Pemerintah Indonesia mengimbau masyarakat melakukan social distanting guna menangkal penyebaran wabah virus corona yang kian menggila. Hal ini tampak dari pidato Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat untuk belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah guna meminimalkan penularan.
Gerakan social distanting atau jaga jarak sosial ini intinya mengurangi jumlah aktivitas warga di luar rumah serta interaksi sesama penduduk negeri. Negara yang sukses melakukan gerakan semacam ini adalah Korea Selatan. Tercatat di negeri Ginseng ini terdapat 8.236 kasus positif corona dan 75 kematian. Dengan gerakan jaga-jarak sosial mereka berhasil mengurangi jumlah kasus baru corona dari 600-800 kasus per hari (akhir Februari) menjadi 100-200 kasus per hari sejak awal Maret lalu.
Nah, Indonesia harus belajar dari pengalaman Korea Selatan bagaimana aksi social distanting dilakukan sehingga efektif. Tajuk Koran Tempo (Selasa, 17/03) menyebutkan ada beberapa yang harus dilakukan bersamaan dengan gerakan tersebut, sehingga tujuan menghalangi penularan coorna itu berhasil.
Pertama, seperti dilakukan Korea Selatan, sembari menerapkan strategi social distancing, mereka juga melakukan pemeriksaan massal secara gratis terhadap warganya. Pemerintah setempat memobilisasi seluruh tenaga dan fasilitas kesehatan, sehingga bisa memproses sekitar 15 ribu hasil tes spesimen setiap hari. Masyarakat juga memiliki akses untuk mengetahui riwayat perjalanan pasien terinfeksi.
Neh, sayangnya, pemerintah Indonesia saat ini belum menunjukkan langkah drastis seperti itu. Di sini belum ada pemeriksaan massal secara gratis. Bahkan, untuk pemeriksaan berbayar pun orang harus antre berjam-jam. Ketika kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri menguat, rumah sakit rujukan umumnya masih menghadapi kendala keterbatasan tenaga dan fasilitas.
Kedua, penerapan social distancing juga harus dilakukan secara disiplin oleh warga. Ketika pemerintah menyarankan agar orang mengurangi interaksi, di angkutan umum dan pusat keramaian, seperti pasar, orang masih saja berjubel. Padahal, tanpa kedisiplinan bersama, strategi menjaga jarak dalam memerangi corona ada kemungkinan besar akan sia-sia.
Ketiga, buruknya koordinasi pemerintah pusat dengan daerah harus segera diatasi. Tidak rapinya koordinasi itu, antara lain, terlihat ketika Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengurangi jumlah dan frekuensi perjalanan angkutan umum, Presiden Jokowi malah menyindir kebijakan yang menimbulkan penumpukan calon penumpang itu. Kebijakan Anies boleh jadi kurang matang. Tapi sindiran terbuka Presiden hanya menunjukkan kedua pemimpin itu tak bisa berkoordinasi atau, jangan-jangan, malah berkompetisi.
Tak bisa lain, semua elemen masyarakat dan pemerintah harus menyingkirkan kompetisi politik dan bersatu-padu melawan wabah virus corona. Mencuri panggung untuk investasi politik dalam situasi sekarang juga adalah tindakan keji dan biadab. Adu nyinyir di antara warga pun tak pantas terus dilakukan.
Sekarang pilihan ada di tangan para pemimpin politik dan khalayak luas: Berjuang bersama agar selamat dari badai corona, atau tergulung habis karena tak bisa bersatu padu akibat mementingkan ego-politik masing-masing?
Ayo lawan bersama!
Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.