x

Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), memberikan pendapat soal usulan PBNU tentang pemilihan presiden tidak langsung, di rumahnya di Jalan Bangka Raya, Jakarta, 30 November 2019. Tempo/Friski Riana

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 3 Februari 2020 13:45 WIB

Gus Sholah, Penyuara Kaum Mustadh'afin

Wafatnya Gus Sholah merupakan kehilangan bagi rakyat awam yang terpinggirkan. Di tengah sepinya suara cerdik cendekia, Gus Sholah teguh menjalankan perannya: menyuarakan kehendak rakyat kecil yang sumberdayanya serba terbatas untuk mampu mengimbangi kelompok elite yang didukung sumberdaya yang melimpah ruah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Wafatnya KH Sholahuddin Wahid, yang akrab disapa Gus Sholah, merupakan kehilangan bagi rakyat awam yang terpinggirkan. Di tengah sepinya suara cerdik cendekia, Gus Sholah teguh menjalankan perannya: menyuarakan kehendak rakyat kecil yang sumberdayanya serba terbatas untuk mampu mengimbangi kelompok elite yang didukung sumberdaya yang melimpah ruah.
 
Ketika kaum elite mendominasi dan menghegemoni segala rupa wacana di negeri ini, Gus Sholah mengerti benar apa tugasnya: berusaha meluruskan yang bengkok dan menjeritkan suara awam yang kurang berdaya. Saat kaum elite ramai-ramai mendorong agar pemilihan presiden dilakukan oleh MPR, Gus Sholah menyuarakan apa yang dipikirkan rakyat awam: menolak gagasan yang hanya menyenangkan kaum elite itu.
 
Banyak orang pintar di negeri ini, tapi sedikit yang memahami benar untuk apa seharusnya kepintarannya itu digunakan: memperkuat yang sudah berkuasa atau memperkuat yang tidak berdaya. Gus Sholah agaknya memilih yang kedua dengan berpihak kepada kaum mustadh'afin. Di luar wacana yang didominasi oleh isu-isu besar ada begitu banyak awam yang tersingkir, terpinggirkan, dan tidak berdaya. Kepada kaum inilah Gus Sholah berpihak.
 
Gus Sholah  berikhtiar keras mewujudkan salah satu perintah Penciptanya, yaitu berpihak kepada kaum mustadh'afin. Gus Solah agaknya memahami benar bahwa di alam demokrasi pun, yang secara jargonial diartikan sebagai dari rakyat untuk rakyat, kaum ini kerap tertinggal dan tersingkir dari percaturan kemasyarakatan--politik, ekonomi, teknologi, dan yang lainnya. Kaum mustadh'afin menjadi kaum papa di lapangan politik, ekonomi, maupun teknologi, yang lebih banyak diperlukan tatkala musim pemilihan tiba.
 
Di tengah situasi seperti sekarang, ketika para elite dari berbagai lapangan bersatu padu, Gus Sholah tetap mampu menjaga jarak dengan mereka. Gus Sholah tidak terbawa arus seperti halnya cendekia yang melek politik-sosial-ekonomi yang membiarkan dirinya hidup nyaman di dalam sangkar emas kekuasaan.
 
Gus Sholah tak mau mengingkari nilai-nilai kecendekiaan dengan membenarkan atau setidaknya membiarkan yang salah, sebagaimana ia juga tidak mau menyalahkan apa yang menurutnya benar. Gus Sholah berusaha teguh dengan prinsip amar ma'ruf nahi mungkar terhadap siapapun.
 
Gus Sholah memang tidak melawan secara frontal perilaku kaum elite yang kadang-kadang kebablasan, tapi Gus Sholah selalu dengan jelas menyatakan sikap dan pilihannya untuk tidak bersepakat. Ia tidak memilih berdiam diri. Gus Sholah juga tidak bersikap seolah-olah tidak tahu perihal perilaku kaum elite, tapi ia mengingatkan mereka tanpa ragu.
 
Mengapa kaum awam merasa kehilangan dengan berpulangnya Gus Sholah, tak lain karena selama ini Gus Sholah memilih untuk tetap menjadi bagian dari rakyat awam agar tetap mampu menyuarakan kehendak kaum yang powerless ini. Kaum mustadh'afin adalah kaum yang dilemahkan dan dimarjinalkan, dan karena itu tidak dilibatkan dalam soal-soal penting bangsa ini. Alih-alih menguatkan yang sudah kuat dan berkuasa, Gus Sholah memilih untuk menguatkan yang lemah dan kurang berdaya.
 
Tidak banyak lagi para cerdik cendekia yang sanggup bertahan menghadapi godaan untuk bergabung dengan kelas elite yang tampak menikmati keistimewaan. Gus Sholah, hingga wafatnya, menunjukkan sikap istiqamah untuk menyerap suara hati kaum mustadh'afin dan menyuarakannya secara terbuka agar kaum mustadh'afin tahu dan merasakan bahwa masih ada cerdik cendekia yang menggemakan kehendak mereka walaupun memang tidak selalu membuahkan hasil. Wallahu 'alam. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler