x

Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi bersiap dilantik di Istana Negara, Jakarta, Rabu 5 Februari 2020. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 3 Maret 2020 16:51 WIB

Yudian Menusuk Hipokrisi

Saat baru diangkat sebagai Kepala BPIP, Yudian Wahyudi langsung dimusuhi banyak orang. Sebabnya, dalam sebuah wawancara dia mengatakan agama adalah musuh Pancasila. Kontan pada kebakaran jenggot. Apakah karena kebanyakan kita tidak terbisa mengapresiasi kejujuran yang polos? Atau kita tidak terdidik untuk rela  menghadapi fakta perihal salah satu penyakit kita, seperti sudah lama didentifikasi Mochtar Lubis, yaitu hipokrit? 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Afnan Malay
 
Yudian Wahyudi baru saja diangkat jadi kepala BPIP, sebelum melepas jabatannya sebagai Rektor UIN Yogyakarta, ia langsung dimusuhi banyak orang. Wawancara dalam bingkai blak-blakan yang dilakukan detik.com, Yudian mengatakan agama adalah musuh Pancasila.
 
Kontan pada kebakaran jenggot, termasuk yang tidak punya rambut menjuntai sehelai pun di dagunya. Kalau melihat reputasi destruktif, betapa nestapanya, bagaimana agama sejak beberapa tahun ke belakang diperlakukan pemeluknya.
 
Mungkin, Yudian mengira respons yang diterimanya tidak seheboh itu. Sekadar orang-orang yang manggut-manggut. Tentunya sambil sedikit sabar menunggu, apa yang akan didesain Kepala BPIP agar agama bukan saja musuh Pancasila, justru keduanya perekat utama kita sebagai sebuah bangsa.
 
Saya membayangkan, reaksi atas kesimpulan peta masalah yang disodorkan Yudian, paling jauh orang-orang menyeringai. Atau, sudah bisa diterka, reaksi murka, bakal datang dari kelompok-kelompok yang terbiasa memperalat agama. 
 
Yaitu, kelompok-kelompok yang selalu menegosiasi interaksi sesama anak bangsa: persatuan Indonesia. Pemerintah membahasakannya dengan kelompok-kelompok radikal. Notabene untuk itulah dana proyek deradikalisasi agama digelontorkan pemerintah Jokowi. 
 
Alih-alih mengidentifikasi musuh Pancasila (yang sejalan belaka dengan program deradikalisasi agama), yang disemai Yudian, adalah deklarasi ramai-ramai menyatakan permusuhan terhadap dirinya. Beredar rumor atau spekulasi, Yudian cepat mengambil sikap sing waras ngalah: ia akan berpuasa berbicara blak-blakan, menohok ke pokok persoalan.
 
Realisasinya, ia terpaksa mengerem kultur akademik, bicara langsung ke substansi minus sekat-sekat. Bentuknya mungkin ia akan irit bicara, mengemukakan pandangannya model Jokowi, atau berpendapat macam politisi Orde Baru: muter-muter berkepanjangan, tapi tidak jelas apa pokok pikirannya (menyebalkan cuma tidak mengundang kemarahan).
 
Sebenarnya, kalau mau berkepala dingin menanggapi Yudian, apakah upaya deradikalisasi agama yang dikerjakan pemerintah dan didukung ramai-ramai oleh institusi negara (juga agama-agama, ormas keagamaan) telah menyudutkan posisi agama?
 
Dari unsur SARA (Suku Agama Ras Antargolongan) memang agama yang seringkali menjadi problematik. Dalam hal apa? Misalnya, praktik keagamaan? Justru tidak! Yudian sama sekali tidak menyoal urusan teologi atau agama itu an sich. Tetapi, relasinya dengan Pancasila. Ketika, bagaimana berulang kali agama direalisasikan dalam interaksi sesama anak bangsa telah melukai kebersamaan kita. Kok bisa, yang mayoritas, tidak sekadar meminta porsi yang besar atas keserbaleluasaannya atas nama agama. Tetapi, sekaligus, berkali-kali menghardik yang minoritas atas hasrat keberadaan.
 
Pancasila, yang kalau diperas, kata Soekarno adalah gotong-royong. Gotong-royong pasti mengandaikan ada semangat membangun kebersamaan, kompak, sekalipun faktanya berbeda: tua muda, kaya miskin, kuat lemah. Kita harus kompak karena kita berbeda. Kalau sudah sama semua, kebersamaan itu sudah pasti lebih mudah diraih. Ke situlah tujuan Yudian bicara, ekspresi apa sih yang paling menganggu kita dalam  interaksi berbangsa dan bernegara selama ini? 
 
Kalau kita mendukung deradikalisasi agama kenapa serta-merta menjadi asing dan terbakar dengan pernyataan Yudian? Reaksi awal yang beredar  adalah Kepala BPIP itu salah ucap. Media memelintir maksud Yudian. Belakangan: Yudian tidak menenggang (akan) respon balik publik; sekadar cari perhatian biar dikenal (daripada siapa?); asal nyinyir, bukannya langsung kerja.
 
Ok, kerja. Sebagai Kepala BPIP, tentu, apa yang diidentifikasi Yudian harus dikembalikan ke lingkup pekerjaannya. Lantas bagaimana menerjemahkan kerja kepala BPIP? Bukankah ketika mengidentifikasi apa yang menjadi musuh Pancasila (yang mengganggu kekompakan kita sebagai bangsa), Yudian melakukan permulaan yang meyakinkan atas tanggung jawab yang diberikan kepadanya?
 
Respon yang paling harus kita cermati atas pernyataan Yudian (yang tidak ditanggapi proporsional, menyilakan melanjutkan rincian apa yang dimaksudkannya bahwa agama menjadi musuh Pancasila) adalah meminta Kepala BPIP itu mundur? Bukan, tetapi lebih tandas lagi bubarkan BPIP. Yang ditujukan tidak semata-mata BPIP sebatas sebuah lembaga.
 
Artinya apa? Memang tetap ada kelompok-kelompok yang menempatkan Pancasila tidak sebagai pandangan hidup bangsa. Masih menarik jarak Pancasila dengan agama, senantiasa melakukan komparasi Pancasila dengan agama, bahkan ingin menggantikan dengan Pancasila dengan (ideologi) agama.
 
Silakan, akumulasikan sendiri, berapa banyak kasus-kasus berlatar agama yang menciderai interaksi kekompakan kita sebagai bangsa yang majemuk (bhinneka tunggal ika). Bahasa media sosial mendeskripsikannya: kita sedang berada pada situasi mabuk agama. Kita semua jengah dengan kenyataan itu. Tapi ketika Yudian menandaskan itu: kita pun spontan marah.
 
Itulah kita, tidak terbisa mengapresiasi kejujuran yang polos. Malahan Yudian dituding naif dan gagap berkomunikasi dengan publik. Kita tidak terdidik untuk rela  menghadapi fakta perihal salah satu penyakit kita, seperti sudah lama didentifikasi Mochtar Lubis,  yaitu hipokrit. 
 
Ringkasnya, heboh pernyataan Kepala BPIP, meminjam-ubah syair Tardji, adalah peristiwa: yang tertusuk hipokrisi yang berdarah kok Anda?

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB