x

Warga berjalan di dekat mural bergambarkan mantan NBA Kobe Bryant dan putrinya Gianna Bryant selama upacara penghormatan terakhir mereka dan tujuh lainnya yang tewas dalam kecelakaan helikopter, di Staples Center di Los Angeles, California, AS, 24 Februari 202. REUTERS/Kyle Grillot

Iklan

Sujana Donandi Sinuraya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2019

Jumat, 6 Maret 2020 06:10 WIB

Mengenal Passing Off dalam Kekayaan Intelektual

Artikel ini menyajikan mengenai Passing Off dalam Kekayaan Intelektual

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengenal Passing Off dalam Kekayaan Intelektual

Oleh Sujana Donandi S

Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Presiden

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

 

Suatu kekayaan intelektual tentunya memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Ciptaan dalam lingkup hak cipta, invensi dalam bidang teknologi, merek, desain industri, dan varietas tanaman baru tentunya dihasilkan dengan energi dan juga materi yang tidak sedikit. Selain itu, upaya menghasilkannya juga menguras daya pikir atau intelektualitas yang tinggi sehingga kesemuanya itu layak dikatakan sebagai suatu kekayaan intelektual. Oleh karena itu, sudah selayaknya memang apresiasi baik secara moril maupun ekonomi diberikan bagi mereka yang menghasilkan karya-karya intelektual tersebut.

Dalam prakteknya, ada saja oknum-oknum yang memanfaatkan kekayaan intelektual milik orang lain secara melawan hukum demi keuntungan bagi dirinya sendiri. Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan pembajakan di Indonesia yang sudah marak di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Banyak Compact Disk (CD) bajakan yang sering kita temui di pasar-pasar yang berisi lagu-lagu maupun film-film yang dijual tanpa izin dari Pencipta dan atau Pemegang Hak Cipta atas karya-karya tersebut.

Selain di bidang Hak Cipta, perkara kekayaan intelektual juga terjadi di bidang merek. Perkara merek yang cukup menarik perhatian di Indonesia biasanya adalah perkara merek yang melibatkan pihak pemilik merek dari luar negeri (internasional) yang menggugat pemilik merek lokal. Hal ini terjadi karena pemilik merek dari luar negeri mengklaim bahwa merek yang dimiliki oleh pengusaha dalam negeri telah melanggar hak atas merek mereka. Hal ini didasarkan atas adanya kesamaan pada kedua merek. Beberapa contoh kasus yang terkait dengan hal ini yang terjadi di tahun lalu antara lain kasus Superman antara DC Comics vs Pengusaha Asal Surabaya dan kasus Pierre Cardin milik pengusaha Prancis vs Pierre Cardin milik pengusaha Indonesia.

Keputusan-keputusan hakim dalam kedua perkara tersebut telah menentukan bahwa pihak yang berhak atas merek Superman dan Pierre Cardin di Indonesia adalah para pengusaha Indonesia. Dasar putusan pengadilan merujuk kepada sistem perlindungan merek di Indonesia yang bersifat konstitutif (first to file). Dalam sistem ini, yang dianggap sebagai pemilik merek adalah mereka yang secara resmi terdaftar di kantor merek (Direktrat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual) sebagai pemilik merek. Maka, atas dasar tersebut para pengusaha merek di Indonesia dapat memenangi sengketa kepemilikan Hak Merek atas Superman dan Pierre Cardin. Padahal, tidak dapat dipungkiri pula bahwa kedua merek tersebut sebenarnya telah dikenal terlebih dahulu di masyarakat Internasional sebelum keduanya didaftarkan kepemilikannya oleh pelaku usaha asal Indonesia di Indonesia.

Penulis melihat bahwa dari segi ketentuan peraturan perundang-undangan, hakim memang telah menerapkan hukum dengan benar. Akan tetapi, jika dilihat dari aspek logika umum maupun keadilan, maka putusan tersebut dapat diperdebatkan. Eksistensi kedua merek tersebut yang telah ada sebelum didaftarkannya merek sejenis oleh pengusaha indonesia merupakan realita yan membimbing kepada logika umum bahwa benar merek itu sebenarnya telah dimiliki oleh pihak lain. Secara keadilan, maka adillah jika merek tersebut diberikan kepada mereka yang telah terlebih menggunakan merek itu. Akan tetapi, secara normatif kemudian hal ini dipinggirkan oleh hakim.

Penulis juga melihat bahwa kondisi ini terjadi karena konstruksi hukum Indonesia yang belum mampu menjangkau kepada tindakan penggunaan merek yang sebelumnya telah dipakai oleh pihak lain sebagaimana telah diuraikan. Jika kita merujuk kepada negara-negara common law, maka tindakan semacam itu dapat dijerat atas suatu pelanggaran hukum yang disebut dengan ‘Passsing off’.

Apakah Itu Passing Off?

‘Passing Off’ dapat dimaknai sebagai upaya menggunakan suatu karya intelektual untuk kemudian memperoleh keuntungan atas penggunaan tersebut karena munculnya kebingungan konsumen terhadap produk yang asli dan yang meniru. Dengan bahasa sederhana, ‘Passing Off’ dapat dimaknai sebagai upaya mendompleng/pemboncengan/melekat kiri terhadap suatu kekayaan intelektual tertentu. Tindakan ini tergolong sebagai upaya curang. Upaya ini kerap terjadi pada bidang merek, meskipun terbuka juga terhadap hak kekayaan intelektual lainnya.

Kasus Superman dan Pierre Cardin dalam sudut pandang tertentu dapat dilihat sebagai suatu ‘Passing Off’. Jauh sebelum itu, kasus lainnya yang pernah terindikasi ‘Passing Off’ adalah kasus antara merek Milo dan Camilo. Nestle sebagai pemilik Milo merasa produsen Camilo telah mendompleng ketenaran Milo untuk meraih keuntungan. Dengan melekatnya nama ‘Milo’ pada ‘Camilo’, maka ada potensi masyarakat akan menganggap bahwa keduanya adalah produk yang terafiliasi. Masyarakat yang sudah menyukai Milo tentunya akan memiliki kecenderungan untuk membeli Camilo. Kondisi ini berpotensi juga menyebabkan masyarakat berfikir bahwa Milo dan Camilo adalah produk dari produsen dan dengan kualitas yang sama.

Kasus ‘Passing Off’ sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dianggap sebagai perbuatan curang di negara-negara common law. Akan tetapi, Indonesia belum secara tegas mendudukkan upaya pemboncengan atas suatu kekayaan intelektual sebagai suatu pelanggaran hukum. Contoh nyata dapat kita lihat pada putusan perkara Superman dan Pierre Cardin. Jika kita hendak uji dari perspektif Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat yang berlaku di Indonesia, maka akan sulit pula menemukan masuk ke area pelanggaran persaingan usaha yang manakah tindakan pemboncengan suatu kekayaan intelektual dalam suatu bisnis.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur mengenai apa-apa saja yang dianggap sebagai persaingan usaha yang tidak sehat. Di dalamnya ada ketentuan mengenai perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, hingga posisi dominan. Jika kita hendak mengenakan ke dalam salah satu tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran persaingan usaha, maka akan sulit untuk menemukan kategori yang paling tepat di dalamnya.

‘Passing Off’ juga dalam perkembangannya dapat terjadi dalam ranah Perfilman. Salah satu contohnya adalah sengketa antara Syamsul Fuad, penulis skenario Benyamin Biang Kerok Tahun 1972 yang menggugat Max dan Falcon Pictures atas produksi Film Benyamin Biang Kerok Tahun 2018. Adapun gugatan yang diajukan oleh Syamsul Fuad adalah atas Hak Cipta film Benyamin Biang Kerok. Padahal, apabila kita amati, maka kesamaan antara kedua film hanya terletak pada judul dan nama karakter/tokoh di dalam film semata. Gugatan ini pun kemudian ditolak oleh Majelis Hakim meskipun bukan atas dasar yang substansial, namun karena kurangnya pihak yang digugat oleh Penggugat di Pengadilan.

Jika kita melihat posisi ‘Passsing Off’ sebagai upaya pemboncengan, maka sebenarnya pengggunaan judul yang sama juga dapat dianggap pemboncengan. Kesuksesan Benyamin Biang Kerok Tahun 1972 bagaimanapun telah meninggalkan reputasi yang baik dan bagi para penonton pada masa itu, tentunya meninggalkan kesan tersendiri. Dengan adanya produksi terbaru atas film itu, maka tentunya judul yang digunakan dapat menjadi daya tarik bagi masyarakat yang ingin menyaksikannya. Maka, tindakan ini juga semestinya dapat dianggap sebagai suatu ‘Passing Off’. Akan tetapi, sekali lagi, sayangnya Indonesia belum mendudukkan secara jelas posisi passing off dalam bingkai hukum yang ada, khususnya dalam bidang hukum hak kekayaan intelektual.

Kebutuhan Akan Hukum Passing Off

Reaita yang ada menunjukkan adanya kebutuhan mengenai pengaturan ‘Passing Off’ di Indonesia. Dengan adanya ketentuan yang jelas, maka akan ada dasar yang tegas pula dalam menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan upaya pendomplengan atas suatu kekayaan intelektual. Jika keadilan menjadi pegangan utama dalam penegakan hukum suatu negara, maka realita hukum yang ada haruslah diakomodasi secara baik pula.

Diskusi yang penting tentunya mengenai tempat meletakkan ketentuan hukum mengenai Passing Off di Indonesia. Jika Passing Off ingin dimasukkan sebagai salah satu spesies pelanggaran praktek usaha yang tidak sehat, maka ketentuan ini dapat dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha yang tidak sehat. Akan tetapi, upaya ini akan menyebabkan passing of menjadi sesuatu yang tidak terintegrasi langsung dengan peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual di Indonesia.

Metode lainnya adalah dengan memasukkan ketentuan Passsing Off dalam tiap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Upaya ini akan memakan lebih banyak energi, waktu, dan biaya karena harus dimasukkan ke dalam masing-masing peraturan perundang-undangan, mulai dari Undang-Undang Hak Cipta, Merek, Paten, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Varietas Tanaman Baru. Akan tetapi, upaya ini akan membawa tindakan Passing Off sebagai suatu tindakan yang terintegrasi langsung dengan peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Intelektual.

Penulis menyarankan agar Passing Off segera diakomodasi, terlepas dari apapun instrumen peraturan perundang-undangan yang akan digunakan untuk mengaturnya. Dengan adanya peraturan mengenai passing off, maka keadilan akan lebi ditonjolkan ketimbang sekedar kepastian hukum dalam hal penegakan perkara di bidang kekayaan intelektual. Mau tidak mau, passing off adalah suatu realita yang harus direspon secara baik dan cepat. Respon yang psoitif dalam menyikapi eksistensi passing off juga dapat meningkatkan kepercayaan publik, khususnya investor asing mengenai perlindungan investasi yang telah ataupun sudah dijalankannya di Indonesia. Tanpa adanya regulasi mengenai Passsing Off, maka investor dapat merasa terancam karena dengan demikian terbukalah peluang bagi pihak lain untuk melakukan pendomplengan ataupun pemboncengan terhadap merek mereka. Hal inilah yang telah kita bahas sebelumnya yang terjadi dalam kasus Superman dan Pierre Cardin.

Passing Off pada dasarnya adalah pelanggaran hukum. Passing Off telah menafikan upaya kreator dalam mendayagunakan pikiran, energi, waktu, dan uangnya guna menghasilkan suatu kreasi kekayaan intelektual. Untuk itu, segala upaya yang dapat merusakan insentif dan apresiasi terhadap kreator untuk atas karyanya haruslah diatur dan ditindak dengan tegas secara hukum. Di sinilah peranan negara sebagai regulator untuk bersikap responsif terhadap realita dinamika hukum yang ada. Passing Off harus segera diatur secara jelas dan tegas di dalam bingkai hukum Indonesia. Dengan demikian, keadilan dalam penegakan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia akan meningkat dan kepercayaa investor terhadap hukum kepastian berbisnis di Indonesia juga akan semakin bergairah.

Ikuti tulisan menarik Sujana Donandi Sinuraya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB