x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Minggu, 5 Januari 2020 08:40 WIB

Banjir, Kenapa Harus Marah?

Akibat banjir, banyak orang marah-marah. Marah dianggap selesaikan masalah. Kenapa harus marah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banjir Jabodetabek bukan hanya sebab duka. Tapi memanggil kemarahan segelintir orang. Bersilang pendapat. Marah tentang cara atasi banjir. Sementara rakyat korban banjir pun marah, akibat lambatnya evakuasi. Lamanya bantuan darurat. Banjir air berubah jadi banjir marah. Marah, bisa jadi dianggap jadi solusi. Marah menyelesaikan masalah, apa ada?

 

Secara Bahasa, marah itu kata sifat. Marah berarti "sangat tidak senang", berang atau gusar. Lalu berubah jadi kata kerja jika diulang jadi "marah-marah", gemar marah. Kerjanya memarahi, senang bermusuhan. Maka mulutnya hanya “berbantahan”. Dan akhirnya saling "marahan". Nah, itulah kaum para pemarah; marah yang jadi sebab kemarahan akut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Kenapa harus marah?

Sungguh, marah itu sama dengan cinta. Hanya lahir dari hal-hal yang kecil saja. Marah yang berkobar menjadi kemarahan, lalu bermuara di kebencian. Kaum pemarah gemar marah-marah. Banjir marah, hujan marah, kemarau marah. Bahkan dikasih presiden terpilih pun marah. Gubernur pun dimarahi.

 

Marah lalu marah-marah. Hidupnya sehari-hari dekat dengan kemarahan. Kemudian berubah menjadi kebencian. Hingga ujungnya, mencari-cari kesalahan orang lain. Menyebut dirinya baik, sementara orang lain tidak. Marah-marah dianggap sehat, sungguh itu sakit.

 

Sifat marah yang berubah jadi kebiasaan. Begitu terus dan tidak bisa diredam sedikitpun. Kaum pemarah, seratus persen. Akhirnya bersahut-sahutan, berbantah-bantahan. Hingga lupa, apa yang harus dilakukan? Marah yang tidak disadari saat dimulai dan lupa diakhiri.

 

Kenapa harus marah?

Adalah Nabi Muhammad SAW, manusia yang tidak pernah sakit seumur hidupnya. Sungguh, itu karena beliau tidak pernah marah. Logikanya sederhana. Berarti sakit karena ada marah. Sehat berarti tidak ada marah. Kaum pemarah, mereka yang gagal mengelola kemarahan; gagal mengendalikan amarah. Miskin jiwa besar, fakir hati lapang.

 

Kaum pemarah pasti menyanggah ini. Karena marah dianggap manusiawi. Atau buru-buru bilang, “kayak elo gak pernah marah aja”. Bahkan bisa jadi, tulisan ini menjadi sebab marah dan kemarahan. Sah-sah saja.

 

Urusan marah, siapapun bisa, Karena marah hanya mengenal 4 (emapt) tipe manusia. Orang-orang yang 1) cepat marah lambat reda. 2) cepat marah cepat reda, 3) lambat marah lambat reda, dan 4) yang paling bagus itu "lambat marah cepat reda". Terserah, kita mau ada di mana? Pilih saja sendiri, jangan pilih pemimpin yang tidak disukai.

 

Memang, tidak ada yang “melarang” untuk marah. Siapapun dilarang melarang orang marah. Apalagi tidak pernah kasih makan. Untuk apa marah? Tapi ketahuilah, marah pun bisa dibuat efisien. Artinya, cukup sekali saja nyatakan apa yang bikin marah. Marah jangan diulang-ulang. Tiap hari tiap posting hanya kemarahan.

 

Tidak mudah memang meredam kemarahan. Tidak mudah memang untuk tidak marah. Apalagi agamanya beda, pilihan politiknya tidak sama. Asal tidak suka, apa saja marah. Asal beda, selalu marah lalu berbantah-bantahan Seperti urusan banjir. Malah pilih “atur air: bukan "atu“ orang”. Kita lupa, marah itu sakit. Tidak marah itu sehat.

 

Sudahlah, jangan marah-marah. Marah pun tidak perlu diperpanjang. Tidak ada manfaatnya marah. Kenapa marah? Bila kita belum tentu lebih baik dari orang yang kita marahi. Dan yang mengerikan, marah dan kemarahan itu awal rusaknya keimanan manusia.

 

Ketahuilah, siapapun tidak akan pernah punya waktu untuk berbuat kebaikan; bila selalu marah atau mengeluh… #LiterasiMarah #PegiatLiterasi

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu