x

Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan berbicara kepada awak media saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis, 19 Juli 2018. Tempo/Syafiul Hadi

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 10 Januari 2020 10:34 WIB

Komisionernya Tertangkap, Kapan akan Ada Bersih-bersih KPU?

Selama ini rakyat gelisah karena keberadaan KPU, kini ada jawaban.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terbaru, Komisi Pemberantasan Pemilu (KPK) menangkap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan anggota partai politik. Bila selama ini KPK sudah memiliki catatan menangkap "berbagai" pihak. Maka, bila dari KPU saja ada pihak yang tertangkap, pertanyaannya, bagaimana selama ini KPU menjalankan tugas dalam pemilu? Apakah semua hasil pemilu selama beberapa periode, benar dan objektif? Pemimpin yang terpilih bukan hasil "jual-beli?"

Padalah pemilu yang didalangi KPU berfungsi memilih dan menentukan pemimpin rakyat. Luar biasa, kini rakyat harus percaya dan meneladani siapa? 

SDM-SDM yang berpendidikan dan terdidik dalam segala bidang, semakin banyak yang memanfaatkan keadaan hanya untuk kepentingan diri, keluarga, golongan, dan kelompoknya. Kendati SDM Indonesia semakin banyak yang "pintar" karena terdidik dan berpendidikan, namun kepintaranya tidak diimbangi oleh "karaktar budi pekerti" yang benar. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena kepintarannya pula, SDM yang terdidik dan berpindidikan, banyak yang menggunakan karakter budi pekerti hanya sebagai "kendaraan" untuk bermain peran dalam sandiwara demi memeroleh "keuntungan". 

Semua SDM yang saya maksud, bahkan tidak pernah punya rasa, tidak pernah punya hati, siapa yang menjadi korban dari permainan sandiwaranya, termasuk KPU.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa orang yang pandai berpolitik hanyalah orang yang "cerdas" dan mampu menerapkan strategi, taktik, dan intriknya demi menguasai keadaan, sasaran, lawan, hingga korbannya. 

Mereka-mereka adalah SDM-SDM unggul Indonesia yang seharusnya berjuang untuk rakyat dan bangsa, namun salah pembinaan dan budaya sehingga terus tergelincir di jalur yang salah. 

Mereka-mereka adalah kelompok orang-orang yang memiliki moto, "hari ini makan di mana?", "hari ini makan siapa?", padahal masih banyak rakyat Indonesia yang kondisinya "hari ini bisa makan atau tidak?" Siapa muara dari karut-marut persoalan karakter budi pekerti SDM Indonesia, sehingga tren masyarakat Indonesia persoalan karakter budi pekerti menjadi semakin memiriskan hati? 

Jawabnya, tentu setiap individu masyarakat Indonesia kini dapat lantang menjawab. Yakin akan ada yang menjawab, penyebabnya adalah orangtua/Ketua RT/Ketua RW/Lurah/Camat/Bupati-Wali Kota/Gubernur/Para Menteri/Presiden. 

Di luar jalur kepemimpinan, pihak yang disalahkan juga akan ada yang menyebut,  guru/sekolah/dosen/universitas/organisasi.  Lalu, ada juga yang akan menyebut media massa, televisi, medos, medion, partai politik, elite politik, dan para pemimpin bangsa. 

Luar biasa, yang saya sebutkan di atas adalah para pihak yang sewajibnya menjadi teladan baik. Namun, seringnya mereka semua membikin teladan negatif, maka sangat manjur keteladanan negatif mereka justru yang ditiru dan dijiplak rakyat. 

Hasilnya, meski di berbagai bidang bangsa dan negara ini wajib bertahan dan mampu bersaing dengan bangsa dan negara lain, nampaknya musuh terbesar demi bangsa dan negara ini bertahan dan mampu bersaing dengan bangsa dan negara lain serta kemajuan zaman, adalah para pihak yang seharusnya menjadi teladan rakyat. 

Sudah berapa lama KPU dijabat oleh orang-orang yang sama? Mengapa tidak pernah diganti? Malah ada yang bertanya, apa ketua KPU itu raja? Kok, masa jabatanya panjaaaaaang.

Jangan-jangan bila sekarang ada komisioner yang tertangkap, sudah pasti "borok" KPU selama ini akan terbongkar.

Atas kasus KPU, sekarang secara kolektif dan serempak, para teladan ini justru semakin menancapkan kuku-kukunya demi mereka sendiri. 

Ada lembaga ini, instansi itu, peraturan Undang-Undang dan hukum yang bertugas menjaga, melindungi, mengayomi, semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, semua sudah "dibeli". 

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perjuangan pahlawan. Dapat dibayangkan bila dulu para pahlawan bangsa hanya berpikir untuk diri, keluarga, kolega, kelompok, dan golongannya, mustahil bangsa ini telah merdeka. 

Saat banjir melanda 1 Januari 2020, semua saling menyalahkan dan saling menjadi pahlwan. Berikutnya, saat Natuna dan Cina menyeruak beritanya, semua juga andil bikin kegaduhan.

Semua hal, kini atas hasil perjuangan pahlawan dengan pengorbanan darah dan nyawa, apapun kasusnya, dibalas dengan perjuangan menguasai, bukan memberi dan membangun bangsa dan negara ini seutuhnya. Itu karena para pemimpin dan teladan rakyat, sudah tak berfungsi semestinya.

Benarkah selama ini pemimpin rakyat, pilihan rakyat?

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler