x

cover buku Hidup Bersama Allah Jadi Produktif

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 19 Maret 2020 11:44 WIB

Hidup Bersama Allah Jadi Produktif

Pengalaman hidup bersama Allah dari keluarga Samuel Tipa Padan yang dituangkan dalam bentuk karya bersama dalam sebuah buku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Hidup Bersama Allah Jadi Produktif

Penulis: Keluarga Besar Samuel Tipa Padan

Tahun Terbit: 2020

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Bhuana Ilmu Populer                                                                            

Tebal: xxvi + 358

ISBN: 978-623-21-6717-9

 

Pada tahun 2030-2045, diprediksi 70% penduduk Indonesia berada pada usia produktif. Pemerintah Indonesia secara serius menyiapkan diri supaya 70% populasi penduduk tersebut bisa menjadi penduduk yang benar-benar produktif. Indonesia mengharap pada tahun-tahun tersebut mendapatkan kemajuan kesejahteraan sebagai konsekuensi dari bonus demografi tersebut.

Salah satu upaya untuk menyiapkan generasi bonus demografi tersebut adalah melalui gerakan revolusi karakter bangsa, di mana salah satunya adalah melalui literasi. Generasi bonus demografi tersebut saat ini masih berada di ruang-ruang kelas SD dan SMP.

Dalam rangka menyiapkan generasi emas tersebut, Presiden Republik Indonesia memasukkan literasi sebagai salah satu dari jabaran Nawa Cita. Butir kedelapan Nawa Cita berbunyi: “Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.”

Maka sejak tahun 2015, praktik literasi marak di Indonesia. Berasal dari kata “literacy”, secara harfiah literasi berarti: kemampuan/ keterampilan baca dan tulis. Namun, sebenarnya bukan hanya terbatas pada kegiatan baca-tulis.Literasi dapat kita rumuskan sebagai: kegiatan motorik pancaindera dan olah ciptakarsa di dalam mendayagunakan bahan-bahan bacaan (cetak dan digital) untuk kemajuan peradaban suatu bangsa dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan kata lain, literasi adalah: seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa dalam makna yang luas.

Kegiatan literasi terjadi di sekolah, di komunitas dan di masyarakat luas. Ada yang bergerak dalam ranah literasi secara luas, yaitu Enam literasi dasar seperti yang ditetapkan dalam World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia) di Davos (Swiss), yaitu tersebut mencakup literasi bahasa (baca tulis), literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. Ada juga yang memfokuskan diri dalam literasi baca tulis saja.

Khusus di literasi baca tulis, saya harus menyatakan bahwa gerakan ini terdegradasi hanya pada gerakan gemar membaca saja. Itu pun lebih banyak terjadi di sekolah-sekolah dengan buku bacaan yang kurang menarik. Hanya ada sedikit contoh gerakan menulis. Kalau pun ada gerakan menulis, kegiatannya terputus sama sekali dari kegiatan membaca. Dari sedikit contoh itu diantaranya adalah gerakan guru menulis melalui Media Guru dan kegiatan komunitas Indonesia Boekoe di Jogja dan Rumah Dunia di Banten. Komunitas Indonesia Boekoe dan Rumah Dunia di Banten bukan hanya mendorong minat baca masyarakat, tetapi juga mendorong anggota komunitasnya untuk memiliki aktifitas menulis (Solihin, 2019).

Literasi baca tulis tak bisa dicapai hanya melalui kegiatan-kegiatan yang parsial dan terputus-putus. Literasi baca tulis hanya bisa dicapai melalui suatu proses yang terstruktur dan terus menerus. Gerakan literasi baca tulis harus diarahkan kepada mencintai buku melalui membacanya. Setelah banyak membaca kemudian menulis. Salah satu cara efektif adalah melalui kegiatan dalam keluarga.

Marguerite Yourcenar adalah contoh penulis tenar yang dihasilkan oleh budaya literasi di keluarganya. Penulis buku Memoar Hadrianus ini dibesarkan dalam keluarga yang berlimpah dengan buku. Melalui buku-buku yang disediakan oleh bapaknya, anggota perempuan pertama Akademi Perancis (Académie française) ini menjadi penulis sekaligus intelektual hebat. Keberhasilan Perempuan kelahiran Brussel ini sebagai penulis dan cendekiawan bukan dari bangku sekolah. Disiplin membaca dan menulis yang didapatinya dari keluarganyalah yang membuatnya berhasil.

Contoh lain keluarga yang berhasil mendidik anggotanya menjadi penulis handal adalah keluarga Pramoedya Ananta Toer. Selain dari Pram, dua adiknya, yaitu Kosesalah dan Soesila Toer adalah penulis yang hebat. Pram sangat keras mengajari dua adik lelakinya ini untuk membaca dan menulis. Bahkan Pram tidak segan-segan menghukum kedua adiknya apabila mereka malas.

LITERASI DALAM KELUARGA BESAR STP

Perkenalan saya dengan keluarga STP adalah saat saya bertugas sebagai manager di sebuah program Pendidikan Dasar, kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia. Saya bertugas di Provinsi Kalimantan Utara. Program ini diimplementasikan di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Malinau.

Di awal program saya mempelajari Kabupaten Malinau. Saya terkesan dengan kebijakan desentralisasi dan program pendidikan. Kebijakan desentralisasi sampai ke tingkat desa dan bahkan tingkat RT dilakukan oleh Bupati Yansen TP jauh sebelum Pemerintah Pusat menerapkannya. Kebijakan desentralisasi ini adalah upaya Yansen TP untuk mengatasi kondisi goegrafi yang tak memungkinkan pembangunan dilakukan secara sentralistik dari pusat kabupaten.

Kebijakan diterbitkan dalam buku? Aneh? Ya aneh! Kedua buku karya Bupati Malinau ini adalah buku pertama yang saya baca tentang sebuah kebijakan pemerintah daerah.

Biasanya saya mengalami kesulitan untuk mendapatkan gambaran disain pembangunan daerah di mana saya ditugaskan. Sebab saya harus membongkar banyak dokumen, mewawancarai para pejabat. Namun khusus untuk Kabupaten Malinau, saya tak perlu banyak waktu untuk mempelajari kebijakan-kebijakan pembangunannya. Sebab semuanya sudah tersedia dalam buku yang penuh dengan informasi tentang disain besar dan penjabarannya tentang pembangunan yang akan dilakukan di kabupaten ini.

Saya baru paham mengapa Yansen TP menuliskan kebijakannya dalam buku adalah karena beliau tumbuh menjadi birokrat-intelektual karena buku. Dalam berbagai kesempatan, beliau menjelaskan bahwa saat SMA beliau mendapatkan buku dari ayahnya Samuel Tipa Padan (STP) yang juga dikenal sebagai seoran guru. Buku sosiologi, manajemen, dan buku pengembangan diri karya Schumacher berjudul Small Is Beautiful yang sebenarnya melampaui usianya itu, dilahapnya habis.

Dari bahan bacaan itu, Yansen mendapat informasi dan pengetahuan, yang diolahnya semikian rupa menjadi “ilmu pengetahuan” untuk hidup dan memecahkan persoalan sehari-hari, bukan sebatas pengetahuan saja.

Di kemudian hari, bahan-bahan bacaan tersebut membuatnya menjadi seorang yang mampu merumuskan ide-ide pembangunan menjadi sebuah gagasan besar tetapi detail dalam sebuah buku. Demikianlah olah dan kegiatan literasi bekerja, memengaruhi seseorang di dalam berpikir dan bertindak ke arah yang positif.

Tentang kebijakan sektor pendidikan, Malinau telah menetapkan Wajib Belajar (Wajar) 16 tahun. Kabupaten Malinau bertanggungjawab untuk memberikan pelayanan pendidikan dari pra sekolah, SD, SMP sampai SMA/SMK. Pada periode pertama kepemimpinannya di Kabupaten Malinau, Yansen TP berupaya memberikan akses kepada semua anak untuk sekolah. Malinau membangun sekolah di setiap komunitas. Satu Desa satu SD. Bukan hanya membangun Gedung, Kabupaten Malinau juga mengirimkan guru-guru ke sekolah-sekolah yang ada di pedalaman. Pada periode kedua kepemimpinannya, Yansen TP mulai membenahi kualitas pendidikan.

Implementasi dari kebijakan Wajar 16 tahun untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak dimonopoli oleh Dinas Pendidikan. Masyarakat dilibatkan secara aktif supaya kebijakan berjalan baik. Salah satu pilar pelaksanaan Wajar 16 tahun adalah Jam Belajar Masyarakat. Masyarakat diberi tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya belajar secara rutin di rumah dan di masyarakat.

Melalui kerjasama dengan program INOVASI, Kabupaten Malinau berhasil membuat sinergi Perpustakaan Desa (Perpusdes) dan Taman Bacaan Masyarakat dengan pelayanan sekolah. Kerjasama antara Perpusdes/TBM dengan sekolah ini telah berhasil memberi pelayanan kepada anak-anak yang kurang berhasil belajar di sekolah. Anak-anak yang lamban belajar baca tulis ini ternyata berhasil mengejar ketertinggalannya dengan kawan-kawannya karena mendapatkan tambahan jam belajar di perpusdes/TBM. Jam Belajar Masyarakat berhasil menolong anak-anak di seluruh Malinau sehingga mereka tidak menjadi pecundang saat masuk masa “bonus demografi!”

Perhatian Yansen TP dalam literasi memang luar biasa. Selain menuangkan kebijakannya dalam bentuk buku. Beliau juga menyiapkan pelayanan pendidikan dari sejak pra sekolah. Ia melibatkan masyarakat secara penuh untuk mencapai tujuan pendidikan.

Ada satu lagi yang saya dapat dari buku ini. Ternyata kepedulian Yansen TP tentang literasi tidak berhenti hanya di kalangan birokrat dan masyarakatnya, tetapi juga bagi keluarganya. Gagasan untuk menulis buku melalui liburan keluarga adalah sebuah ide yang brilian. Liburan keluarga di awal Juni 2019 ke kampung nenek moyang di Krayan, bukan hanya untuk rekreasi. Liburan ini dipakai untuk melatih anggota keluarganya menulis! Semua anggota keluarga yang ikut berlibur wajib menulis. Penulis termuda berusia 9 tahun. Buku ini adalah hasilnya!

Sudah tentu, tidak sekonyong-konyong olah dan kegiatan literasi ini terjadi dalam keluarga besar STP.

MENGAJAR DENGAN CONTOH

Ketika orang lain sedang berbicara tentang literasi, Yansen TP menjadikannya. Ini memang salah satu dari konsepnya: Tahu, Lakukan, Jadikan. Sehingga tatkala ia menggelorakan semangat dan kegiatan literasi di wilayahnya (Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara), sebenarnya ia mengatakan apa yang dilakukan dan ketika keluarga besar STP melakukan liburan di Fe’ Milau, Krayan Tengah, adalah melakukan apa yang dikatakannya. Dengan kata lain, Yansen “mengajar dengan contoh”.

Orang lain jangankan menjadikan “keluarga literasi”, berpikir dan bertindak ke arah itu belum. Kita membayangkan, pasti tidak mudah untuk mengajak setiap anggota keluarga besar untuk berliterasi. Pertama, karena adanya rentang jarak usia dan pendidikan (SD – S-3 dan usia 9 – 63 tahun) dari peserta liburan yang disatu-kelaskan dalam kelas literasi di Fe’ Milau. Yang kedua, ini yang sangat sulit: memotivasi setiap anggota keluarga untuk menulis.

Hambatan mental pasti dialami peserta yang sebagian besar di antaranya belum pernah menulis secara serius dan sisematis. Bisakah?

Ternyata, bisa! Pada mulanya memang sulit. “Setengah mati” –kata lain dari tidak mudah—pastinya memotivasi peserta yang demikian itu, namun Yansen TP bisa. Ia melakukan apa yang musykil bagi orang. Itulah ciri khasnya. Ia bisa melakukan apa yang orang lain bisa, tapi orang lain belum tentu bisa melakukan apa yang ia lakukan. Dan apa yang ia lakukan: berkualitas.

Bagaimana proses kreatif keluarga besar STP berliterasi, terungkap dalam buku ini. Sebuah buku yang –menurut saya—pantas menjadi sumber inspirasi, sekaligus materi di dalam berliterasi. Selain itu, pantas menjadi pustaka di dalam membangun sebuah keluarga ideal, yang hidup bersama Allah jadi produktif. 

Kita tergelitik membaca di berbagai tulisan bagaimana peserta dimotivasi menulis ketika tidak percaya ciri. Bagaimana seorang anak kecil, usia 9 tahun, dimampukan menuangkan gagasannya dalam sebuah tulisan yang menggentarkan. Seorang ibu rumah tangga mampu menulis isi hati dan pikirannya menyentuh, sedemikian rupa, sehingga kita terharu dengan pengalamannya. Atau seorang remaja yang menginjak dewasa dengan jujur mencurahkan isi hati, perasaan, dan pikirannya secara jujur, apa adanya. Bagaimana pula peserta yang mengalami writers’s block (kebuntuan/ hambatan menulis), yang tenggat waktunya tinggal sejam untuk diserahkan, dapat menulis 4 lembar dalam tempo singkat. Lalu di tempat lain, seorang putri menyentil kita, sebagai orang tua, meski yang ia tulis pengalaman pribadinya.

Tanpa kegiatan literasi di Fe’ Milau, Batu Ruyud, Krayan Tengah, Kalimantan Utara; semua itu tidak muncul ke permukaan. Tak syak lagi, saya sebagai penggiat dan pekerja literasi, berani menyatakan bahwa buku ini adalah yang pertama dalam genre dan khas dalam topiknya yang mengangkat topik: kelarga literasi. Sebuah buku yang ditulis bersama seluruh anggota keluarga besar. Kita menyambutnya sebagai sebuah catatan prestasi, betapa di Malinau gerakan literasi dimulai dari keluarga seorang pemimpinnya.

Karena itu, silakan Pembaca mengecap sendiri langsung apa yang menjadi sajian menu gizi buku ini. Di dalam membaca dan mengikuti prosespenyusunan buku ini, saya bergelora terbakar api semangat literasi. Maka saya pun berkata: Buuuuuiiiiii……buuuuuuiiiiii…..buuuuuiiiiii!

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler