Islam Sebagai Solusi Umat untuk Kemajuan Ilmu Pengetahuan

Kamis, 12 Maret 2020 06:13 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Yang dimana para tokoh filosofi Islam menafsirkan kitab-kitab dari Yunani kuno dengan pendekatan alqur'an dan al-sunah sehingga mbuat iri orang-orang Cina, yahudi maupun nasrani. Pada saat itu yahudi dan nasrani tidak mau kalau Ilmu pengetahuan itu maju dari tangan orang-orang islam.

Zaman Kejayaan Islam (sek. 750 M - sek. 1258 M) adalah masa ketika para filsuf, ilmuwan, dan insinyur di dunia Islam menghasilkan banyak kontribusi terhadap perkembangan teknologi dan kebudayaan, baik dengan menjaga tradisi yang telah ada ataupun dengan menambahkan penemuan dan inovasi mereka sendiri. https://brainly.co.id/tugas/6303356#readmore.

Saat itu para tokoh filosofi Islam menafsirkan kitab-kitab dari Yunani kuno dengan pendekatan al Qur'an dan al-Sunah sehingga membuat iri orang-orang Cina, Yahudi maupun Nasrani. Pada saat itu Yahudi dan Nasrani tidak mau kalau ilmu pengetahuan itu maju dari tangan orang-orang islam.

Dengan kuasa "gerejani" akhirnya perpustakaan Iskandariah dibakar dan hanya buku-buku yang berkaitan dengan Ilmu yang berkembang pada saat ini yang mereka angkut dari timur ke barat sehingga ilmu pengetahua dan teknologi (IPTEK) dari barat yang berkembang pada saat ini.
 
Yang menjadi pertanyaan mengapa Islam tidak lagi berkembang dari segi iptek? dikarena ada dua faktor, yang pertama, menurut Ali Sariati iptek tdak akan berkembang di kalangan Islam dikarenakan umat Islam tdak akan pernah peduli dengan kamajuan jaman, mereka hanya elbih mementingkan ibadah saja. mereka tidak terlalu peduli dengan politik maupun ekonomi. Dan yang kedua, bahwa kebanyakan Islam yang dianut sebagai agama warisan dari nenek moyang.
 
Sehingga Ali Syariati sangat menolak Islam yang meratap-ratap, Islam yang jumud, Islam yang ritualistik. Tapi ini yang menggejala dalam kehidupan masyarakat muslim. sehingga kalangan "umat muslim tidak  pernah berkembang dari segi ilmu pengetahuan".
 
Ali Syariati merupakan tokoh yang menolak sistem sosialisme dan marxisme. Menurut Ali Syariati, sosialisme sangat utopis. Dan kapitalisme sangat negatif, menempatkan manusia sebagai komoditi, bukan sebagai makhluk bermartabat. Karena paham sosialis dan marxisme yang dimana paham ini dalam penerapan ekonomi maupun politik tidak ada pertentangan kelas borjuis dan kelas samarata sama rasa, paham kapitalisme hanya mementingkan kepentingan individu dan segelintir kelompok untuk meraup kesejahteraan ekonomi dengan memiliki alat produksi dan memperkerjakan para pekerja dan di bayar tidak sesuai dengan hasil keringat para pekerja yang bekerja.
 
"Di antara kegagalan sosialisme dan marxisme, Ali Syariati menawarkan Islam sebagai solusi,” menurut Mutiullah. Ali Syariati kemudian mencoba menawarkan perpaduan antara spirit anti imperialism Barat, ilmu sosial kritis, dan ajaran Syiah Iran untuk menghasilkan suatu ideologi Islam revolusioner. Menariknya, kata Mutiullah, Ali Syariati justu tidak diakui oleh kalangan Syiah. Dalam banyak hal, Ali Syariati memang berbeda dengan mayoritas. Ia bahkan menolak konsep Imamah, menghapus kesan bahwa para khalifah Sunni (Abu Bakar, Umar, Usman) telah merampas hak Ali bin Abi Thalib dalam imamah.
 
Sejarah para nabi, menurut Ali Syariati, adalah sejarah perlawanan terkadap penindasan. Bahkan sejak manusia pertama, telah terjadi perseteruan antara kutub Habil (mewakili rakyat) dan Qabil (mewakili penguasa). Para nabi selalu berpihak kepada kaum lemah atau proletar (mustadl’afin) melawan kekuasaan yang zalim atau borjuis (mutrafin). Istilah mustadl’afin dan mutrafin digunakan untuk menolak istilah yang digunakan Karl Marx, yang ditentang oleh Ali Syariati.

Sebagai pelanjut tugas profetik para nabi yang telah tiada, Ali Syariati mengistilahkan mereka sebagai kaum intelektual tercerahkan (rausyan fikr). “Intelektual tercerahkan memiliki tugas untuk membangun kesadaran sosial masyarakat. Karena tanpa kesadaran sosial, masyarakat sekedar unsur-unsur dialektis semata,” tutur Mutiullah. Perubahan itu selalu dimulai dengan proses penyaran, itulah titik tekan Ali Syariati.
 
 
 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Saiful Anas

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler