x

Foto Mahmud

Iklan

Mahmud

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Oktober 2019

Selasa, 25 Februari 2020 06:56 WIB

Mempertegas Posisi Pemuda dan Mahasiswa di Pilkada Bima

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”. Tan Malaka

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”. Tan Malaka

Untuk mengawali tulisan ini, saya ingin mengajukkan beberapa pertanyaan, yang harus dijawab oleh kita bersama, bagi siapa saja yang menganggap dirinya sebagai pemuda dan mahasiswa. Pertanyaannya begini; masih adakah idealisme pemuda dan mahasiswa di tahun politik, terutama dengan adanya Pilkada di Bima? Adakah harapan pemuda dan mahasiswa untuk masyarakat, terutama untuk masyarakat Bima?

Saya ingin mengatakan begini; pertama-tama, pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar yang harus dijawab oleh kita bersama yang mengaku dirinya sebagai pemuda dan mahasiswa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedua, pertanyaan-pertanyaan di atas menjawab kekhawatiran kita bersama terhadap kecenderungan pemuda dan mahasiswa cenderung pada politik praktis. Ketiga, pertanyaan-pertanyaan di atas sebagai tesis untuk menguji idealisme pemuda dan mahasiswa di tahun politik, terutama di Pilkada Bima September 2020 mendatang.

Keempat, pertanyaan-pertanyaan di atas mempertegas posisi pemuda dan mahasiswa dimana? Di pemerintahkah atau di masyarakat? Atau ditengah-tengah; di antara pemerintah dan masyarakat.

Mari kita simak bersama. Di tengah tensi politik daerah yang tinggi, Pilkada Bima “yang tidak sehat”, idealisme pemuda dan mahasiswa Bima menjadi taruhan. Di sinilah idealisme pemuda dan mahasiwa benar-benar diuji. Siapa-siapa pemuda dan mahasiswa yang mampu melewati ujian ini. Mana nama-nama pemuda dan mahasiswa yang gugur. Dan, mana nama-nama  pemuda dan mahasiswa yang terseleksi, dengan berbagai macam tantangan, mereka tetap pada idealismenya.

Baginya, idealisme adalah hidup dan karena hidup, mati adalah akhir dari penderitaan. Maksudnya, mati di atas idealisme. Itulah idealisme. Idealisme, baginya, hidup atau mati? Hanya dua pilihan. Ikut arus atau merdeka? Bagi pemuda dan mahasiswa yang memiliki idealisme dan ideologi yang kuat, pasti mereka akan memilih dan menjawab, merdeka. Dan bersiap untuk diasingkan.

Itulah kenapa saya sorot pemuda dan mahasiswa di Bima (kalau tidak dikatakan untuk seluruhnya) terinfeksi dengan politik praktis. Hal ini terjadi, saya melihatnya, karena tidak adanya idealisme pemuda dan mahasiswa yang kuat. Tidak adanya ideologi pemuda dan mahasiswa yang kuat-yang menjadi pegangan.

Silahkan dikritik, itu pandangan saya. Toh, realitasnya memang begitu. Psikolgi publik tidak bisa dibohongi.

Bagi saya, hal itu wajar. Harus kita akui, jangan “baper”, juga jangan munafik. Hal ini terjadi karena, menurut saya, kekurangan literasi. Tidak adanya asupan literasi yang mumpuni, yang pada akhirnya, membuat pemuda dan mahasiswa terbawa arus, ikut-ikutan. Itulah akibatnya, kekurangan literasi -berdampak pada sempitnya pemahaman, jadi reaksioner.

Sebagai pemuda dan mahasiswa, kita juga jangan terjebak pada idealisme. Sebab, idealisme, hemat saya, ada dua; pertama, idealisme pesimis, yaitu idealisme yang mati, tidak berfungsi. Idealisme yang cenderung terlempar dari realitas sosial dan tidak memiliki peran dan fungsi sosial  sama sekali-bagi kehidupan, terutama kehidupan umat manusia, umat manusia seutuhnya.

Kedua, idealisme progresif. Idealisme ini adalah idealisme yang hidup, idealisme yang berjibaku dengan realitas sosial. Dan, idealisme ini, harus dimiliki oleh pemuda dan mahasiswa, agar  mereka memiliki peran dan fungsi idealisme-intelektual bagi masyarakat atau bagi kemanusiaan seutuhnya.

Berbeda dengan pemuda dan mahasiswa yang bersekongkol dengan pemerintah, berselingkuh dengan elite-elite politik dan partai-partai politik. Apalagi pemuda dan mahasiswa yang secara terang-terangan mengkampanyekan salah satu paslon, dengan macam-macam janji politik.

Pemuda dan mahasiswa macam apa itu? Idealismenya dimana?

Sebagai kelompok intelektual, pemuda dan mahasiswa mesti paham dengan itu. Paham  dengan dirinya sendiri. Maksudnya, ia memahami dimana menampatkan diri sebagai pemuda dan mahasiswa yang sebenarnya.

Itulah kenapa saya tidak sepakat dengan istilah independen, berdiri sendiri. Pemuda dan mahasiswa harus berpihak dan mesti berpihak. Berpihak kemana? Berpihak kepada masyarakat, berpihak kepada kebenaran. Bukan berpihak kepada pemerintah, elite-elite politik, partai-partai politik dan tentu tidak berpihak kepada salah satu paslon. Itu idealnya berpihak, berpihak atas nama kebenaran.

Bagaimana kalau ada pemuda dan mahasiswa yang secara terang-terangan mengkampanyekan salah satu paslon? Sangat disayangkan idealisme dan ideologinya!

Sebagai orang yang berpolitik, saya tidak mempersoalkan itu. Toh, itu adalah hak politik setiap orang, orang bebas memilih dan di pilih. Tetapi, sebagai pemuda dan mahasiswa, mewakili kelompok intelektual, secara etis; idealisme dan ideologi (kalau memiliki idealisme dan ideologi), pemuda dan mahasiswa, kehilangan kepercayaan. Roh idealisme dan ideologi kepemudaan dan kemahasiswaan, hilang.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengatakan begini, dengan mengutip Tan Malaka di atas, “idealisme adalah kemawehan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”.

Satu-satunya harta terakhir pemuda dan mahasiswa adalah idealisme. Oleh karena itu, idealisme harus dijaga, sebagaimana Anda menjaga hidup Anda, maka mati adalah jaminannya (pasti). Apa pun tantangan, kalau idealisme dan ideologi kuat, tawar-menawar politik di Pilkada Bima, tidak akan terpengaruh.

Ikuti tulisan menarik Mahmud lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler