x

Hari ke dua Kongres PAN V di Kendari Selasa 11 Februari 2020 berlangsung ricuh. Dua kubu pendukung kandidat ketua Zulkifli Hasan dan Mulfachri Harahap terlibat bentrok. TEMPO/Rosnia

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 12 Februari 2020 08:47 WIB

Kongres Partai dan Seni Melempar Kursi

Fairness dalam permainan politik memang sulit ditegakkan, terlebih lagi bila setiap orang merasa bahwa fairness itu soal nomor sekian, tak usah diperhatikan. Di jagat politik kita, fairness dianggap bukan bagian dari fatsun atau etika politik, sehingga orang merasa bahwa apa saja boleh dilakukan, yang penting menang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kursi sebenarnya didesain sebagai tempat duduk manusia. Lazimnya kursi dirancang agar orang bisa duduk dengan nyaman. Tapi, di kongres partai politik, kursi rupanya menemukan fungsi barunya --meskipun sebenarnya tidak baru-baru amat-- yaitu untuk menyakiti sesama peserta kongres. Jika kita sempat menonton video yang beredar di media online, termasuk tempo.co, kita bisa menyaksikan bagaimana kursi-kursi beterbangan dari dan ke dua arah.

Dapat diduga bahwa lemparan itu berasal dari peserta kongres pendukung calon-calon ketua umum yang berbeda. Emosi para pendukung masing-masing calon mungkin sudah naik hingga ke ubun-ubun, sehingga benak yang semula jernih untuk berpikir berubah jadi keruh. Hati pun mendidih. Suasana hati yang sudah panas telah mendorong para peserta untuk saling melempar kursi--entah mereka sadar atau tidak bahwa kursi itu jika mengenai peserta lainnya berpotensi melukai, padahal yang dilempari itu teman separtai dan juga sama-sama manusia (bukan jin).

Dari video itu terlihat mereka begitu bersemangat saling melempar kursi satu sama lain. Sungguh kasihan kursi-kursi itu, mungkin ada yang penyok atau patah kakiknya. Padahal perancang dan pembuat kursi itu niscaya sudah berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk menjadikan kursi itu dapat diduduki senyaman mungkin. Desainnya dibuat se-ergonomis mungkin. Warnanya dibuat seindah mungkin. Fungsinya jelas bukan untuk melukai orang lain dengan cara dilempar-lempar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Entah apa sesungguhnya yang memicu aksi lempar kursi yang dilakukan dengan penuh gairah itu. Mungkin ada ketidakpuasan di antara peserta, mungkin terpicu oleh ketidakjujuran atau fairness dalam aturan main, atau sebab-sebab lain. Sayangnya, hal-hal semacam itu sebenarnya dapat dibicarakan di antara mereka sendiri yang notabene teman satu partai, bahkan mungkin saja ada yang teman dekat tapi berbeda pilihan calon ketua umum lantas jadi berseberangan. Jalan buntu pembicaraan akhirnya berganti aksi lempar kursi.

Fairness dalam permainan politik memang sulit ditegakkan, terlebih lagi bila setiap orang merasa bahwa fairness itu soal nomor sekian, tak usah diperhatikan. Di jagat politik kita, fairness dianggap bukan bagian dari fatsun atau etika politik, sehingga orang merasa bahwa apa saja boleh dilakukan, yang penting menang. Lagi pula, begitu jalan berpikirnya, semua itu akan segera hilang dari ingatan orang alias dilupakan (dan untuk diulangi lagi di masa mendatang). Akibatnya, yang tidak puas dengan aturan main yang tidak fair mungkin meluapkan emosinya. Tapi, apa caranya mesti segitu-gitunya, pakai main lempar kursi untuk meluapkan ketidakpuasan, dan apa ya harus begitu pula cara membalasnya.

Sungguh kasihan para kursi yang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di arena kongres. Para kursi itu merasa sudah mengorbankan diri untuk diduduki oleh pantat manusia, bahkan mungkin juga sempat dikentuti berkali-kali. Para kursi itu barangkali ingin protes, tapi bagaimana caranya? Kursi-kursi itu ikhlas diduduki manusia. Namun, para kursi itu merasa tidak dihargai ketika dilempar-lempar dan kemudian kakinya bengkok atau bahkan patah, dan punggungnya melukai kepala orang.

Para kursi itu mungkin sedih, tapi tak bisa menangis, menyaksikan betapa manusia yang sudah tersulut amarah membuat kursi-kursi beterbangan. "Seandainya istilah kursi tidak punya makna lain, yaitu 'jabatan'," begitu pikir para kursi, "mungkin kita tidak akan dilempar-lempar untuk menyalurkan amarah." Menyedihkan sekaligus menggelikan. Tapi itulah salah satu contoh capaian demokrasi kita.  >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler