliki pesona tersendiri bagi banyak orang—di sana ada puja-puji, penghormatan yang seringkali berlebihan, kenikmatan dapat mengatur nasib orang banyak [memilih dan memecat, contohnya], membuat aturan yang harus ditaati semua orang, serta keistimewaan lain yang rakyat kebanyakan tidak bisa merasakannya. Semua itu sanggup menjebak seorang pemimpin dalam keterlenaan—“betapa besar kuasaku”. Ia terbuai dan lupa bahwa di atas langit kedua ada langit ketiga, keempat, ketujuh.

Maka, pada titik tertentu, ketika kepercayaan-dirinya semakin tebal bahwa kuasa semakin erat ada dalam genggamannya, ia pun mulai tidak peduli pada pendapat orang lain. Ia anggap kritik sebagai angin lalu yang akan hilang dengan sendirinya. Terlebih lagi ketika orang-orang sekelilingnya memujanya dengan berkata bahwa ia benar, ia benar. Semakin yakinlah ia pada langkahnya tanpa peduli pendapat orang lain.

Mengabaikan adalah cara untuk menunjukkan bahwa bagi dirinya sesuatu atau seseorang atau suatu lembaga itu tidak penting bila tidak mengikuti kehendaknya. Terkadang ia tidak perlu menunjukkan ketidaksukaan dengan kemarahan, melainkan cukup dengan pengabaian. Kepercayaan dirinya semakin kuat karena ternyata tidak sukar merangkul siapapun—termasuk lawan yang dianggap tangguh sekalipun, hingga iapun semakin merasa enteng untuk melupakan janji-janjinya. Tantangan terberat bagi kepemimpinan ialah ketika kekuasaan membuat dirinya lupa akan tugas sejatinya sebagai pemimpin, yaitu menjaga amanah dari orang-orang yang ia pimpin, mendengarkan keluhan rakyat, dan berpihak kepada yang lemah. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler