x

cover buku Yang Fana Adalah Waktu

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 17 Desember 2019 11:52 WIB

Yang Fana Adalah Waktu - Cinta Itu Abadi

Novel ketiga dari Trilogi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Yang Fana Adalah Waktu

Penulis: Sapardi Djoko Damono

Tahun Terbit: 2018

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama                                                                    

Tebal: 146

ISBN: 978-602-03-8305-7

Dalam novel ketiga berjudul Yang Fana Adalah Waktu, Sapardi Djoko Damono (SDD) melanjutkan kisah yang tak selesai di dua novel sebelumnya. Kepergian Pingkan ke Kyoto dan sembuhnya Sarwono menjadi bekal bagi SDD untuk merajut kisah. Sedikit diselingi dengan kedatangan Sarwono di Jepang untuk mempresentasikan hasil penelitiannya, kisah lainnya adalah dalam format tukar khabat via elektronik antara Pingkan dan Sarwono. Pertukaran khabar melalui media elektronik ini begitu dewasa. Penuh dengan perenungan akan tema-tema yang muncul dalam dua novel sebelumnya. Tema tentang ras, budaya dan agama yang sering menjadi penghalang cinta masih terus direfleksikan.

Guncangan-guncangan kecil memang masih ada. Misalnya Budiman, teman Sarwono yang jatuh cinta kepada Pingkan, akhirnya menikah. Adik ibu Sarwono yang mendorong Sarwono dinikahkan dengan putri Jawa. Namun gangguan-gangguan kecil ini tidaklah mengubah kekekalan cinta Sarwono dengan Pingkan. Bahkan Katsuo yang sangat mencintai Pingkan akhirnya menyerah. Ia mengajak Pingkan untuk meyakinkan Noriko bahwa di antara Pingkan dan Katsuo tidak pernah ada apa-apa.

Dalam novel ini prahara cinta antara Sarwono dengan Pingkan selesai. Kedua keluarga akhirnya mengerti bahwa kedua cinta tersebut tak bisa dipisahkan. Ketika cinta telah dimulai, maka di sanalah cinta harus teguh. Hanya cinta yang tak teruji oleh waktu yang akan gugur. Itulah mengapa dalam cinta waktu adalah fana.

Uniknya, dalam semua perenungan, terlebih saat Sarwono berkunjung ke Kyoto dan mereka berdua mengunjungi Danau Biwa, kedua insan ini seakan kembali ke pertemuan pertama. Pertemuan saat Pingkan masih SMP. Pertemuan mereka berdua sebagai orang dewasa di Danau Tondano. Dalam cinta, waktu adalah fana.

SDD menggunakan keabadian cinta merpati. Di awal novel Sarwono digambarkan mengenang masa kecilnya. Sarwono mengingat sepasang merpati yang selalu bercumbu di atas bubungan rumahnya. Yang jantan selalu bersuara wok..wok …kethekur. Dan suara wok…wok…kethekur itulah yang senantiasa abadi dalam benak Sarnowo. Suara itulah yang selalu mengingatkan cinta antara dirinya dengan Pingkan. Suara merpati yang meski telah dipisahkan (dijual) ternyaka kembali bersama lagi.

SDD nakal dalam novel ini. Setelah persoalan Pingkan dan Sarwono selesai, ia memunculkan kisah baru. Kisah antara Noriko dan Katsuo. Hubungan yang sepertinya akan lancar ini kemudian menjadi berbelok arah. Noriko yang menyadari bahwa ia tidak mencintai Katsuo memilih untuk kabur ke tempat Pingkan. Noriko meninggalkan waktu yang bukan cinta. Ia mengelana untuk menjalani takdirnya sendiri. Noriko pergi ke Solo. Ia tinggal bersama dengan Ibu Pelenkahu, ibu Pingkan. Ketika sebuah kisah mendekati akhir, ada saja kisah baru yang menggantikannya (hal 130). Akankah ada novel baru tentang Noriko Sang Pengelana? Entahlah. Semuanya tergantung dari takdir dan kesediaan SDD sebagai dalang.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler