x

ngegas

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 29 Januari 2020 08:13 WIB

100 Hari Kerja Jokowi: Membikin Rakyat Terbudaya Ngegas?

Rakyat mudah tersinggung, mudah rakyat, pemicunya banyak kebijakan pemerintah yang tak memihak rakyat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Persis hitungan 100 hari kerja Kabinet Jokowi jilid 2, segenap lapisan masyarakat dari rakyat biasa, elite partai, hingga pemimpin bangsa, tak henti dijumpai berbagai masalah yang mengakibatkan siapa pun mudah "ngegas!" 

Yah, di republik ini, akibat berbagai kebijakan Jokowi, ulah para menterinya, ulah staf khususnya, ulah elite partai politik dan koleganya, semua membikin rakyat mudah sekali ngegas, mengelurkan perkataan kasar dengan penuh emosi. 

Hampir di semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, mulai dari persoalan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (Ipoleksosbudhankam) yang seharusnya semua bidang tersebut penting untuk dijaga dan berkeseimbangan agar kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa dan UUD 45, nyatanya, tidak seperti yang diharapkan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Moto kerja dan kerja, yang dilakukan oleh Jokowi dengan maksud untuk membangun serta membuat rakyat aman, tenteram, dan sejahtera, tak pelak di semua bidang Ipoleksosbudhankam, menjadi sebaliknya membikin rakyat resah. 

Sebenarnya, bila persoalan berbagai kebijakan menyoal bidang Ipoleksosbudhankam yang digulirkan Jokowi benar-benar berpihak kepada kesejahteraan rakyat, maka rakyat pun tidak akan mengeluh. 

Namun, sudah banyak kebijakan-kebijakan yang tidak populer ditelurkan dan dipaksakan tetap bergulir meskipun rakyat tak setuju dengan fakta adanya demonstrasi dan sebagainya, namun Jokowi tak bergeming dan tetap "kekeh" dengan kebijakannya. 

Menjadi ironi, mengapa budaya ngegas di republik ini justru malah dipertontonkan oleh elite partai politik, para menteri, staf khusus presiden, hingga Presiden sendiri? 

Semua drama ngegas para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyat, justru malah "besar ambek" ketika berbagai kebijakannya dikritik oleh rakyat, dan dibalas dengan kata atau ucapan ngegas yang terekam kamera televisi atau tertulis dalam berita-berita media massa. 

Seharusnya, atas kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat, maka yang pantas ngegas karena adanya ketimpangan dan ketidak adilan yang semakin hari, semakin dirasakan rakyat, yang pantas ngegas itu rakyat. 

Bukan mereka-mereka yang membikin kebijakan dan melahirkan keresahan rakyat. Aneh, dipercaya memimpin bangsa dan negara, mereka malah bertindak seenaknya, semauanya, mumpung tampuk kekuasaan sedang mereka genggam. 

Prek apa itu komplen rakyat, yang penting, mereka dan kelompoknya tidak menderita dan malah bancakan uang rakyat. Dan yang paling mengenaskan, selama 100 hari kerja Kabinet Jilid II ini, budaya ngegas rakyat Indonesia semakin kentara dan sulit dikendalikan, sebab pemicunya justru mereka yang seharusnya menjadi panutan. 

Akibat teladan ngegas yang seolah menjadi halal dan budaya, kini begitu merasuk pada kehidupan rakyat. Di medsos, di medion, di jalan raya, di pasar, di sekolah, di kampus, di rumah, dan di berbagai tempat, kini kita akan dengan mudah menjumpai seorang anak ngegas pada kakaknya, orantuanya, tetangga, orang lain hingga murid melawan guru, para elite saling serang, rakyat melawan menteri, rakyat mendemo Presiden. 

Lalu berbagai kasus di seantero negeri, seseorang ngegas dan menjadi petaka. 

Sejatinya, di luar hitungan waktu 100 hari kerja Kabinet Jilid II, budaya ngegas ini sudah ada dan memang sudah menjadi tabiat dasar manusia. 

Tetapi, tak dipungkiri, sejak pemerintah Jokowi-Ma'ruf dilantik pada 20 Oktober 2019 lalu, atas berbagai kebijakan dan tindakannya yang tidak berpihak kepada rakyat, sungguh menyuburkan budaya ngegas di masyarakat. 

Masyarakat menjadi mudah marah, gampang tersinggung, gampang saling menghujat, saling menyindir, terlebih masih kental sisa-sisa persaingan Pilkada DKI dan Pilpres yang tetap menjadi pemicu "kebencian". 

Semoga, para pemimpin kita menyadari akan hal ini. Buat apa mengejar pencapaian kerja dan kerja yang menurut sudut pandang mereka hebat dan akan membuat bangsa menjadi maju dan mensejahterakan rakyat, namun cara-cara dan kebijakan yang ditempuh justru mengorbankan jiwa, pikiran, hati, dan kesejahteraan rakyat. Buat apa? Hingga membuat rakyat/seseorang gampang ngegas.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler