x

paket pesanan

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 11 Maret 2020 14:00 WIB

Menerka Omnibus Law sebagai Paket Pesanan

Semakin hari, semakin terbaca arah kebijakan pemerintah yang tak memihak rakyat. Sebenarnya, semakin dijelas-jelaskan, arah RUU Omnibus Law ini ke mana dan siapa yang menginginkan malah semakin terbaca. Meski akhirnya tetap mereka dan pihak terkait menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan politik, namun tetap saja rakyat semakin gerah. 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengalaman adanya penolakan hingga demonstrasi mahasiswa dan rakyat sampai berujung adanya korban jiwa pun, RUU KPK tetap disyahkan, maka terkait RUU Omnibus Law, bisa jadi akan bernasib sama.

Meski akhirnya ada pihak yang membawa ke meja sidang, tetap saja, RUU KPK hingga kini berjalan dan semakin mandul. Jangan harap UU Omnibus Law akan dapat dibatalkan di Mahkamah Agung (MA), sebab UU Omnibus Law latar belakang dan siapa di balik yang memesannya sangat berbeda. 

Bila kenaikan tarif iuran BPJS tuntutannya berhasil dimenangkan oleh rakyat, sebab kepentingan BPJS juga tidak signifikan menguntungkan bagi cukong. Namun, Omnibus Law, jelas-jelas dapat dibaca sebagai sebuah skenario yang tujuannya demi menguntungkan pihak yang memodali partai dan elite partai baik di parlemen maupun pemerintahan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka dari itu, kendati kembali ada "Gejayan Memanggil" rasanya masyarakat tetap akan dibuat pesimis. Sebab Omnibus Law sejatinya, banyak rakyat yang sudah berpikir bahwa ini adalah pesanan yang satu paket dengan RUU KPK, pindah ibu kota, dan siapa yang diplot jadi pemimpin otoritanya juga kebijakan-kebijakan lain yang tak berpihak kepada rakyat. 

Mungkinkah rakyat menyadari, bahwa paket-paket pesanan ini sejatinya lebih berbahaya dari pada pejajahan zaman dulu?  Bahkan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sampai harus menyatakan bahwa RUU Omnibus Law bukanlah sebuah ideologi. 

Namun, hanya untuk menyederhanakan peraturan-peraturan yang tumpang tindih. Kemudian membantah adanya anggapan bahwa RUU Omnibus Law sebagai pintu masuk kepada negara tertentu. "Omnibus Law menyederhanakan jangan pikir itu ideologi. Ada yang mengatakan wah itu untuk memberi pintu kepada bangsa tertentu, ndak ada," ujar Mahfud dalam acara Forum Komunikasi dan Koordinasi dengan tema Meningkatkan Peran Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) dalam Mewujudkan SDM Unggul, Indonesia Maju di Jakarta, Selasa (10/3/2020). 

Mahfud pun bergeming dengan menegaskan bahwa RUU Omnibus Law dibuat agar negara-negara lain mau berinvestasi di Indonesia. Karena itu, ia menegaskan tidak ada kaitannya dengan China. 

Sebenarnya, semakin dijelas-jelaskan, arah RUU Omnibus Law ini ke mana dan siapa yang menginginkan malah semakin terbaca. Meski akhirnya tetap mereka dan pihak terkait menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan politik, namun tetap saja membikin rakyat semakin gerah. 

Malahan, sejak Minggu (8/3/2020), media sosial Twitter terus diramaikan oleh cuitan "Gejayan Memanggil". Tanda pagar (tagar) tersebut merupakan seruan untuk menggelar aksi menolak Omnibus Law. Netizen ramai membuat postingan tentang Gejayan Memanggil Lagi dan membuatnya menjadi trending topik di Twitter Senin (9/3/2020). Entah di hari Rabu (11/4/2020) apakah akan semakin ramai? Kita tunggu. 

Omnibus Law memang masih asing di negeri ini. Namun, mengapa tiba-tiba diapungkan di periode kedua pemerintahan Jokowi? Tanda tanya itu terus menjadi keresahan masyarakat. Bila kembali saya ungkap, sebab dalam artikel terdahulu, saya juga sudah menjelaskan apa itu Omnibus Law, maka bila saya kutip lagi menurut Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri, Omnibus Law merupakan sebuah UU yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara. Dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah. Menyederhakan peraturan agar lebih tepat sasaran. Ini adalah terobosan yang sangat menantang jika dilakukan di Indonesia, karena Indonesia belum pernah menerapkan Omnibus Law. 

Namun karena Omnibus Law ini, dianggap merugikan rakyat, maka muncul berbagai aksi penolakan. Beberapa pasal RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang ditolak, karena pasal-pasalnya merugikan pekerja karena memperpanjang jam kerja dan lembur, penetapan upah minimum yang rendah, potensialnya terjadi pelanggaran hak berserikat pekerja, pemangkasan kewenangan serikat pekerja, hilangnya hak-hak pekerja perempuan untuk cuti haid, hamil dan keguguran. 

Selain itu, juga merugikan bidang pertanian karena hilangnya pembatasan impor pangan, monopoli oleh unit usaha terkait ekspor bibit unggul tanaman. 

RUU ini juga berpotensi monopoli tanah oleh Bank Tanah untuk kepentingan investasi serta memangkas dan mengubah konsep administrasi, yaitu memangkas dan mengubah konsep syarat-syarat administrasi seperti atas praktek usaha yang merusak/mengubah fungsi ruang atau lingkungan dengan sentralisasi kebijakan, menghilangkan pelibatan masyarakat, flexibilitas dan penyesuaian tata ruang, penghilangan izin mendirikan bangunan, reduksi atas subtansi AMDAL, penghapusan sanksi pidana lingkungan. 

Selain itu RUU ini juga akan membuat pendidikan yang berorientasi pasar dan berimplikasi langgengnya praktik komersialisasi, link and match dengan industri, pembentukan kurikulum pendidikan yang fokus ke dalam orientasi kerja. 

Yang lebih disesalkan, karena RUU ini saya sebut sebagai paket pesanan, maka prosesnya pun dihindari untuk transparan,  dihindari keterlibatan dan partisipasi masyarakat dan keterbukaan informasi penyusunan rancangan draftnya, karena jelas memang ada kepentingan dan mungkin benar, karena paket pesanan. 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler