x

karakter

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 4 Januari 2020 20:39 WIB

Banjir dan Natuna: Tetap Lahan Berseteru

Memprihatinkan, saat musibah dan bencana banjir datang hingga Natuna dalam ancaman, semua malah tetap jadi lahan untuk berseteru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di awal tahun, tanpa ada musibah dan bencana banjir di Jabodetabek yang dari kehendak-Nya saja, "rakyat" Indonesia sudah terkena "musibah" yang dibikin oleh "pemimpin rakyat". 

Sejatinya, sebelum musibah dan bencana banjir melanda, keresahan rakyat atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan khususnya, begitu menyita "sisi batin rakyat". 

Kini, sejak banjir melanda, lanjutan peristiwa Pilgub DKI dan Pilpres 2019 tayang lagi. Yang lebih ironis, para seteru ini tidak lagi melihat kepada obyek masalah, sejarah, dan peristiwa banjirnya, namun kembali mengorek soal janji-janji politik para "pemimpinnya." 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berbagai pihak "yang cerdas" dan"tak memihak" turut prihatin serta menyayangkan persoalan banjir justru menjadi komoditas politik yang digunakan oleh masing-masing kubu untuk membela junjungannya atau menyerang lawan politik. 

Akhirnya, musibah dan bencana banjir yang ada justru kalah banjir dari nyinyir- perseteruan dua kubu yang saling merasa benar. 

Herannya, "mereka" dengan tanpa "risih" saling menghujat via medsos dan medion. Inilah satu di antara fakta kegagalan pendidikan di Indonesia. 

Gagalnya pendidikan Indonesia karena sangat memprihatinkannya keterampilan berbahasa dan literasi "rakyat", menjadikan apapun yang dapat dijadikan pemicu untuk mengagungkan "junjungannya", maka akan dijadikan "alat" gratis politik yang saling meremehkan dan menjatuhkan. 

Jauh sekali dari "nawa cita" dan tujuan lahirnya manusia Indonesia berkarakter dan berbudi pekerti luhur. Bahkan, dalam kasus "banjir", bukan hanya rakyat yang mendukung pimpinan masing-masing, namun bahkan Menteri dan Presiden pun turut menyumbang "panasnya situasi" karena berbagai pernyataan yang membikin tidak nyaman. 

Barangkali melalui kaca mata kasus Banjir ini, Mas Nadeim, Mendikbud kita, dapat menyimak dengan cerdas, bahwa inilah "rakyat dan pemimpin" Indonesia terkini, dari hasil pendidikan Indonesia yang "gagal". 

Pendidikan di sekolah dan kampus,serta pendidikan di rumah, sejak Indonesia merdeka hanya mengajarkan teori, lalu menguji teori, kemudian diukur oleh nilai yang hanya sekedar menguji pemahaman, namun jauh dari tujuan pendidikan yang ciptakan manusia Indonesia terampil dalam kehidupan nyata.

Rakyat menjadi miskin dan  gagap hingga tertinggal dalam praktik kehidupan bersosial, bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan bertanah air. Ujungnya keterampilan berbahasa dan literasi rakyat sangat menonjol jauh dari harapan dan cita-cita pendiri bangsa sesuai amanah UUD 1945. 

Terlepas dari kegagalan pendidikan Indonesia yang tak melahirkan manusia berkarakter, tak berbudi pekerti luhur, a-empati, a-simpati, rakyat semakin kehilangan teladan dari para pemimpin bangsa. 

Bila sudah begini, siapa yang mau mengedukasi, sementara pemimpinnya sendiri saja malah lebih butuh diedukasi dan rakyat sudah kurang percaya kepada pemimpin. 

Coba tengok, selain menyoal aktual banjir, soal "Natuna" saja yang seharusnya bangsa ini bersatu, juga tetap jadi ladang "nyinyir". 

Apakah sebuah utopia, bila kita pada saatnya nanti akan melihat bangsa ini akan sembuh dari "sakit" ini. Seharusnya, dalam menghadapi segala hal, yang ada adalah lahir "politik bersatu", bukan "politik berseteru". 

Lalu lahir pula "media bersatu" maka segala hal perseteruan tidak akan terus beredar dan tambah meruncing. Mustahilkah ada program "puasa media dan medsos" untuk rakyat? 

Sebab bila rakyat sejenak henti dari "mengikuti perkembangan berita dari media dan medsos, maka waktu berpuasa akan dijadikan sebagai "upacara instrospeksi". 

Semua berhenti menjadikan apapun menjadi komoditas politik. Masa, banjir, Natuna, dll semua jadi alat untuk "nyinyir?" Luar biasa, kini berita banjir malah kalah dari banjir berseteru. Inilah karakter bangsa kita saat ini. 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler