x

Aksi akrobat unicycle act, menaiki sepeda roda satu, acara dalam perayaan Imlek di Mall Kelapa Gading, Jakarta Utara, Sabtu, 18 Januari 2020. TEMPO/Bram Setiawan

Iklan

Mario Tando

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 22 Januari 2020 10:25 WIB

Mahalnya Keadilan dan Pengakuan; Imlek Konglomerat VS Imlek Rakyat Pinggiran

Mahalnya sebuah keadilan dan pengakuan. Ketika Presiden Joko Widodo semenjak dilantik tak pernah menghadiri acara keagamaan khonghucu, perayaan imlek nasional yang di adakan oleh MATAKIN. Tetapi memilih hadir dalam acara imlek yang dikoordinir para konglomerat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap bulan Januari tiba, selalu saja perdebatan tentang 'imlek' beserta penanggalannya diributkan oleh orang-orang 'Tionghoa' pada umumnya.

Ada kelompok orang-orang berpedoman Huangdi Era, ada juga kelompok 'Ru' Khonghucu yang tetap berpegang pada Kongzi Era (Kongzili).

Orang-orang yang bilang Huang Di era harusnya membuka kenyataan yang benar juga. Bahwa Saat Liu Shipei (1884-1919) menolak penanggalan ‘imlek’ menggunakan tahun kelahiran Kong Zi versi reformis Ru, Kang Youwei (1858-1927) pada sekitaran tahun 1898 sebenarnya ada sedikit masalah disana, yakni tentang kapan dilahirkannya Huang Di agar dapat dijadikan patokan penanggalan tersebut. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Disisi lain soal penggunaan 'tahun lahir kongzi' di dalam artikel 'Sejarah Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia' Bab 4.2 sudah disebutkan : “pada tahun 1880, Tjioe Ping Wie dengan bantuan Ong Wan Liong, Go Gwan Swie dan Yap Sik Kie menyebarkan gagasan penggunaan sistem kalender berdasarkan tahun kelahiran Khonghucu yaitu tahun 551 SM. Pada awalnya, gagasan tersebut disebarkan di kalangan pemimpin komunitas Tionghoa peranakan dan orang-orang Tionghoa yang bekerja sebagai pedagang di Surabaya. Mereka memulainya dengan mencetak sebanyak sepuluh ribu lembar kalender di Shanghai. Kalender tersebut dibagikan pada orang-orang Tionghoa di Surabaya, maupun toko-toko ternama di Jawa. Gagasan tersebut menunjukkan bahwa pemakaian sistem kalender berdasarkan tahun kelahiran Khonghucu telah lebih dulu dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Surabaya sebelum Kang Youwei mengusulkan hal yang sama pada Kaisar Guangxu pada tahun 1898.”

Liu Shipei ‘memperkirakan’ tahun 2711 BCE adalah tahun kelahiran Huang Di, tapi Song Jiaoren (1882-1913) ‘memperkirakan’ tahun kelahiran Huang Di adalah 2697 BCE. Dari satu sisi ini saja sudah banyak pertentangan.

Tanpa bermaksud 'menihilkan mitologi sejarah' Huang Di, kenyataannya memang sosoknya tak muncul juga dalam catatan Kongzi, sosok yang juga tak diragukan sebagai 'pencatat sejarah'. Sima Qian lah yang pertama kali menyebut Huang Di, tapi itupun dengan catatan disana-sini. Namun Sima Qian juga tidak pernah menyebut adanya Penanggalan Huangdi-li (Huang Di Era).

Selanjutnya, yang mungkin orang lupa ialah bagaimana sosok dan pengaruh besar Kong Zi yang berperan mengembalikan penanggalan ‘imlek’ menjadi awal musim semi seperti apa yang dulu pernah ada pada masa Dinasti Xia, namun tidak dilanjutkan pada dinasti-dinasti selanjutnya. Bahwa dalam perkembangan dinasti-dinasti selanjutnya, terjadi pergeseran permulaan awal tahun (tidak seperti ‘imlek’ saat ini yang jatuh tepat pada awal musim semi). Sehingga agak sedikit ganjil karena disana tidak ada kontinuitas. Bahkan andaikata Kongzi tidak dilahirkan, sepertinya 'imlek' (tidak akan lagi) jatuh pada awal 'musim semi' seperti saat ini. Musim yang dimana dahulu menjadi titik balik alam untuk ‘memulai kehidupannya kembali’.

Dan jika bicara 'imlek' di Indonesia, sebelum Inpres 14 tahun 1967 dicabut umumnya semua pihak 'memusuhi imlek', dan umat Khonghucu salah satu pihak yang paling konsisten bertahan pada keyakinannya, karena bagi umat Khonghucu imlek ialah menyangkut ritual sakral keagaaman yang juga sarat dengan nilai-nilai kebudayaan. Maka dari itu umat Khonghucu tetap konsisten bertahan ditengah larangan-larangan yang ada. 

Hingga pada akhirnya 'imlek diakui kembali' setelah dicabut Inpres 14 tahun 1967 dengan dikeluarkannya Keppres 6 Tahun 2000 oleh Gus Dur, ialah sebagai buah perjalanan perjuangan panjang dengan berbagai pengorbanan. Hal yang perlu diingat ialah ketika peraturan ini begitu membelenggu para penganut 'minoritas ganda', kami kelompok tionghoa yang beragama Khonghucu. 

Adapun diakui atau tidak, 'imlek' di Indonesia ialah sebagai buah pengakuan negara sebagai sebuah hari raya agama Khonghucu. Karena tidak ada satupun juga hari raya budaya/ tradisi/ suku yang sampai menjadi hari libur nasional. Jika demikian, sepertinya semua suku di Indonesia harus marah dan menuntut pemerintah tentang sebuahari raya agama Khonghucu. Karena tidak ada satupun juga hari raya budaya/ tradisi/ suku yang sampai menjadi hari libur nasional. Jika demikian, sepertinya semua suku di Indonesia harus marah dan menuntut pemerintah tentang sebuah pengakuan atas komunitasnya.

Tetapi makna sesungguhnya ialah bukan perdebatan tentang itu, biarkanlah setiap orang memiliki pilihan dan hak-haknya masing2, dengan catatan tidak mengganggu hak orang lain. Agar setiap pihak berusaha tetap fair dan tidak menjilat ludah sendiri. Yang penting tetap tersaji fakta-fakta kebenaran yang ada secara objektif. Bingkai besarnya ialah semua diundang untuk merayakan kemegahan ‘imlek’. Tetapi bagi umat khonghucu, 'Imlek' ialah hari raya keagamaan karena jelas tersurat dalam kitab-kitabnya lengkap dengan kesakralan ritual peribadahannya (sedari dulu, dengan/ tanpa 'tekanan' pemerintah).

Dalam hal ini pemerintah harusnya punya kacamata yang jelas melihat 'imlek' sebagai sebuah hari raya keagamaan bagi umat Khonghucu. Sungguh aneh ketika pemerintah mengakui 'kongzi li', tahun 2020 = 2571 Kongzili (Tahun kelahiran Kongzi 551 SM + Tahun Masehi 2020), namun di sisi lain malah menihilkan 'imlek' sebagai hari raya keagamaan bagi umat khonghucu di Indonesia. 

Hal tersebut misalnya ditandai dengan tidak pernah hadirnya Presiden Joko Widodo semenjak di lantik periode pertama sampai saat ini ke dalam Acara Imlek Nasional yang diadakan setiap tahun oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN). Mungkin ini juga bisa masuk rekor MURI karena beliaulah satu-satunya presiden sebagai lambang kepala negara yang memutus tradisi pemimpin tertinggi yang tak hadir dalam acara keagamaan masing-masing agama, dalam hal ini acara keagamaan Khonghucu semenjak Almarhum Presiden Gusdur mengawalinya. 

Yang lumayan menyakitkan ialah ketika tahun lalu beliau malah memutuskan untuk menghadiri acara imlek nasional yang diadakan oleh berbagai organisasi berbasis budaya dibawah tangan para taipan dan konglomerat, tapi lagi-lagi mengabaikan acara imlek nasional yang diadakan oleh MATAKIN yang merupakan organisasi berbasis agama.

Entah siapa pembisik dan orang kuat mana yang membuat Sang Kepala Negara menjadi gagal paham soal sejarah 'imlek' di Indonesia. Kenyatannya beliau lebih memilih acara konglomerat daripada acara rakyat. Tentu saja hal ini menyakiti hati umat khonghucu di Indonesia.

Tapi penulis tetap berharap kepada seluruh umat khonghucu di Indonesia untuk tetap sabar dan tidak menjadikan masalah ini besar. Karena pemimpin silih berganti, namun kebenaran akan keyakinan tetap terus dapat kita jaga dan jalani. Ketidakadilan pemimpin pasti ada masanya, namun keadilan dari pemimpin pasti akan dikenang dan dijaga keabadiannya.

Tak perlu peduli diakui atau tidak, dilihat atau tidak, difasilitasi atau tidak teruslah menjalani keyakinan untuk tetap berjalan dalam kebajikan menurut ajaran ru khonghucu, lengkap dengan segala spiritualitas peribadahannya. 

Kita mesti sadar umumnya pemimpin yang dilahirkan dari partai politik, jika dia tidak memiliki leadership disertai pengetahuan umum yang tinggi pasti akan terseret dalam gelombang tekanan efek bargaining masa lalu. Jadi wajar saja jikalau ada para pembenci khonghucu di Indonesia di lingkaran pemerintah yang selalu membisiki hal-hal tidak karuan akhirnya didengar juga sebagai sebuah kebenaran menurutnya sendiri. Ingat, Soeharto tidak pernah benar-benar membenci Tionghoa dan Khonghucu, tapi orang-orang sekelilingnya lah yang membuat demikian. 

Yang juga tampak nyata ialah ketika dibentuk BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) yang katanya perwakilan tokoh-tokoh agama, namun lagi-lagi nihil tokoh khonghucu. Entah karena umat khonghucu dianggap tidak pancasila, atau memang karena umat khonghucu dianggap sudah paham pancasila. Hanya mereka di lingkaran kuasa yang memahami alasan dibalik kenyataan yang ada. Jangan kita bicara soal dirjen karena sampai lebaran kuda pun rasanya tak mungkin tiba, keputusan politik yang begitu rumit dipahami logika.

Tetaplah lah kita mencintai Indonesia bukan karena pemimpinnya, namun karena kesadaran dan kecintaan kita terhadap ibu pertiwi, dimana tempat kita dilahirkan dan hidup sampai berpulangnya kita. Mencintai dan selalu menjunjung tinggi bumi yang kita pijak lebih dari mencintai pemimpin yang berkuasa. 

Hiduplah dengan ikhlas di negeri tercinta, penuhilan segala kewajiban. Jangan menggerutu membayar pajak pertambahan nilai atas segala barang yang kita beli, yang bekerja jangan juga mengeluh membayar pajak penghasilan dan segala iuran jaminan sosialnya, bagi yang memiliki tempat tinggal jangan juga abai membayar pajak bumi dan bangunan, yang memiliki kendaraan jangan lupa membayar pajak kendaraan, semua umat tidak boleh lupa membayar bpjs kesehatan (tahun ini naik 100%).

Semua kewajiban kepada negara harus kita penuhi, namun soal hak kita sudah terbiasa tak terpenuhi, tetapi nyatanya kita masih bisa hidup dengan damai tanpa sedikitpun niat ingin mengacaukan negeri. Teruslah berbakti kepada negeri, bukan kepada pemimpin negeri. 

Kita harus sadar bahwasannya kita tidak mempunyai uang untuk membeli sebuah keadilan dan pengakuan. Jadi jangan harap menang jika lawannya para taipan dan konglomerat dibelakang lingkar kekuasaan, terlebih pemimpinnya sama sekali tak punya pedoman.

Tapi kita masih punya hati untuk tetap terus menjaga kecintaan terhadap negeri, tanpa meributkan hak dan mengedepankan kewajiban.

Terimakasih Indonesia tidak sama dengan Terimakasih Presiden. 

#Umat Khonghucu Pinggiran

 

Ikuti tulisan menarik Mario Tando lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler