x

Merdeka belajar

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 14 Desember 2019 14:53 WIB

Pergerakan Nadiem dalam Merdeka Belajar: Tertangkap Ikannya, namun Tidak Keruh Airnya

Membongkar dan mengubah sistem pendidikan nasional peninggalan zaman feodal, wajib hukumnya demi pendidikan Indonesia bangkit dari terpuruk

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Tangkap ikannya, jangan keruh airnya" Itulah yang wajib di lakukan oleh Mas Nadiem menyoal pendidikan Indonesia, karena mas Nadiem belum konsen kepada kebudayaan.

Bila di berbagai bidang kementrian Kabinet Indonesia Maju bentukan Presiden Jokowi banyak mendapat "sorotan" dari "rakyat" dan "media", adalah lumrah dan wajar. Bahkan "sorotan rakyat/media" menjadi "katalisator" sekaligus "pengawal" demi perubahan menuju Indonesia maju yang dicitakan oleh pemerintahan Jokowi Jilid 2.

Namun, satu hal yang bagi saya sangat perlu disinggung adalah menyoal "sepak terjang" Mas Nadiem Makarim.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai Menteri Pendididikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang notabene memang belum berpengalaman dan belum banyak makan asam garam dunia pendidikan, justru diserahi tugas "maha berat" yaitu di kawah candradimukanya tolok ukur peradaban bangsa, yaitu pendidikan dan kebudayaan.

Sebelum Nadiem diserahi tugas, kita ketahui para menteri pendidikan pendahulunya belum pernah "dianggap berhasil" mengentaskan pendidikan yang diamanahkan oleh UUD 45.

Sejak Kurikulum Pendidikan Indonesia pertama lahir, dan disebut Kurikulum 1947, hingga Kurikulum 13 (K-13), di Indonesia kini sudah tercatat dalam sejarah pendidikan kita ada sepuluh Kurikulum Pendidikan.

Hingga K-13 yang kini tengah digunakan, pendidikan di Indonesia faktanya tetap mengadopsi teknik dan strategi zaman feodal. Ranking PISA Indonesia pun kian terpuruk.

Kini, Nadiem yang telah diketahui oleh publik hanya memiliki "kompetensi" di bidang digital dan mewakili kaum milenial, ditugasi Jokowi untuk membongkar dan mengubah sistem pendidikan Indonesia yang memang telah "tertinggal zaman"

Membongkar dan mengubah sistem pendidikan yang objek dan permasalahnnya begitu kompleks karena Indonesia terdiri dari 34 provinsi dan ribuan pulau, bukanlah persoalan semudah membalik telapak tangan.

Akan ada efek domino. Akan ada dampak yang dikorbankan dan menjadi korban atas semua kebijakan baru hasil bongkar dan ubah nanti.

Sudah begitu, Nadiem hanya memiliki waktu 5 tahun untuk membenah. Namun, dengan waktu yang dimilikinya, tentu tidak akan cukup menyulap pendidikan Indonesia seperti yang diharapkan oleh Jokowi dan rakyat Indonesia.

Bagaimana bila dalam jangka 5 tahun, program Nadiem tak tuntas. Mangkrak. Karena yang namamya perubahan dan bongkar-bongkar tentu ada proses persetujuan dengan DPR, transisi, sosialisasi, uji coba, pelatihan dan lainnya?

Terkhusus menyoal Nadiem dan sepak terjangnya di kawah candradimukanya sumber segala sumber kecerdasan dan kemajuan bangsa, akibat reformasi hingga pintu kebebasan demokrasi (berpendapat) di Indonesia menjadi "menganga", ditunjang oleh orang pintar dalam arti sebenarnya, yaitu banyaknya orang yang ahli, berjubelnya praktisi, berserakannya pemerhati, bertebaran pula pengamat.

Lalu, jamaknya orang-orang pintar tak sebenarnya "yang sok ahli, sok praktisi, sok pemerhati, sok pengamat, dan sok-sok lainya", yang pada "keminter", didukung oleh media massa yang begitu "ganas" mencari dan memangsa berita hangat nan aktual yang pasti laku dijual.

Plus hadirnya media sosial (medsos) dan media online (medion), lengkaplah sarana penyalur kritik, saran, masukan, opini, gagasan, hingga makian dan hujatan dan lain-lainnya, yang terus meramaikan semua persoalan baik dalam dunia nyata maupun dunia maya.

Segala topik dan tema terkait Nadiem, mudah sekali menjadi viral. Reaksi masyarakat pun ada yang senang gembira, ada yang sedih, ada yang was-was, hingga takut, karena pergerakan Nadiem banyak yang akan diuntungkan, sebaliknya banyak pula yang akan menjadi korban.

Gebrakan Mas Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) baru dalam proses, masih pengkajian. Meski sudah ada yang diputuskan, realisasinya juga belum tahun ini.

Harapan saya, yang pernah menjadi gurunya Nadiem ini. Nadiem jangan sering mengeluarkan statement yang belum ada SK-nya yang akhirnya menjadi sorotan dan santapan publik. Lantas membikin gaduh.

Setali tiga uang, bagi para "orang pintar" dan "orang sok pintar", berikanlah Nadeim waktu, namun tetap mengawal dengan bijak.

Pendidikan Indonesia memang harus lepas dari belenggu sistem feodal. Membongkar dan mengubah, adalah pekerjaan mudah, demi Indonesia bangkit dari terpuruk.

Namun, efek dari bongkar-bongkar dan perubahan juga tentu sangat menimbulkan dampak.

Ayo, Mas Nadiem, tangkap ikannya, namun tidak keruh airnya. Jangan pula gaya mileniel yang tabu dan dianggap tak santun seperti cara Nadeim berpakaian ala milenial di acara resmi, menjadi sorotan yang kontraproduktif.

Bila hingga kini anak sekolah masih wajib memasukkan bajunya ke dalam celana dan rok, itu juga pembiasaan demi masuk dunia kerja "zaman feodal".

Tatkala Pak Presiden dan para meneterinya malah mencontohkan baju putih dikeluarkan bahkan celana kerja juga dengan jeans, apakah ini juga peradaban dan tatakrama yang ingin diubah pula di Indonesia?

Apakah Mas Nadiem juga akan membuat kebijakan siswa bebas cara berpakain, selain menyoal UN dan lain-lainnya sesuai dengan tajuk "Merdeka Belajar?"

Hingga saat ini, saya masih menunggu pergerakkan Mas Nadeim. Masih bertanya-tanya dan masih was-was.

(Pengamat pendidikan nasional dan sosial)"

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler