x

Iklan

Ahmad Deni Rofiqi

menyukai kucing dan menikmati setiap obrolan menarik
Bergabung Sejak: 6 November 2019

Selasa, 10 Maret 2020 06:15 WIB

Cerita Titin dalam Ilustrasi Gerakan Perempuan

uraian naratif menyoal gerakan perempuan se dunia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 “Untuk wanita borjuis yang memiliki property, rumahnya adalah dunia. Bagi wanita proletar, dunia adalah rumahnya”

-Rosa Luxemburg-

Perempuan adalah cantik. Cantik adalah luka. Kalau sudah luka, wajib diobati. Kalau tidak, bisa ruet urusan. Sebagai seorang laki-laki, saat aku menemui perempuan, ia adalah bahan tekstil. Adalah produk industri. Adalah diktum surga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ibarat berjalan di atas jembatan tua, aku harus berpikir sebanyak dua kali. Pertama, apa benar tangguh kayu ini? Kedua, aku mundur, mengerikan sekali karena kelihatan reot.

Hasil yang-pertama, adalah respon kesangsian. Berpikir kalau perempuan ini adalah amal. Amal yang berfaedah atau mafsadah. Ini menunjukkan, perempuan bisa dikendalikan menurut perintah dan ajaran laki-laki. Supaya kesan terminologis dan ontologis perempuan, tidak menyimpulkan ketakutan bagi laki-laki. Apa ini sifat patriarkis?

Bagi yang-kedua, adalah respon teaser. Pikiranku memaksa tergoda pada apa-apa yang terlihat di kulit; lekukan, kemulusan, dan sampai pada satu ruang yang haram disebutkan. Seleraku menjelajahi, adalah aurat luar yang aku lihat. Karena reot, ia berarti kurang mampu menopang beban. Apa ini sifat eksploitatif?

Bagi yang belum cukup akal, diharap mundur untuk menghindari asumsi-asumsi pornografi, ya. Adalah kewajiban bagi orang-orang untuk mengajari susunan-susunan-- pada laki-laki dan perempuan—yang harus dijaga dan dihormati menurut aturan agama dan negara. Sebelum pada akhirnya, terlibat pada fenomena patriarkis atau eksploitatif, tanpa tahu dalil pokoknya. Inget itu,”

Di rumah, aku punya tivi kecil. Sekitar ukuran 41 inci. Benda itu rutin ditonton 24 jam—istirahat ketika tidur dan nyala saat habis subuh—nonstop. Tanpa ampun. Tampilan yang distel, ragam channelnya. Dari tayangan anak-anak macam Spongebob, sampai penampakan hantu tengah malam bersama ekspedisinya. Tak lupa iklan-iklannya juga, yang harus ditonton dan dihitung, demi menjaga kedisiplinan waktu siaran. Rumahku ruwet sekali!

Herannya, setiap aku hitung iklan-iklan itu, produk dagangannya melulu perempuan. Dan kalau aku hitung pakai kalkulator, mungkin perempuan akan menang telak mengalahkan laki-laki—saat diikutkan dalam sepak bola, tanpa aturan kesebelasan. Jelas. Angka massanya lebih banyak perempuan.

Sehingga akhirnya aku bertemu perempuan bernama Titin. Berkhas kaca mata. Rajin senyum, nyengir, dan ketawa. Terbuka pada keragaman. Begitu dekat dengan aroma feminisme. Tak lupa. Ia juga berpenampilan sangat modis—dengan sedikit tomboy bersama hem quicksilver yang tidak dipakai kancingnya, kaos hitam dengan sablon cuma-cuma, sepatu converse, dan yang pasti tas selempang lengkap dengan buku catatan beserta perangkat perempuan lainnya, yang tidak muat aku detail satu persatu. Huft…

Setelah aku deskripsikan secara rinci dari jasad kulitnya, aku bakal cerita tentang pertemuan dan pembahasanku yang serius soal patriarki dan eksploitasi perempuan. Pertemuan itu dimulai ketika dia berdehem sambal menggertak meja, ketika mendengar istilah yang aku sebut barusan.

“Apa-apaan ngajak ngopi, tapi ngomong patriarki dan eksploitasi. Niatmu ngajak ngopi, biar kesan perempuan yang tertinggal, kian merosot? Apa ini bentuk kalau Anda sedang mengendalikan saya? Ini terlalu mendominasi. Saya adalah perempuan merdeka!”

Sepintas, bak macan yang menyerang, aku hanya tertegun. Menahan napas saat omelan sekitar 3 menitan berlangsung. Lumat-lumat aku kunyah omongan si Titin (baca: Perempuan), aku merasa ada yang keliru kontennya. Ternyata, sorot matanya saja yang terlihat mengintimidasi. Eh, otak-nya belum keisi ilmu-ilmu keperempuanan, yang aku sebut feminsime itu. (aku pikir dalam hati, mungkin ini yang namanya manusia jadi-jadian. Ngos-ngosan ngomong ilmu, tapi belum selesai baca buku—sampai di sampul dan prolog—sudah heroik sekali)

Perempuan dan Perayaan Tahunannya

Tanggal 8 Maret kemudian diakui keberadaannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1975. Pada 2011, mantan Presiden AS Barack Obama menetapkan Maret sebagai 'Bulan Sejarah Perempuan'.

Dalam hal ini, serangkain pergerakan di sudut wilayah jamak digaungkan untuk tetap mempertahankan sikap keadilan, dalam hal ini aksi perempuan di tengah publik—yang sarat dengan peminggiran karena iklim patriarkis dan sistem politik kapital.

Dalam hal ini, saya kira Titin—sebagai aktivis perempuan—akan lebih terang dan beringas umpama ia mafhum setiap lekuk dialektis pergerakan perempuan ini.

Pada rilis Tempo.co lalu pada Minggu 8 Maret 2020, dikabarkan Sejumlah besar massa mulai berkumpul di depan kantor Badan Pengawas Pemilu, Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat untuk mengikuti aksi Hari Perempuan Sedunia 2020. Koordinator Gerak Perempuan untuk peringatan Hari Perempuan Sedunia 2020, Lini Zurlia mengatakan massa aksi akan berjalan kaki menuju Istana Negara mulai pukul 11.00 WIB setelah hari bebas berkendara atau car free day rampung.

Aksi ini pun mengorbitkan beberapa tuntutan, yakni ada enam tuntutan massa aksi Gerak Perempuan dalam Hari Perempuan Sedunia 2020 ini, yakni:
1. Tuntaskan kasus kekerasan terhadap perempuan
2. Bangun sistem perlindungan komprehensif bagi perempuan
3. Cabut kebijakan diskriminatif gender
4. Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
5. Tolak omnibus law, RKUHP, RUU Ketahanan Keluarga
6. Hentikan agenda pembangunan yang berpihak pada investor

Dalam merampungkan tuntutan ini, Titin sebagai penampil yang modis dan sangat vocal menyuarakan situasi perempuan dari berbagai kanal, mesti jadi pribadi yang adil. Berani adil sejak hati dalam melihat semarak aktivitas pemerintahan—sebagaimana 6 tuntutan tersebut—demi menjaga logika egaliter. Seraya menjaga sikap itu agar tidak larut dalam praktik primordial dan pramatis politik.

Tugas Titin sebenarnya masih banyak. Dan disitulah kita sebenarnya dapat melihat gelora semangat seorang perempuan supaya tidak terus-menerus terparkir di ranah domestik melulu.

 

Ikuti tulisan menarik Ahmad Deni Rofiqi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu