Salah ketik itu lumrah terjadi alias kesalahan yang manusiawi. Misalnya saja kita mau menulis kata 'taring', tapi yang muncul di layar komputer 'tarinh'. Salah ketik semacam ini dapat terjadi bila kita mengetik terlalu cepat. Bukan huruf 'g' yang terpencet, melainkan huruf 'h' yang berada di sebelahnya persis.
Salah ketik juga mungkin saja terjadi bila papan kibor kita lagi error, misalnya karena kecapaian dipaksa bekerja dari pagi sampai larut malam, jadinya ngaco. Misalnya, pada kata taring, huruf g tidak mau muncul. Atau, karena kita yang mengantuk, kita memejet huruf 'n' berurutan: tarinnnnnnn. Tanpa menyadarinya. Nah, itu salah ketik yang orisinal.
Bagaimana dengan Pasal 170 RUU Cika--yang semula bernama RUU Cilaka? Benarkah terjadi salah ketik seperti dikatakan Menko Mahfud Md? Ada baiknya kita baca ketiga ayat di pasal tersebut. Bunyinya seperti ini:
Ayat (1): Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.
Ayat (2): Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (3): Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Membaca ketiga ayat tersebut akan terlihat jalan berpikir yang runtut, sebab ayat 2 dan 3 berkaitan dan menjelaskan ayat 1. Cukup sukar untuk dapat memahami bahwa ketiga ayat yang bertautan secara logis itu muncul karena salah ketik. Di mana salah ketiknya bila ketiga ayat tersebut ternyata bertautan secara logis? Jika di dalam ketiga ayat tersebut, misalnya, ada satu kata yang tidak nyambung, mungkin terjadi salah ketik. Tapi, kenyataannya, tidak ada satu katapun yang tidak nyambung, bahkan tidak ada satu huruf pun yang salah ketik.
Bahkan, pilihan kata 'dapat' dalam ayat 3 itu membuat kita semakin sukar memahami di mana letak salah ketiknya. Pencatuman kata 'dapat' merupakan pilihan yang sadar, sebab kata 'dapat' bermakna tidak ada keharusan atau kewajiban, sehingga tanpa berkonsultasi dengan pimpinan DPR pun, pemerintah pusat berhak dan punya wewenang untuk menetapkan peraturan pemerintah yang mengubah ketentuan dalam UU.
Seandainya memang salah ketik, tidak adakah satu orang pun dari tim penyusun draf RUU yang mengetahuinya? Apakah penanggungjawab penyusunan draf RUU belum membacanya, sehingga tidak tahu ada yang 'salah ketik'? Apakah draf tersebut tidak di-review lebih dulu sebelum dibawa dan diserahkan kepada pimpinan DPR? Masak sih rakyat hanya diberi jawaban 'salah ketik' untuk sesuatu yang sangat serius karena menyangkut masalah ketatanegaraan, yaitu hierarki undang-undang dan peraturan pemerintah?
Mengherankan pula bahwa Menkopolhukam Mahfud Md mengaku tidak tahu ada ayat seperti itu di dalam RUU Cika. Mengapa pula Menkominfo menyatakan tidak tahu bahwa ada pasal-pasal dalam UU Pers yang diubah di RUU Cika? Jadi, siapa saja yang bekerja menyusun RUU ini? Siapa pula yang punya inisiatif mengubah beberapa pasal UU Pers?
Mengingat ditemukan 'salah ketik' yang terlampau logis untuk disebut salah ketik yang sesungguhnya, seperti Pasal 170 ayat 1, 2, dan 3 ini, masyarakat luas--terlebih yang mengerti hukum--wajib mencermati satu demi satu pasal dan ayat yang dituangkan dalam draf RUU Cilaka yang sudah berganti nama menjadi RUU Cika ini. Siapa tahu ditemukan 'salah ketik' lainnya, yang tidak kalah penting dan belum diketahui oleh banyak orang, dan dampaknya bakal luar biasa bagi rakyat? >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.