x

Wakil Wali Kota Solo Achmad Purnomo (ketiga kanan) membagikan Bubur Samin Banjar kepada warga yang mengantre di halaman Masjid Darussalam, Solo, Jawa Tengah, Senin, 6 Mei 2019. Tradisi membagikan Bubur Samin secara gratis menjelang berbuka puasa itu dimulai oleh komunitas warga keturunan Banjarmasin di Solo sejak tahun 1930-an. ANTARA/Maulana Surya

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 31 Desember 2019 14:44 WIB

Rudy, Gibran, dan Getirnya Demokrasi

Bila akhirnya Mega memutuskan memilih Gibran untuk maju, berarti Mega juga menyukai gaya politik ‘mendadak calon walkot’. Jalan tengah mungkin saja ditempuh, yakni Mega akan memadukan Gibran dan Achmad Purnomo—bakal calon hasil penjaringan dari bawah yang mungkin hanya akan dijadikan pendamping Gibran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Entah kenapa hingga kini Rudyatmo masih ‘tertinggal’ di Solo dan tidak terbawa serta ke Jakarta, walaupun figur yang dulu ia temani memimpin kota Batik itu sekarang tinggal di Istana. Namanya tak pernah disebut-sebut ketika banyak orang masuk ke daftar bursa pejabat publik tingkat nasional. Barangkali Rudy sendiri merasa bahwa ia dapat berbuat lebih banyak untuk masyarakat bila tinggal di kota Bengawan itu.

Nama Rudyatmo kerap disebut-sebut ketika Gibran, putra Presiden Jokowi—figur yang didampingi Rudy ketika memimpin Solo, menyatakan secara terbuka niatnya untuk maju ke kompetisi Pilwalkot Solo. Gibran dengan sigap mendaftarkan diri menjadi anggota PDI-P, lalu menemui Rudy sebagai orang nomor 1 partai itu di wilayah Solo, dan bahkan kemudian menemui Megawati, Ketua Umum PDIP.

Sebagai putra Presiden, Gibran memperoleh perhatian luas dari awak media. Rudy, walaupun sudah mengajukan bakal calon walkot yang dijaring dari akar rumput kota Solo ke pengurus pusat PDIP, dengan tangan terbuka menerima kunjungan Gibran. Mungkin Rudy tidak enak menolak kunjungan anak muda itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meskipun begitu, sikap Rudy tetap tegas ketika menyatakan proses penjaringan bakal calon walkot di tingkat Solo sudah selesai. Nama pasangan balon sudah ditetapkan dan sudah dikirim ke Jakarta, yaitu Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa. Rudy tidak ingin mengecewakan anggotanya yang sudah bersusah payah menjaring dari bawah dan mengubah pencalonan secara tiba-tiba hanya karena ada figur lain yang berkehendak untuk maju melalui partainya.

Rudy mungkin merasa dilematis, tapi ia berusaha mengambil jalan yang benar ketika mengatakan pentingnya siapapun untuk menghormati proses dan merit system. Itulah penolakan yang gamblang oleh Rudy terhadap upaya-upaya untuk mengubah nama bakal calon walkot PDI-P. Ia menyatakan telah menjalankan prosedur penjaringan dengan benar, jadi jika ada yang mau mengganti bakal calon yang sudah diajukan pengurus cabang, ia juga akan membuat perhitungan.

Gibran akhirnya berusaha mencalonkan diri melalui jalur lain setelah mentok di pintu Rudy. Ia mengetuk pintu pengurus DPD PDIP Jawa Tengah, organ yang secara struktural lebih tinggi dibanding kepengurusan cabang Solo. Pengurus DPD memberi izin, sehingga bakal calon walkot dari PDIP belum lagi pasti, apakah Achmad Purnomo atau Gibran. Keputusan ada di tangan Megawati yang memegang hak veto dalam pengambil keputusan untuk memilih siapa yang akhirnya maju ke gelanggang pilwalkot Solo dengan membawa bendera merah Banteng.

Peristiwa ini akan menjadi pelajaran demokrasi yang berharga bagi kita semua. Bukan hanya kalangan internal PDIP yang menanti keputusan Megawati, tapi juga masyarakat luas. Pelajaran apa yang hendak diberikan oleh ketua umum partai itu: apakah ia akan menghargai kerja keras Rudy yang telah menjunjung tinggi tata cara organisasi tentang penjaringan calon ataukah ia memilih jalan pragmatis dengan memberi tempat pada Gibran yang baru saja mendaftar jadi anggota PDIP dan langsung melejit menjadi calon walikota.

Bila akhirnya Mega memutuskan memilih Gibran untuk maju, berarti Mega juga menyukai gaya politik ‘mendadak calon walkot’, walaupun hal seperti itu mungkin hanya berlaku terbatas untuk kalangan elite saja. Jalan tengah mungkin saja ditempuh, yakni Mega akan memadukan Gibran dan Achmad Purnomo—bakal calon hasil penjaringan dari bawah yang mungkin akan dijadikan pendamping, bukan figur utama. Bila skenario ini nanti terwujud, maknanya kepentingan elite memang tidak tertandingi, sementara aspirasi bawah tetap ditampung agar rakyat pendukung tidak terlalu kecewa. Skenario ini membuat Teguh Prakosa, pendamping Purnomo, terpaksa menepi.

Jadi, pelajaran politik apa yang bisa diambil oleh masyarakat dari peristiwa ini dan dari perilaku serta sikap para elite politik? Akankah elite politik memberi keteladanan yang benar mengenai praktik demokrasi atau lebih menyukai langkah-langkah pragmatis? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB