2.Menganggap bukan cagar budaya
Tidak seriusnya Pemerintah Provinsi DKI dalam memahami status kawasan Monas itu sebelumnya terlihat juga dari pernyataan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Cucu Ahmad Kurnia. Ia sempat menyebut bahwa tidak semua kawasan Monumen Nasional (Monas) merupakan kawasan cagar budaya.
Ia mengatakan hanya Tugu Monas yang masuk dalam kategori Cagar Budaya. "Yang masuk cagar budaya itu tugu monas nya. Bukan kawasan monasnya," katanya, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (23/1).
Karena alasan itu, Cucu mengatakan tak ada permasalahan dengan revitalisasi yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ia mengatakan DKI memiliki kewenangan untuk mengelola kawasan. "Ya enggak masalah [revitalisasi] selama enggak ganggu tugu Monas-nya," katanya .
Sikap tersebut amat mengherankan karena status kawasan Monas dan Tugu Monas sebagai cagar budaya justru diatur Pemprov DKI. Sesuai Keputusan Gubernur Nomor 475 Tahun 1993, pemerintah DKI telah mengumunkan Penetapan Bangunan-bangunan Bersejarah di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Cagar Budaya.
Dalam keputusan tersebut Monumen Nasional ditetapkan sebagai salah satu Cagar Budaya. Tapi situ tercantum pula Lapangan Merdeka (Monas) sebagai cagar budaya. SK itu juga menjelaskan bahwa Lapangan Merdeka dibangun pada abad 19 dan pernah digunakan tempat rapat raksasa menyambut kemerdekaan RI.
3.Menggunakan buat kegiatan agama
Gubernur DKI Jakarta tampaknya kurang memperhatikan status kawasan Monas sebagai cagar budaya saat membolehkan kegiatan keagamaan digelar di kawasan Monas. Bahkan, acara reuni 212 pun digelar di sana. Padahal, kawasan ini menyimpang sejarah perjuangan bangsa.
Perubahan itu dilakukan Gubernur Anies lewat Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 186 Tahun 2017 yang merevisi aturan sebelumnya yang melarang kegiatan seperti itu di kawasan Monas. Langkah itu juga terkesan dilakukan secara sepihak tanpa meminta restu pemerintah pusat.
***
Ikuti tulisan menarik Anung Suharyono lainnya di sini.