Mengerjakan kebaikan semata karena ia kebaikan, itulah inti kebaikan.

Dan berbanding terbalik: menjauhi keburukan semata karena ia keburukan, itulah inti kebaikan.

Dan inti hakikat dari segala kebaikan adalah kebaikan yang dilakukan melampaui tuntutan kewajiban.

Sebab kebaikan yang ditunaikan karena kewajiban adalah kelas rata-rata, masih jauh untuk bisa disebut di atas rata-rata.

Saat punya 10 dan menyumbang 2 atau bahkan 3, itu biasa. Jika punya 10 lalu melepas 5 atau lebih, itu baru luar biasa.

Lantas apa baiknya kebaikan yang memprovokasi keburukan,
dan apa buruknya keburukan yang mendorong kebaikan?

Toh, kiri yang di-kanan-kan bisa jadi lebih mulia dibanding kanan yang rasa kiri.

Kebakhilan yang memicu kedermawanan mungkin lebih baik ketimbang kedermawanan yang menyebar gonjang-ganjing.

Bukankah kanan dan kiri, atau atas dan bawah menjadi tak bermakna saat berada pada kepolosan titik tengah?

Titik tengah pun akan tak terbilang saat berada pada samudera kebaikan yang tak bertepi, yang menelan segala keburukan.

Merangkul semuanya. Sebab kanan-dan-kiri atau atas-dan-bawah atau tengah-dan-tepi adalah soal persepsi.

Dan persepsi lebih karena posisi dan sudut pandang, yang juga bisa berubah kapan waktu dan di mana tempat.

Sungguh tak bijak orang yang enteng memposisikan dirinya sebagai orang yang paling berhak mengklaim kebaikan.

Sebab klaim kebaikan justru bisa mengurangi bobot kebaikan. Dan proses berkurangnya bobot kebaikan adalah keburukan.

Syarifuddin Abdullah | 30 Desember 2019/ 04 Jumadil-ula 1441H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.