x

Jasmine

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 7 Januari 2020 20:34 WIB

Kasus Jasmine Dianggap ada Diskriminasi: Pemerintah Harus Serius Menangani Pendidikan Formal Atlet Indonesia

Pemerintah harus serius menangani pendidikan formal atlet Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kasus Jasmine, harus menjadi kesadaran bagi seluruh stakeholder pendidikan dan olah raga di Indonesia. 

Selama ini, banyak sekali atlet olah raga berprestasi di berbagai cabang, lalu membela tim daerah hingga sampai ke timnas, mengalami kendala pendidikan formal yang sama. 

Bahkan atlet yang sampai masuk ke pemusatan latihan semacam Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar Daerah (PPLPD), Pusat Pendidikan Latihan Pelajar (PPLP), dan Pusat Pendidikan dan Latihan Mahasiswa (PPLM), juga dapat dipertanyakan bagaimana "kesungguhan" belajar formalnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah benar, nilai rapor dan ijazah yang diraihnya benar karena kemampuan hasil Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) "asli" atletnya? 

Tidak ada rekayasa nilai tugas, nilai ulangan, dan nilai ujian semeter demi formalitas naik kelas dan lulus sekolah dari pihak guru dan sekolah? 

Altet yang tertampung di PPLPD, PPLP, dan PPLM, meski akhirnya diberikan nilai-nilai sesuai proses KBM, dan mendapat predikat naik kelas dan lulus sekolah, masih masuk akal, meski nilai yang diberikannya, bukan didapat oleh atlet secara "normal". 

Namun, dari segi kehadiran/tatap muka, atlet bersangkutan justru tidak pernah izin atau dianggap bolos dari pelajaran, karena faktanya, atlet tinggal di mes PPLPD/PPLP/PPLM yang juga berada satu lingkungan dengan sekolah dan program pembelajaran atlet sudah satu paket "ala" PPLPD/PPLP/PPLM. 

Sementara altet-atlet berbakat di berbagai cabang olah raga yang tercatat sebagai atlet sebuah klub/atlet daerah hingga atlet nasional yang menempuh pendidikan di sekolah dan universitas formal, maka akan sangat terkendala dengan kehadiran tatap muka di sekolah. 

Program klub/daerah/timnas, tentu tak akan sejalan dengan program kalender pendidikan di sekolah. Masalah atlet mendapatkan nilai tugas/ulangan/ujian, polanya tidak akan sama dengan atlet di PPLPD/PPLP/PPLM, karena atlet tidak tinggal di lingkungan sekolah, dan kehadiran atlet/siswa juga menjadi prasyarat untuk nilai rapor dan penentuan kenaikan kelas atau lulus ujian. 

Namun, atlet yang ada di PPLPD/PPLP/PPLM/Sekolah Formal, baik yang sudah menjadi alumni atau yang kini masih menjalani masa pendidikan, boleh ditanya, kira-kira apakah mereka merasa yakin tuntas dalam KBM dan nilai yang diberikan mencerminkan hasil dari kemampuan riil-nya? 

Atau mereka semua mendapatkan nilai, naik kelas, dan lulus sekolah sekadar formalitas? Inilah benang kusut persoalan pendidikan atlet kita. 

Dengan Kurikulum yang ada, siswa yang bukan atlet saja, mengikuti program KBM secara benar, hasil sekolah dan kuliahnya masih banyak yang menganggap kurang "bermutu", Apalagi pendidikan para atlet yang naik kelas hingga lulus sekolah banyak "dibantu" dengan nilai "formalitas". 

Tentu harapan dari tujuan pembelajaran di sekolah, akan terus jauh dari tercapai dalam rangka membentuk dan menciptakan "manusia unggul" Indonesia. 

Semua hal tersebut, sudah bukan rahasia lagi, karena saya sendiri sudah bergelut dalam dunia pendidikan lebih dari tiga puluh tahun. Kenyang menghadapi persoalan atlet ketika harus berurusan dengan nilai tugas/ulangan/ujian. Di tambah minusnya kehadiran atlet di sekolah yang jauh dari syarat kehadiran tatap muka. 

Harus disadari, ijazah pendidikan formal, hingga kini masih menjadi syarat mutlak bagi seseorang untuk bekerja dan berkarir. 

Namun, lebih dari itu, pendidikan formal di sekolah adalah membentuk dan mengembangkan pedagogi (kognitif, afektif, psikomotor) siswa dalam rangka menghadapi kehidupan nyata, apapun bidangnya. 

Apa artimya sebuah rapor kenaikan kelas hingga ijazah lulus,  bila didapat dengan cara-cara "formalitas?" Tetapi kemampuan pedagogi siswa tak terasah dan tak "lulus". 

Kembali ke kasus Jasmine, miris rasanya bila ada pihak atau netizen yang "konyol" membikin cerita sendiri dan malah membikin persoalan menjadi runyam. 

Apalagi netizen ini bisa jadi "tak paham" aturan dunia pendidikan formal. Masa? Kasus Jasmine dibilang sebagai sebuah "dikriminasi?"

Coba kita tengok. Ada sebuah unggahan yang menyebut pemain Timnas Sepak Bola Putri Indonesia bernama Jasmine Sefia Wainy alami diskriminasi dari sekolahnya. 

Unggahan ini bahkan langsung viral di media sosial Instagram pada Jumat (3/1/2020). Adapun unggahan tersebut dibagikan oleh pemilik akun Instagram bernama @kepoball. 

Yang memiriskan hati, hingga tadi pagi Selasa (7/1/2020) pukul 7.30 WIB, unggahan tersebut sudah disukai lebih dari 29 ribu kali. 

Luar biasa, 29 ribu orang suka akan unggahan "konyol" ini. Di mana coba pola dan cara berpikir mereka? 

Dalam unggahannya, @kepoball menuliskan "Lah padahal membela negara loh ini malaha". 

Inilah gilanya medsos, hingga orang semacam pemilik akun, sangat ringan dan enteng komentar, namun "dangkal". 

Beruntung, Kompas.com segera bertindak dan menjernihkan masalah agar tak terjadi lagi unggahan "sok tahu" menyoal kasus Jasmine. 

Hasil dari upaya Kompas.com, yang menghubungi Kepala Dinas Pendidikan Kota Batu, Eny Rachyuningsih, didapatkan penjelasan bahwa Jasmine yang saat ini menjadi pemain Timnas Sepak Bola Putri Indonesia tersebut hampir selama satu semester tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolahnya, SMPN 2 Kota Batu. 

Termyata Jasmine hanya masuk pada saat ujian tengah semester dan ujian akhir semester. 

Netizen dan publik Indonesia yang belum paham, baiknya menyimak penjelasan ini. 

"Komponen nilai itu kan seharusnya ada yang dari ulangan, tugas, UTS (ujian tengah semester) serta UAS (ujian akhir semester)," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (7/1/2020). 

Bahkan menurut Eny, sebelum laporan hasil belajar (rapor) dikeluarkan, guru-guru Jasmine, sempat mengalami kebingungan terkait pemberian nilai. 

Oleh sebab itu, Jasmine bersama orangtuanya dipanggil pihak sekolah untuk diberi masukan agar mengganti tugas supaya mendapatkan nilai. 

Namun, Jasmine tidak kunjung mengerjakan serta mengumpulkan tugas tersebut. 

"Alhasil guru-guru kebingungan untuk memberikan nilai kepada Jasmine," jelasnya. 

Hingga pada akhirnya nilai Jasmine diberikan secara apa adanya. 

Dari penjelasan tersebut terungkap bahwa sekolah malah tidak mempersoalkan prosentase kehadiran Jasmine, dan tetap membantu Jasmine untuk mendapat nilai "formalitas". 

Tetapi Jasmine sendiri, mengabaikan. Sejurus dengan penjelasan Eny, secara terpisah, Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko membantah pernyataan dari pemilik akun @kepoball. 

Dewanti bahkan telah berkoordinasi dengan pihak sekolah dan sangat memaklumi aktivitas Jasmine. "Pihak sekolah sangat memaklumi aktivitas Jasmine bahkan sangat mendukung dan bangga," kata Dewanti. 

Namun, sekolah tetap memiliki aturan yang harus dijalani, yaitu dalam satu semester hendaknya kehadiran jangan sampai kosong sama sekali.

Andai kata tidak bisa, dapat diberi tugas untuk dikerjakan di rumah. "Kalau tidak bisa lagi, akan diupayakan untuk ikut kejar paket atau home schooling," ujarnya. 

Semua dimaksudkan agar saatnya ujian, siswa tidak menemui masalah. Menurut Dewanti, yang jelas, sekolah hanya ingin memberikan masa depan yang terbaik untuk Jasmine. Tidak ada maksud lain, apalagi "mendiskriminasi". 

Bagi seluruh netizen dan publik Indonesia, model persoalan pendidikan atlet seperti Jasmine, sebenarnya sudah berlangsung sangat lama di Indonesia. 

Bila selama ini tidak ada kasus yang mecuat dan viral, karena "dulu" belum ada medsos dan medion. Selain itu, antara orangtua, atlet, dan pihak sekolah "formal" ada kerjasama yang saling mendukung. 

Sekolah memberikan ruang dan kebijakan seperti sekolahnya Jasmine. Begitupun orangtua dan atlet juga harus harmonis dalam membantu mewujudkan kebijakan demi tercapainya hasil pembelajaran "formalitas" Jasmine. 

Pertanyaannya, apakah demi karir dan profesi sebagai atlet olah raga "di usia produktif," apakah sebagai atlet klub/daerah/timnas, sekolah formal harus dikorbankan? 

Apakah para atlet tetap bangga, berprestasi dalam cabang yang digelutinya, namu bukti hasil capaian pendidikan (nilai rapor dan ijazah) formalnya karena sekadar nilai-nilai formalitas? 

Ayolah belajar cerdas dari kasus pendidikan atlet ini. Bila hal ini terus terjadi dan tidak ada penanganan dari pemerintah, maka prestasi olah raga Indonesia akan terus digusur negara lain. 

Sebab, tidak akan pernah ada prestasi bila olah raga kita masih bertumpu pada kekuatan otot dan bakat atlet. Untuk mencapai prestasi olah raga, harus ada politik. 

Di dalam politik ada strategi, taktik, dan intrik. Di zaman modern ini, hanya atlet  "cerdaslah" yang dapat meraih prestasi, karena kuat dalam politik (strategi, taktik, dan intrik) bukan sekadar ditopang bakat dan fisik.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB