Maju mundurnya suatu kota (polis) salah satunya ditentukan oleh peran masyarakat sipil (civil society). Pilar penting dalam demokrasi itu bak ujung tombak. Sangat menentukan arah pembangunan. Pelibatan mereka dalam setiap agenda kebijakan tidak boleh dilupakan. Suara nya harus didengar. Baik masukan atau kritikan. Begitu pula usahanya. Selagi positif, harus didukung.
Setidaknya hal itu lah yang harus dicamkan pemerintah kota (pemkot). Surabaya salah satunya. Kota yang menuju megapolitan tersebut sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan di berbagai sektor. Sebut saja pembangunan kawasan industri, pendidikan, ekonomi, hingga wisata.
Menariknya, selama hampir setahun mengikuti berbagai pembangunan itu, saya melihat pergerakan akar rumput tak pernah mati. Sebut saja revitalisasi kota tua di ujung utara yang sudah digarap sejak akhir Desember 2018 lalu. Para penggiat sejarah, komunitas, dan akademisi silih berganti memberikan sumbangsih ide. Bahkan, ada pula yang sudah menawarkan konsep penataan wisata integratif.
Bergeser sedikit ke arah Timur, para penggiat ekowisata mangrove juga sangat aktif memajukan wisata pantai timur Surabaya (Pamurbaya). Mulai dari pembuatan fasilitas, pengemasan konsep kuliner hinnga penanaman bibit mangrove. Berdasar info yang saya dapat, ratusan bibit baru ditanam secara swadaya oleh masyarakat setiap bulannya. Saya dapat info, hal itu dilakukan untuk mewujudkan Kebun Raya Mangrove terbesar di Asia.
Di Barat, dan mungkin hampir di seluruh Surabaya, banyak warga yang tetap menjaga ruh kebudayaan dan seni khas kota Pahlawan. Mulai dari ludruk yang dipadukan dengan tari remo, Gending Jula-Juli Suroboyo, Tari Hadrah Jidor, hingga pelestarian aneka batik oleh kaum muda.
Dari kaum akademisi, baru-baru ini saya meliput kolaborasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dengan Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) dalam membuat Rumah Swadesi di Keputih Timur Gang Baru, Sukolilo. Mereka mengadopsi ajaran Mahatma Gandhi tentang konsep berdikari. Melibatkan unsur mahasiswa, alumni kampus, hingga masyarakat setempat. Tidak tanggung-tanggung, ada 7 program yang dibuat. Mulai dari edukasi anak-anak, lansia, hingga sekolah rakyat. Selidik punya selidik, pembuatan rumah itu dilakukan hanya dalam dua minggu.
Wow. Saya betul-betul terpanah melihatnya. Memang sangat sederhana. Akan tetapi, saya bangga pada mahasiswa. Terlebih kepada masyarakat yang ingin kampungnya maju. Sebagai perbandingan, di RW VI Wonokusumo, Semampir, konsep pemberdayaan ini bahkan sudah membuat anak-anak merasakan dampak positifnya. Mereka mendapat bantuan dana untuk melanjutkan pendidikan. Kecil. Tapi ini fakta yang menguatkan betapa besarnya peran masyarakat. Betapa tingginya kepedulian terhadap kemajuan.
Penting Memahami Masyarakat
Semua itu tentu dimulai dari niat. Kemudian melangkah dan berusaha. Dukungan harus terus diberikan. Pemkot terlebih dulu harus memahami siapa masyarakatnya. Seperti apa karakteristik atau keinginannya. Jangan sampai pemkot ingin A tapi masyarakat ingin B. Kalau keduanya deadlock, dipastikan ada yang tersakiti. Ujungnya bisa menimbulkan dendam. Sikap itu jelas tak baik dalam suatu pembangunan.
Menurut saya, wali kota Tri Rismaharini paham betul karakter warganya. Opini itu berdasar pengamatan dan pengalaman saya di lapangan. Sederhananya, Bu Risma ini sosok yang dicintai masyarakat. Akan tetapi, bu Risma tetap manusia. Beliau butuh bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, bersikap welas asih setiap saat adalah kewajiban seorang pemimpin.
Di samping itu, kritikan juga tak boleh diabaikan. Saya melihat, kalau ada warga yang protes terhadap pembangunan kota seperti dianggap benalu. Kesannya tak boleh eksis. Padahal, kritik tak meluluh buruk. Ada juga yang konstruktif. Seperti misalnya yang dilayangkan oleh penggiat sejarah soal revitalisasi kota tua beberapa waktu lalu. Niat mereka baik. Ingin pembangunan kota lawas sesuai dengan latar belakang dan kesejarahannya.
Persis seperti perjuangan mengangkat nasib Benteng Kedung Cowek hingga kini. Bangunan yang berdiri di ujung timur Surabaya itu tak kunjung mendapatkan status bangunan cagar budaya (BCB) nya. Padahal, para penggiat sejarah sudah susah-susah mengumpulkan bukti primer hingga ke luar negeri. Kesannya diabaikan. Yang mengejutkan, justru ada pengeboran secara serampangan pada bangunan diduga BCB itu. Wajar kalau penggiat memprotesnya.
Meskipun begitu, tak semua kritikan bisa direalisasikan. Namun harus didengarkan. Sebab, seperti saya katakan di awal, maju mundurnya peradaban salah satunya ditentukan oleh masyarakat. Bagaimana jadinya kalau penggiat sejarah itu diam membisu dan tidak lagi peduli untuk kebaikan kota? Jelas tak sehat. Seperti sel kanker. Perlahan-lahan akan menghancurkan tubuh si penderita kalau tidak segera ditangani.
Medan adalah bukti sahih bagaimana hubungan pemerintah dan masyarakatnya yang semakin renggang. Hal itu sudah saya prediksi sejak pilkada 2015. Tingkat keterpiliihan wali kota hanya 25 persen dari total penduduk. 75 persen golput. Angka ini menandakan kalau mayoritas warga tak peduli dengan kotanya. Mengapa hal itu terjadi? Sebab, walikota sebelumnya kerap mengabaikan suara masyarakat. Karakter warganya tidak betul-betul dikenali. Maka, korupsi pun bertebaran. Check and balances tak berjalan. Kondisi semakin miris saat melihat dua wali kota diciduk KPK dalam rentang waktu yang tidak sampai 10 tahun. Kini menyusul wali kota sekarang. Jika terbukti, maka Hattrick. Ini sejarah yang fantastis. Dan siapa yang paling dirugikan? Lagi-lagi masyarakat. Sudah suara tak didengar, malah terkena imbas korupsi. Singkat kata, sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Betul-betul memilukan.
Belajar
Surabaya tentu harus belajar dari kondisi tersebut. Jangan sampai masyarakat tidak mendukung pemimpinnya. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Miriam Budiardjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik, peran masyarakat memang sebagai penyeimbang. Namanya penyeimbang, masyarakat tak ingin ada ketimpangan. Tak boleh berat sebelah.
Bu Risma setahun lagi akan berakhir masa baktinya. Waktu singkat itu memang harus dipergunakan sebaik mungkin untuk mendengarkan masukan, kritikan, serta mendukung upaya yang dibuat masyarakat.
Begitu pula dengan masyarakat. Harus terus peka dengan politik. Diawali dari hal-hal kecil saja. Lewat diskusi lintas elemen. Lalu dilanjutkan dengan pemberian konsep pembangunan. Maka diadakan lah permufakatan. Intinya, komunitas, akademisi, penggiat, atau bahkan pelajar harus terus berkolaborasi dengan pemkot. Karena itu lah jati diri kita sesungguhnya. Yakni, saling bergotong-royong.
Ikuti tulisan menarik Fajar Anugrah Tumanggor lainnya di sini.