x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 21 Februari 2020 06:48 WIB

Bagaimana Kalau Pejabat yang Menghina Rakyat, Hayoo...

Rakyat dianggap menghina pejabat publik, lalu dilaporkan ke pihak berwajib sudah sering terjadi. Bagaimana bila terjadi yang sebaliknya, dalam arti pejabat menghina rakyat?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Rakyat dianggap menghina pejabat lalu dilaporkan ke pihak berwajib sudah sering terjadi. Uniknya, pelaporan atas apa yang dianggap sebagai penghinaan bukan dilakukan oleh si pejabat itu sendiri, melainkan oleh orang lain. Ada pejabat publik yang merasa dihina oleh warga lalu melapor, walaupun bukan dia sendiri yang datang melapor, tapi bawahannya. Ada pula pejabat yang dihina tapi cuek dan sabar saja, dan ia menganggap hinaan itu sebagai risiko yang mesti dihadapi sebagai pejabat publik. Ia siap menghadapi kritik pedas hingga hinaan dari warga yang marah, kesal, atau kecewa atas kepemimpinannya. Ada pula pejabat yang (seolah-olah) tidak peduli, tapi ada orang lain yang merasa bahwa pejabat itu telah dihina dan karena itu harus dibela, lalu orang itu sibuk membuat laporan.

Bagaimana bila terjadi yang sebaliknya, dalam arti pejabat menghina rakyat? Penghinaan itu tidak selalu berwujud kata-kata verbal, umpamanya "Kamu bo**h." Penghinaan itu bisa berupa gestur ketika merespons apa yang dilakukan warga masyarakat: menanggapi pertanyaan, protes, kritik, maupun demonstrasi. Di luar itu terdapat penghinaan jenis lain yang secara substantif lebih menyakitkan hati rakyat ketimbang kata-kata verbal.
 
Ragam penghinaan oleh pejabat kepada rakyat itu bermacam-macam, di antaranya empat ragam berikut ini. Pertama, pejabat menyusun peraturan tanpa mendengarkan suara dan melibatkan rakyat sebagai warga yang berdaulat dan sebagai warga yang akan terdampak oleh peraturan. Para pejabat itu mengabaikan fakta bahwa mereka duduk sebagai pejabat publik karena dipilih oleh rakyat secara langsung maupun tidak langsung, misalnya menteri yang dipilih oleh presiden, sedangkan presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Ketika musim pemilu sudah lewat, mereka cenderung melupakan rakyat yang sudah memilih mereka.
 
Kedua, menyelewengkan uang rakyat. Para pejabat publik ini merasa berkuasa untuk memakai uang rakyat untuk kepentingan pribadi di luar urusan negara dan kemasyarakatan. Korupsi dan praktik suap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi menunjukkan bahwa mereka telah melecehkan rakyat yang seharusnya dapat memperoleh pendidikan, layanan kesehatan, sumber daya listrik, dan kebutuhan hidup lainnya dengan baik. Uang negara yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat dipakai untuk kemaslahatan diri sendiri dan keluarga. Bukankah ini sejenis penghinaan kepada rakyat? 
 
Ketiga, tidak memegang amanah yang diberikan rakyat. Seorang pemimpin dipilih karena dianggap dapat dipercaya untuk melaksanakan amanah rakyat dengan bersikap adil, jujur, dan tidak korup. Ketika pemimpin terpilih ini kemudian menjadi pejabat publik yang mengingkari amanah rakyat, maka ini sejenis penghinaan juga--penghinaan yang lebih substantif ketimbang kata-kata verbal. Misalnya saja, ketika kampanye ia berkata lantang tidak akan membawa serta keluarga dalam urusan kenegaraan, namun kenyataannya hal itu dilakukan juga.
 
Keempat, kegemaran pejabat publik untuk memberikan pernyataan-pernyataan yang 'ngasal'--salah ketik, ah itu guyon saja, salah tafsir, media salah kutip, dan sebagainya. Semua pernyataan itu berpulang pada logika dasar bahwa pejabat ybs tidak mau mengakui dirinya keliru dan ia menyalahkan orang lain atau menganggap enteng persoalan. Pernyataan ngasal semacam itu menunjukkan bahwa mereka menyembunyikan alasan sebenarnya, berkelit dengan bersilat lidah, berpura-pura tidak tahu, dan merasa bahwa dengan mengeluarkan pernyataan ngasal maka semua urusan akan segera beres. Rakyat dianggap akan diam tidak bertanya lagi atau dianggap tidak mampu berpikir.
 
Apakah penghinaan pejabat publik terhadap rakyat akan diatur dalam undang-undang dan menjadi program legislasi prioritas DPR? Terlampau berharap, barangkali. Ngawang-awang. Andaikan Asmuni Srimulat masih ada, ia mungkin akan menjawab: "Itu hil-hil yang mustahal." >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler