x

Iklan

Putu Suasta

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Juli 2019

Sabtu, 4 Januari 2020 06:07 WIB

Luapan di Media Sosial Akibat Banjir Jakarta

Tanpa kesediaan menanggalkan ego dan tanpa kesediaan menjalankan program pembangunan berkesinambungan, banjir Jakarta akan terus menghantui masyarakat di dunia nyata maupun di dunia maya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*Putu Suasta, Alumnus Fisipol UGM dan Cornell University

 

Susan Blackburn dalam bukunya “Jakarta: Sejarah 400 Tahun” (Komunitas Bambu, 2011) mencatat adanya penurunan semangat menanggulangi banjir di Batavia Baru (Nieuw Batavia), jika dibandingkan dengan Batavia Lama (Oud Batavia). Susan mengindikasikan bahwa luapan air di musim penghujan tidak berhasil menyadarkan pemerintah akan pentingnya usaha terencana, berkesinambungan dan sistematis untuk menanggulangi banjir.

Masyarakat menjadi terbiasa dengan banjir bahkan hingga Batavia berganti nama menjadi Jakarta. Masyarakat akhirnya melihat banjir sebagai peristiwa alam yang tak memiliki solusi. Sikap pasrah dan berdamai dengan keadaan akhirnya menjadi satu-satunya pendekatan terbaik, dikuatkan dengan usaha rasionalisasi melalui berbagai mitos. Pola pikir seperti inilah yang dicoba dihapus di era Batavia Lama dengan membuat perencanaan matang, berkesinambungan dan sistematis dalam menanggulangi banjir. Semangat itu kemudian hilang seiring perjalanan waktu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun baru 2020, ketika teknologi dan ilmu pengetahuan telah melesat jauh dibandingkan era yang menjadi objek penelitian Susan, masalah Jakarta kurang lebih masih sama. Banjir masih bagian dari rutinitas tahunan. Bedanya, rasionalisasi melalui mitos tidak lagi terdengar. Mulai digantikan dengan rasionalisasi cuaca ekstrem, tumbukan sampah akibat kelalaian manusia dan berbagai faktor pembenaran lain. Semua itu dirasikan dengan lantang di media sosial, kemudian dibalas (juga melalui media sosial) dengan suara-suara frustasi dan sebagian menariknya ke wilayah politik yang menaikan tensi perdebatan, bully serta usaha memelintir berbagai data. Tak ada topik yang menarik di media sosial sejak 1 Januari lalu selain banjir Jakarta.

Luapan banjir Jakarta di media sosial sama besarnya dengan genangan air yang meluber hampir ke seluruh sudut Jakarta. Sesungguhnya, daerah lain juga mengalami banjir, tapi banjir Jakartalah yang berhasil membuat media sosial meluap. Dapat dipahami karena Jakarta adalah ibu kota dan selalu menjadi pusat perhatian seluruh penduduk Indonesia.

Jika genangan air di Ibu Kota tak juga mampu membangunkan kesadaran pemerintah, luapan pertengkaran, caci maki dan semua kebisingan di media sosial semestinya dapat membawa kesadaran akan kelambanan dan kelalaian selama ini. Kebetulan dalam dua tahun terakhir masyarakat tidak melihat secara jelas dan konkrit arah pembangunan dalam rangka penanggulangan banjir di Jakarta. Bahkan tak sedikit yang mengklaim terjadinya penurunan derap penanggulangan banjir yang sempat membubung di era sebelumnya. Persis seperti penurunan semangat yang dilukiskan Susan Blackburn dalam bukunya.

Pemerintah memang gemar melontarkan wacana dan rencana-rencana baru. Tapi ketika masyarakat tidak merasakan peningkatan kecepatan air meresap ke tanah atau mengalir ke tempat lain meninggalkan Jakarta, maka pantas dipertanyakan apa sesungguhnya capaian konkrit yang ditorehkan Gubernur dalam 2 tahun terakhir. Ketika mayarakat tidak merasakan kecepatan penanganan banjir, jangan salahkan jika mereka kemudian membuat banjir lain di dunia maya.

Sayangnya, pemerintah turut memperbesar banjir di dunia maya tersebut dengan usaha-usaha pembenaran atau usaha memenangkan pertarungan opini. Jual beli pernyataan, klaim dan saling menyalahkan antara Pemerintah Pusat dan Gubernur menjadi salah satu faktor utama besarnya luapan komentar di media sosial tentang banjir Jakarta.

Maka untuk tidak memperbesar luapan tersebut, penting kiranya pemerintah (Pusat dan Ibu Kota) untuk rendah hati meneruskan apa yang telah dijalankan dengan baik oleh pemerintah sebelumnya. Hingga sekarang masyarakat belum melihat mamfaat nyata dari wacana naturalisasi (sebagai pengganti normalisasi) yang digaungkan oleh Gubernur Anies dalam menangani persoalan sungai di Jakarta.

Wacana tersebut hanya menghasilkan kebisingan, tanpa mamfaat riil yang dirasakan masyarakat. Ini hanya satu dari banyak contoh lain bahwa pemerintah Ibu Kota tampak sangat terobsesi menjalankan program-program baru dan mengabaikan pentingnya program berkesinambungan dalam mengatasi masalah laten perkotaan. Tanpa kesediaan menanggalkan ego dan tanpa kesediaan menjalankan program pembangunan berkesinambungan, banjir Jakarta akan terus menghantui masyarakat di dunia nyata maupun di dunia maya.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler