x

Kapolrestabes Surabaya Kombes Sandi Nugroho (kanan) menunjukkan tersangka ujaran kebencian terhadap Wali Kota Tri Rismaharini berinisial ZKR, 3 Februari 2020. Tempo/Kukuh S. Wibisono

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Rabu, 5 Februari 2020 07:34 WIB

Kasus Zikria Dzatil si Penghina Risma, Cermin Rendahnya Literasi Media Sosial

Zikria Dzatil, 43 tahun, warga Bogor akhirnya ditangkap polisi. Dia menghina Walikota Surabaya, Tri Rismaharani, lewat postingan di akun Facebook-nya. Sambil terisak tangis, ibu 3 anak ini mengaku menyesal atas perbuatannya dan meminta maaf kepada Risma. Katanya, ujarannya di media sosial itu hanya sekadar emosi dan terbawa situasi di media sosial. Apa hikmahnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Zikria Dzatil, perempuan 43 tahun yang menghina Walikota Surabaya akibat postingan Facebook-nya, akhirnya ditangkap. Sambil terisak tangis, ibu 3 anak asal Bogor ini mengaku menyesal atas perbuatannya. Dan dia meminta maaf kepada Ibu Risma sang walikota. Katanya, ujarannya di media sosial itu hanya sekadar emosi dan terbawa situasi di media sosial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Zikria Dzatil, tentu hanya salah satu dari ribuan contoh orang yang gagal ber-media sosial. Bukti rendahnya literasi media sosial di kalangan masyarakat. Media sosial dipakai hanya untuk menebar kebencian yang akut, menyebarluaskan berita bohong. Bahkan tidak jarang di dekat kita sekarang, mereka yang masih saja menggunakan media sosial tanpa adab. Sekali lagi, ini bukti rendahnya literasi media sosial. Walau di saat yang lain, mengaku berpendidikan.

tAgak aneh. Zikria Dzatil itu warga Bogor, Tapi berani menghina Walikota Surabaya yang jauh secara geografis dengannya. Konon, dia emosi dan ingin membela Gubernur DKI Jakarta yang juga bukan wilayahnya untuk dibela. Jadi, apa sebenarnya yang dibela? Lalu kenapa pula harus membenci orang yang tidak dia kenal dan jauh dari lingkungannya? Sungguh, jawabnya hanya kebencian yang akut ada pada dirinya. Termasuk rendahnya literasi media sosial yang dia miliki. Itu fakta.

Tentu, bukan hanya Zikria Dzatil yang harus belajar dari kondisi ini. Namun, semua yang ber-media sosial pun harus mengambil hikmah dari apa yang terjadi. Untuk apa ber-media sosial, bila akhirnya menyengsarakan diri sendiri dan bahkan keluarga? Apa dalil yang membenarkan kebencian layak diumbar di media sosial?

Sungguh, tidak ada urusan siapa membela siapa. Bahkan siapa membenci siapa. Silakan dan itu hak masing-masing. Tapi penting di kedepankan, mengapa kebencian harus diumbar di media sosial? Lalu, mengapa banyak orang gemar menebar kebencian via media sosial? Kenapa dan kenapa?

Literasi media sosial, sejatinya, adalah kesadaran masyarakat untuk memahami fungsi media sosial. Bukan hanya mampu memilih informasi yang baik. Tapi setiap pengguna media sosial pun harus mampu melibatkan akal budi pada setiap unggahannya. Ber-media sosial tidak cukup hanya akal, tapi budi pekerti atau akhlak pun harus diikutsertakan.

Maka dibutuhkan kehati-hatian dalam bermedia sosial. Sehingga jangan ada lagi Zikria Dzatil yang lainnya di masa yang akan dating. Cukuplah media sosial digunakan sebagai alat ekspresi yang berkonten positif. Atau kritikan yang sifatnya membangun dan solutif. Bukan soal remeh-temeh yang akhirnya menjadi “boomerang” bagi penggunanya. Akibat gemar menebar kebencian dan berita bohong di media sosial.

Literasi media sosial sangat penting.

Agar tiap unggahan bukan malah mengundang keributan baru. Atau malah memperkeruh keadaan. Apalagi saat ini, tidak kurang dari 5,5 jam sehari orang Indonesia berselancar di media sosial atau dunia maya. Maka literasi media sosial harus mampu mendeteksi: 1) dampak dari unggahan atau postingan, 2) reaksi pembacanya, 3) hindari emosi dan sentiment personal, dan 4) tetap bersikap empati dan hati-hati terhadap isu yang ditanggapi.

Berangkat dari realitas itu, literasi media sosial menjadi penting untuk diprioritaskan. Agar kehidupan berbangsa dan bermasyarakat tidak terkoyak akibat “salah pakai” media sosial. Maka penting dalam literasi media sosial untuk “saring sebelum sharing; gunting sebelum posting”.

Bila dulu ada pepatah “mulutmu harimaumu” maka kini di media sosial ada “jarimu harimaumu”. Maka, perkuatlah literasi media sosial. Agar jangan ada lagi “korban” akibat kebodohan yang tidak perlu dalam ber-media sosial.

Maka bijaklah ber-media sosial … #LiterasiMediaSosial #MediaSosial

 

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler