Khilafah Bukan Tujuan Islam
Minggu, 29 Desember 2019 18:57 WIBKhilafah itu sebenarnya bukanlah tujuan dari Islam.
*Khilafah Bukan Tujuan Islam*
oleh Ainul Mizan (Pemerhati Politik)
Sebagai agama yang paripurna, tentunya Islam mengatur semua bidang kehidupan manusia. Baik kehidupan manusia dalam dimensi individu, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam dimensi individu berkaitan dengan hubungan manusia dengan Alloh dan dengan dirinya sendiri. Hubungan individu dengan Alloh berada di dalam konteks keimanan dan ibadah mahdhoh (ritual). Konsepsi tentang keimanan meliputi rukun iman dan cabangnya. Sedangkan konsepsi ibadah mahdhoh meliputi sholat, zakat, puasa, haji, dan jihad.
Adapun hubungan individu dengan dirinya sendiri berkaitan dengan hukum - hukum makanan, minuman, pakaian, akhlaq dan lainnya. Dengan begitu diharapkan akan terlahir individu yang mempesona dengan kecantikan fisik maupun non fisik.
Dalam dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sejatinya merupakan pengaturan Islam dalam hubungan antar sesama manusia. Hukum - hukum yang berkaitan dengan muamalah dan uqubat (sistem sangsi) digunakan Islam sebagai guidence dalam mengatur kehidupan manusia sebagai sebuah komunitas.
Muamalah di antara manusia meliputi bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, peradilan dan pertahanan keamanan. Terkait dengan uqubat (sistem sangsi) meliputi hudud, jinayat, takzir dan mukholafat.
Hudud merupakan sistem sangsi yang menjadi hak Alloh atas sejumlah pelanggaran tertentu. Sangsi bagi perzinaan, murtad, pencurian, dan pembegal jalanan menjadi cakupan hudud. Jenis sangsinya ditentukan oleh Alloh dan RasulNya. Sebagai contoh perzinaan yang dilakukan oleh muda mudi yang berstatus perjaka dan perawan, Alloh berfirman yang artinya "Perempuan dan laki - laki yang berzina, maka cambuklah setiap dari mereka sebanyak 100 kali cambukan" (TQS An-Nur ayat 2).
Jinayat merupakan penganiayaan terhadap sesama manusia. Dalam hal ini meliputi pelukaan, pencideraan fisik dan pembunuhan. Sangsinya adalah berupa hukum qishosh (hukum balas). Keras dan tegasnya sangsi dalam perkara jinayat ini demi tujuan untuk melindungi jiwa dan nyawa manusia.
Takzir merupakan sistem sangsi untuk pelanggaran di luar hudud dan jinayat. Bentuk sangsinya menjadi hak para penguasa dalam penentuannya. Sebagai contoh sangsi bagi seorang muslim yang malas mengerjakan sholat.
Adapun mukholafat merupakan sistem sangsi yang berkaitan dengan pelanggaran yang berkaitan dengan aturan administratif kemasyarakatan dan kenegaraan. Bentuk sangsinya juga menjadi hak penguasa. Sebagai contoh sangsi bagi pelanggaran aturan berlalu lintas di jalan raya.
Dengan seperangkat hukum yang paripurna demikian diharapkan tercipta masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Kesejahteraan lahir dan batin mempersyaratkan terwujudnya kemaslahatan. Di sinilah yang menjadi tujuan dan hikmah dari diterapkannya hukum - hukum Islam. Hal demikian ditegaskan di dalam surat al Anbiya ayat 107 yang artinya: "Dan tidaklah Kami mengutus kau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam".
Kerahmatan Islam itu akan terwujud manakala terwujud pula pengaturan kehidupan dengan aturan Islam. Hal ini berkesesuaian dengan sebuah kaidah fiqih yang menyatakan bahwa dimana ada hukum Islam, di situlah terdapat kemaslahatan.
Kemaslahatan merupakan wujud kerahmatan Islam. Semua bentuk kemaslahatan akan bisa diwujudkan oleh hukum Islam adalah sebuah keniscayaan. Baik kemaslahatan yang mencakup penjagaan terhadap akal, keturunan manusia, jiwa, agama, dan kehidupan beragama. Selanjutnya kemaslahatan tersebut disebut sebagai maqashidusy Syariah.
Maqashidusy syariah merupakan maksud - maksud dan tujuan syar'i yang terwujud dalam kehidupan manusia. Kesalahan yang seringkali melingkupi pembahasan maqashidusy syariah adalah kesalahan paradigmatik.
Kesalahan paradigmatik berupa pemisahan antara terwujudnya kemaslahatan dalam kehidupan dengan faktor metode dalam mewujudkannya. Terdapat pandangan bahwa yang terpenting bukan materi hukumnya, akan tetapi terwujudnya kemaslahatan. Bahkan ada semacam apriori terhadap materi hukum. Fokus pada materi hukumnya akan terkendala dengan pluralitas manusia. Walhasil keberaniannya sampai pada level mengubah materi hukum demi menghindari anggapan sebagai anti kemajemukan.
Kalau mau mengkaji secara faktual, justeru tidak pernah terwujud apa yang disebut sebagai maqashidusy syariah. Mari kita ambil contoh satu kemaslahatan di dalam maqashidusy syariah yakni penjagaan terhadap keturunan manusia. Pelanggaran yang berkaitan dengan keturunan manusia adalah perzinaan. Pertanyaannya, apakah dengan bentuk sangsi yang diberikan kepada pelaku perzinaan saat ini bisa membuat efek jera bagi pelaku dan juga bagi masyarakat?
Efek jera ini merupakan jaminan bagi tidak terulangi pelanggaraan yang sama di pihak pelaku maupun masyarakat. Justeru perzinaan terus berulang terjadi saat ini. Hal demikian terjadi tatkala bentuk sangsinya diubah dalam bentuk penjara. Apalagi jika sangsinya hanya pembinaan. Tentunya upaya pencegahan dengan adanya efek jera tidak pernah bisa diwujudkan secara nyata.
Artinya memahami maqashidusy syariah tentunya tidak bisa dipisahkan dari materi hukum yang menjadi satu paket aturan hidup Islam. Sangsi Islam mampu mewujudkan efek jera bagi pelaku dan masyarakat. Ambil satu contoh firman Alloh swt yang artinya: "Dan bagimu di dalam hukum qishosh terdapat jaminan kehidupan, wahai orang - orang yang mempunyai pandangan (berdasarkan ilmu)".
Hukum balas bunuh atau qishosh pelaksanaannya disaksikan khalayak ramai. Tentunya hal ini akan menjadi efek jera bagi masyarakat. Dengan sendirinya hal demikian menjadi jaminan kehidupan bagi jiwa manusia. Mereka tidak akan mudah menumpahkan darah karena jika mereka melakukannya, pastinya dirinya akan dikenai sangsi balas bunuh. Keadaan tersebut tidak akan bisa diwujudkan oleh sistem sangsi di luar Islam.
Begitu pula dalam kasus perzinaan. Akan terjadi efek jera tatkala khalayak ramai menyaksikan hukum cambuk dan hukum rajam. Kerasnya sangsi ini memang sepadan dengan efek kerusakan yang terwujud akibat perzinaan. Hilangnya hukum nasab, perwalian dan waris akibat perzinaan sangatlah menyengsarakan kehidupan manusia. Maka demi menyelamatkan kehidupan manusia tentunya membutuhkan keras dan tegasnya sangsi. Demikianlah jaminan atas penjagaan keturunan manusia di dalam Islam.
Di sisi yang lain, membicarakan penerapan aturan tidak bisa dilepaskan dari pihak yang melaksanakan. Aturan hukum Islam yang berkaitan dengan muamalah dan sangsi tentunya membutuhkan institusi kekuasaan yang berwenang dalam hal ini. Tidak dibenarkan selain penguasa dan yang mewakilinya melakukan pengaturan dan penerapan hukum atas manusia.
Adanya institusi negara yang keberadaannya sebagai pengurus dan pengatur urusan rakyatnya mutlak diperlukan. Dalam konteks inilah, Khilafah menempati posisi kunci. Di samping itu, keberadaan Khilafah juga mendapat legitimasi syar'i. Dengan begitu tidak akan terjadi anggapan bahwa Khilafah adalah salah satu opsi sistem kenegaraan untuk bisa menerapkan hukum Islam.
Memang adanya kekuasaan di dalam Islam bukanlah tujuan dari Islam. Akan tetapi kekuasaan ditempatkan sebagai metode dalam melaksanakan hukum. Islam sendiri sudah menetapkan satu bentuk tertentu sebuah kekuasaan yang disandarkan kepadanya penerapan hukum - hukum Islam. Khilafah adalah bentuk sistem kenegaraan dan pemerintahan yang menjadi metode dan model tertentu yang bisa menerapkan hukum Islam secara paripurna.
Khilafah, Imamah, dan Imaroh itu menunjuk pengertian yang sama dalam khasanah fiqih Islam. Khilafah diberi pengertian sebagai kepemimpinan umum bagi kaum muslimin di dunia ini dalam rangka menerapkan Islam di dalam negeri dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia. Esensi dari Khilafah adalah syariah dan ukhuwah. Artinya, dengan Khilafah akan bisa diwujudkan penerapan hukum Islam yang biasa disebut sebagai syariah. Sedangkan ukhuwah itu akan bisa diwujudkan oleh Khilafah. Kaum muslimin itu bersaudara. Rasul saw menegaskan bahwa muslim itu saudara bagi muslim lainnya. Tidak boleh mendholimi saudaranya. Tidak boleh membiarkan saudaranya. Dan tidak boleh menyerahkan saudaranya kepada musuh.
Dengan konsepsi seperti ini, Khilafah akan menolong kaum muslimin termasuk orang non muslim yang menjadi warganya di segenap wilayahnya. Bahkan Khilafah pun akan menolong bangsa dan negeri manapun yang membutuhkan tanpa melihat perbedaan agama, ras dan kebangsaannya.
Sebagai institusi penerap hukum Islam, Khilafah akan menjadikan model kehidupan yang maslahat di dalam naungannya sebagai sarana dakwah yang efektif kepada penduduk dunia. Oleh karena itu, manusia akan berbondong - bondong untuk masuk Islam dengan suka rela.
Keberadaan Khilafah akan menyatukan seluruh negeri di dunia Islam. Seluruh potensi SDA dan militer negeri - negeri Islam bisa disatukan, tentunya akan melahirkan sebuah kekuatan besar yang mampu membangun dunia. Indonesia tetap Indonesia. Begitu pula Malaysia tetap menjadi Malaysia. Semua potensi negeri - negeri tersebut akan diberdayakan bagi kemakmuran dunia.
Lantas, apakah sistem kenegaraan dan pemerintahan selain Khilafah akan mampu berfungsi sebagai penerap syariah dan peneguh ukhuwah? Justeru keberadaan sistem kenegaraan dan pemerintahan selain Khilafah yang telah menelantarkan sebagian besar syariah dan merenggangkan ukhuwah atau persatuan. Tiba - tiba munculah dari institusi tersebut sosok - sosok pemimpin muslim yang menutup mata, telinga dan hatinya atas penderitaan kaum muslim di Palestina, Suriah, Rohingya, Xinjiang dan yang lainnya.
#Penulis tinggal di Malang
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Demam Pilpres 2024, Cermin Politik Pragmatis Demokrasi
Kamis, 24 Juni 2021 06:39 WIBMempertanyakan Urgensi Kursus Komisaris
Senin, 14 Juni 2021 18:53 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler