x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 4 Februari 2020 06:21 WIB

Corona, Kisah Black Death, dan Kepercayaan Masyarakat pada Pemerintah

Pandemi global Coronavirus mengingatkan pada sejarah pandemik Black Death yang tetap menghantui manusia hingga kini. Di London, pada abad ke-14, separo penduduknya meregang jiwa. Transparansi dalam cara otoritas manapun menangani penyebaran virus Corona menjadi syaratmeredam persoalan agar tidak bertambah besar dan lepas kendali. Membesar-besarkan masalah memang bukan pada tempatnya, namun mengecilkan persoalan juga tidak tepat. Otoritas harus menumbuhkan kepercayaan pada masyarakat bahwa mereka mampu menangani persoalan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Virus Corona menambah daftar panjang wabah-wabah yang menghantui penghuni Bumi. Lebih dari 360 jiwa telah direnggut hingga sejauh ini dan lebih dari 17 ribu orang telah terinfeksi. Dalam sejarah manusia, wabah yang merenggut jiwa manusia dalam jumlah jauh lebih besar pernah terjadi, sebutlah di antaranya apa yang kemudian dikenal sebagai Black Death--nama yang diambil dari istilah Latin atra mortem karena kulit korban meninggal jadi menghitam di ujung jari tangan, ujung jari kaki, dan ujung hidung.

London pada abad ke-14 tentu saja tidak semodern sekarang, melainkan bagaikan kampung dengan lampu penerangan remang-remang. Jalanan becek di waktu hujan. Pada suatu ketika, pada tahun 1347, warga Inggris dikagetkan oleh kematian yang silih berganti. Kabar berembus bahwa apa yang diduga sebagai penyebab kematian itu berasal dari Asia Tengah melalui Afrika Utara dan daratan Eropa hingga tiba di Inggris.

Apa yang kemudian disebut Black Death itu akhirnya menghantam London pada musim semi 1348. Tidak seorang pun tahu bagaimana menghentikan wabah ini. Sumber-sumber menyebutkan, dalam 18 bulan berikutnya, wabah telah merenggut separo penduduk London--sekitar 40 ribu orang. Pengetahuan yang terbatas mengenai apa yang sedang terjadi menyebabkan otoritas tidak mengetahui apa yang harus dilakukan untuk melindungi warga London.
 
Jumlah korban di seluruh Eropa jauh lebih dramatis. Para ahli di masa kemudian menduga bahwa bakteri yang ada pada kutu tikus adalah biangnya. Kutu-kutu itu dengan mudah berpindah dari tikus ke manusia--pakaian, tubuh, makanan.
 
Sekitar tiga abad kemudian, wabah besar kembali menyerang. Wabah pecah pada Februari 1665 di London, dan dalam tujuh bulan berikutnya 100 ribu orang tewas--sekitar 20% dari penduduk London ketika itu. Desember tahun yang sama, wabah menurun dan pengungsi kembali memasuki London. Saat itu, tidak seorang pun tahu mengapa wabah itu berhenti setelah menelan korban teramat banyak.
 
Di zaman kini, pergerakan sumber penyakit--virus, bakteri--berlangsung lebih cepat. Di masa itu, penularan mungkin berlangsung melalui orang-orang yang bepergian dengan kereta kuda serta kapal dagang. Namun kini, pergerakan manusia lintas benua dengan kecepatan tinggi berkontribusi dalam mempercepat penyebaran virus dari lokasi sumber ke tempat-tempat lain. Mobilitas manusia memudahkan dan mempercepat penyebaran virus.
 
Manusia yang hidup di abad ke-20 barangkali tidak akan mudah melupakan keresahan global yang ditimbulkan oleh penyebaran-luas yang berlangsung cepat seperti terjadi pada kasus virus SARS maupun flu Avian. Karena itu, apa yang terjadi di Wuhan, Cina, itu menjadikan penduduk Bumi bersikap waspada. Berkat kerja cepat otoritas nasional maupun internasional, SARS berhasil dihentikan penyebarannya sebelum jadi pandemik.
 
Pandemik virus Corona membuktikan bahwa kita betul-betul menghuni bumi yang satu, bumi yang sama. bukan satu dalam pengertian jumlah, karena memang hanya ada satu bumi, melainkan bahwa manusia hidup dalam ekosistem yang tidak terpisah satu sama lain--dan udara memainkan peran yang sangat vital dalam mengantarkan perjalanan virus ke berbagai belahan bumi. Virus itu ikut terbang bersama rumah huniannya--tubuh manusia.
 
Ketika virus mencemari satu titik di muka bumi, hanya menunggu waktu efeknya akan terasa di bagian bumi yang lain. Penghuni tempat-tempat lain di muka bumi dengan rasa was-was dan gelisah mencari cara untuk merintangi penyebarannya. 'Kekacauan' (chaos) yang berpotensi terjadi bukan hanya karena virus ini menimbulkan masalah kesehatan dan kematian, tapi juga berpotensi menciptakan persoalan baru ekonomi, politik, keamanan, dan kestabilan hidup masyarakat mengingat skalanya yang besar.
 
Transparansi dalam cara otoritas manapun menangani penyebaran virus ini menjadi syarat untuk meredam persoalan agar tidak bertambah besar dan lepas kendali. Ketika krisis terjadi, transparansi dan komunikasi merupakan unsur vital untuk mencegah membesarnya persoalan. Membesar-besarkan masalah memang bukan pada tempatnya, namun sebaliknya mengecilkan persoalan juga berpotensi kegagalan dalam menangani penyebaran virus Corona. Otoritas harus menumbuhkan kepercayaan pada masyarakat bahwa otoritas mampu menangani persoalan. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler