x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 3 Februari 2020 14:37 WIB

#SeninCoaching: Wuhan, Wu Wei, Wu Luan

Dari sejak terkuaknya informasi wabah sampai hari ini, hal yang tidak wajar atau kurang patut dilakukan adalah pernyataan-pernyataan yang kontraproduktif, karena ikut menambah kecemasan publik. Sangat disayangkan ucapan asal nyelonong semacam itu bahkan datang dari kalangan yang dianggap memiliki otoritas atau secara akademik bergelar ahli. Jika orang tersebut punya jabatan (publik), perilaku kepemimpinannya layak diuji ulang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leadership Growth: What is Your Contribution?

 

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak reformasi ekonomi (dan birokrasi) menghasilkan kemakmuran di mana-mana, Pemerintah China mengeluarkan kebijakan “holiday economic.” Untuk mendorong masyarakat membelanjakan sebagian tabungan mereka dengan liburan di dalam negeri dan belakangan ke luar negeri juga-–pakai travel biro China, belanja di outlet-outlet yang sahamnya (umumnya) milik mereka pula.

Memasuki Tahun Tikus 2020, liburan Imlek di China telah menyemburatkan chaos, ketakutan, di dalam negeri dan di sejumlah negara lain di dunia.

Penyebaran coronavirus dari Wuhan, Provinsi Hubei, sudah pandemik, mulai menyerang manusia di lebih dari dua benua, kata para ahli penyakit yang disebabkan infeksi di lembaga-lembaga internasional. Badan Kesehatan Dunia (WHO) beberapa hari silam menetapkan coronavirus sebagai wabah global.

Update Ahad 2 Februari kemaren, Komisi Kesehatan Nasional China melaporkan tambahan jumlah kematian 57 orang dan terkonfirmasi kasus baru 2.829 orang. Total meninggal akibat coronavirus di China menjadi 361 orang, terkonfirmasi sakit 17.205 kasus. Semua itu yang tercatat resmi di kantor-kantor pemerintah.

Di negara-negara lain, seperti AS, Jerman, Rusia, Filipina, Thailand, ditemukan sejumlah kasus coronavirus, kendati belum semua kasus tersebut menyebabkan kematian. Kabar terakhir, satu orang yang di Filipina belakangan meninggal.

Kini, 238 warga negara Indonesia yang dievakuasi dari Wuhan, dikarantina di Natuna, wilayah RI yang sudah puluhan tahun silam diincar China. Karantina terhadap saudara-saudara kita yang baru tiba dari wilayah terpapar wabah adalah wajar.

Upaya-upaya pengamanan, evakuasi, dan karantina oleh negara-negara yang warganya sempat tinggal di Wuhan –seperti Jerman, Prancis, AS, Russia, dan Indonesia– merupakan proses yang sepatutnya dilakukan. Itu memperlihatkan kemampuan dan perilaku kepemimpinan yang sigap menghadapi krisis.

Dari sejak terkuaknya informasi wabah sampai hari ini, hal yang tidak wajar atau kurang patut dilakukan adalah pernyataan-pernyataan yang kontraproduktif, karena ikut menambah kecemasan publik.

Pernyataan yang tidak berdasarkan fakta atau hasil penelaahan seksama dapat menyebabkan publik terjebak pada imajinasi masing-masing, gosip. Sangat disayangkan ucapan asal nyelonong semacam itu bahkan datang dari kalangan yang dianggap memiliki otoritas atau secara akademik bergelar ahli. Jika orang tersebut punya jabatan (publik), perilaku kepemimpinannya layak diuji ulang.

Setiap terjadi krisis selalu ada solusi jangka pendek, rencana jangka menengah, dan perlu perubahan sikap menghadapi (kemungkinan) chaos di masa datang. Chaos, krisis, dan pelbagai gejolak (sosial, ekonomi, kesehatan, budaya, politik), serta bencana alam, ternyata merupakan perkara yang tidak terpisahkan dalam perjalanan umat manusia di Bumi.

Setiap zaman melahirkan krisis dan solusi sendiri. Perubahan sering diwarnai oleh perilaku kepemimpinan sejumlah individu yang berani, biasanya sekaligus rendah hati dan disiplin, menempuh “jalan menanjak”, tekun, istiqomah. Sejarah sudah menghadirkan bukti, para pemimpin hebat justru lahir dari krisis, chaos.

Perlu kita pahami lagi, sebagian (atau umumnya?) chaos atau bencana sesungguhnya disebabkan oleh manusia sendiri, di antaranya bisa karena perilaku kepemimpinan yang sembrono, mindset yang kurang fit untuk mengatasi tantangan kekinian, serta akibat korupsi.

Bahkan krisis yang mendalam sampai merusak sendi-sendi kehidupan juga disebabkan oleh manusia, utamanya akibat kepemimpinan yang otoriter, lalim, dan secara sistematis menghancurkan harkat kemanusiaan–-contoh di Abad 20 antara lain Hitler dan Stalin.  

Umumnya orang-orang yang mengaku atau seolah-olah jadi pemimpin, saat terjadi krisis akan berlindung di balik jabatan resmi mereka. Pihak lain, termasuk anak buah, akan mereka tuduh sebagai penyebabnya.

Ada juga yang bersikap legowo mengakui kelalaiannya. Dalam kasus coronavirus Wuhan, masyarakat setempat menilai, perilaku kepemimpinan pejabat (partai dan pemerintah) yang tidak segera memberi aba-aba adanya bahaya wabah telah menyebabkan kenyamanan semu yang membahayakan publik.

Di negara otoriter tersebut, tentu agak mengejutkan jika sikap terbuka mengakui kelalaian justru datang dari Feng Guoqiang, Sekretaris Partai Komunis Wuhan. “Saya merasa bersalah, menyesal, dan malu atas semua itu,” kata Feng Guoqiang dalam wawancara dengan CCTV, media milik pemerintah. “Kini saya galau, kalau saja saya mengambil keputusan lebih awal untuk mengontrol ketat pergerakan warga, situasinya bisa jadi lebih baik dibanding sekarang.”

Walikota Wuhan Zhou Xianwang, yang kekuasaannya di bawah Feng Guoqiang, mengakui bahwa kelambatan respon pemerintah karena undang-undang melarang penyampaian informasi ke publik secara cepat.

Contoh bencana lain yang dampaknya menjadi makin parah karena ulah manusia –atau akibat perilaku para pemimpinnya tidak terpuji-- adalah ketika topan badai (hurricane) Katrina 29 Agustus 2005 menghantam New Orleans dan menyebabkan kota lumer ditelan gelombang. Kerugian waktu itu senilai US$ 70 milyar (billion).    

Kenapa dalam kasus tersebut manusia dianggap ikut menambah penderitaan?

Pertama, hurricane Katrina mungkin tidak dapat dihindari, karena proses alam. Tapi, menurut kalangan ahli, kalau saja para pejabat/pemimpin lokal bersedia belajar dari orang-orang Belanda yang sudah ratusan tahun silam menyiapkan tanggul mencegah hantaman gelombang laut, situasi New Orleans tidak akan separah waktu itu. Bukankah perihal ini sudah menjadi pengetahuan umum?

Kedua, The Flood Control Act 1965 telah memberikan mandat pembuatan parit dan tanggul sampai ke Danau Pontchartrain. Sistem pertahanan parit dan tanggul seyogyanya rampung 1978. Namun, 40 tahun kemudian hanya 60% dari proyek yang selesai. Perilaku kepemimpinan yang buta hati dan korupsi telah ikut menyebabkan New Orleans lumpuh.

Kasus coronavirus Wuhan dan bencana lain, seperti hurricane Katrina di New Orleans, tentunya memberikan ilham tentang bagaimana sepatutnya menjadi pemimpin, dan bukan sekedar pimpinan (pemegang jabatan atau posisi). Di organisasi, bisnis dan nonprofit, atau di pemerintahan.

Ayo kita simak Wu Wei, dari ajaran Lao Tzu dalam Tao Te Ching – Taoism. Secara harafiah, arti Wu Wei adalah “non-doing”, ditafsirkan sebagai “bertindak mulus, bahkan excellent, tanpa harus ngotot.”

Tahapan ini lazimnya bisa dilakukan oleh orang-orang yang secara sungguh-sungguh berkesinambungan terus mengasah diri, membiasakan laku hidup selaras dengan alam semesta, arus kehidupan-–merdeka dari ego, atau bentuk pemaksaan demi kepentingan sesaat, jabatan, atau perilaku negatif lainnya.

Kalangan psikolog, utamanya Mihaly Csikszentmihalyi, menyebutkan tahapan tersebut sebagai “flow”, “being in the zone”. Para atlet kelas dunia, para leader yang mengubah sejarah, diasumsikan berprestasi karena mereka berhasil ke level “being in the zone”.

Kebiasaan menunda-nunda pekerjaan; bicara tidak gamblang (indikasi gangguan integritas); korupsi (waktu dan uang); selalu ingin menang dalam segala situasi/di setiap tikungan (winning too much, kata Marshall Goldsmith); tidak accountable; menolak self-improvement (dengan segala dalih, termasuk sibuk tanpa ujung), merupakan sebagian dari perilaku-perilaku yang menghambat ke taraf Wu Wei.

Tugas pemimpin adalah menjaga kesinambungan, jika terjadi chaos perlu order. Ada yin dan yang. Karena chaos, atau krisis, sering muncul tanpa diduga, kita hanya mampu melakukan mitigasi atau upaya pencegahan. Dengan order, ketertiban pikiran dan perilaku, integritas, disiplin, kita dapat memperlihatkan eksistensi dan peran positif untuk memimpin dan berkontribusi.

Bagi yang sudah mampu meraih level Wu Wei, membangun integritas, disiplin dan bekerja sungguh-sungguh sudah seperti bernafas, mengalir begitu saja, tanpa memaksakan diri. Dengan Wu Wei, kita dapat mengatasi chaos atau luan (kata orang Wuhan). Wu Wei memberi kontribusi agar hidup kita bersama bisa Wu Luan (tanpa chaos).  

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(https://sccoaching.com/coach/mcholid1)

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB