x

Sekelompok warga melintasi Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, memakai masker antisipasi wabah virus corona. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 23 Maret 2020 14:34 WIB

Hadang Corona, 6 Dokter Sudah Berpulang, Kenapa (Sebagian) Warga Masih Nyantai?

Di tengah perjalanan menuju puncak wabah, kecemasan kita berpotensi akan meningkat. Sebagian kita mungkin tetap cuek, acuh tak acuh, sebagian lainnya mulai panik, dan bahkan mungkin semakin kekurangan harapan. Sayangnya, harapan itu justru harus kita jaga jika kita ingin menghentikan gerak laju Corona.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Enam dokter telah berpulang selama menangani pasien Covid-19. Ratusan warga lainnya sudah terpapar dan cenderung bertambah. Ini merupakan alarm yang sangat kencang tentang betapa serius ancaman virus corona. Sungguh mengherankan bahwa masih banyak warga yang berkerumun di warung dan kafe, menyantap makanan sembari menikmati suasana malam, seolah tidak terjadi apa-apa.

Masih banyak yang nongkrong dan kongkow-kongkow di keramaian seakan tidak melihat ada ancaman tengah mengintai. Wow, memang virus corona tidak terlihat oleh mata telanjang, tapi bukan berarti ancaman hanya tinggal diam--justru tengah mengintai peluang untuk merasuki tubuh. Ukurannya yang sangat kecil dan tak terlihat oleh mata telanjang menjadikan virus ini mudah memasuki tubuh siapapun tanpa diketahui.

Covid-19 memanfaatkan setiap kesempatan untuk melompat dari satu manusia ke manusia lain, dari manusia ke gagang pintu, dari meja makan ke wajah manusia. Kapan saja, tak kenal waktu. Apakah masih perlu alarm yang lebih kencang agar kita tersadar bahwa apa yang mungkin terjadi dapat melampaui apa yang kita bayangkan? Tentang jumlah korban, tentang banyaknya yang terpapar, tentang luasnya penyebaran, tentang kerugian jiwa, tentang kemerosotan kemampuan ekonomi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Tak usah panik, biasa saja," kata sebagian orang. Yaapp, kita memang harus berusaha agar tidak panik, sebab kepanikan akan menggerus kemampuan kita berpikir jernih. Tapi bukan pula bergaya ala pendekar sakti yang meremehkan kekuatan lawan. Kegagalan kita, jika itu terjadi, dalam menghadapi corona ialah karena kita tidak bersatu padu, tidak merapatkan barisan.

Hari ke hari, ketika wabah tengah mendaki terus menujuk puncaknya, seperti diperkirakan para ahli lewat studi matematis-epidemiologis, pertambahan orang yang terpapar akan terus meningkat. Pengetatan interaksi dan aktivitas sosial niscaya juga kian diperkuat demi menghentikan penyebaran corona. Tapi ikhtiar ini hanya akan membuahkan hasil bila warga masyarakat menyadari benar bahwa menghadapi corona adalah tugas bersama, tak bisa hanya mengandalkan pemerintah tanpa kerjasama dari masyarakat.

Di tengah perjalanan menuju puncak wabah itu, kecemasan kita berpotensi akan meningkat. Sebagian kita mungkin tetap cuek, acuh tak acuh, sebagian lainnya mulai panik, dan bahkan mungkin semakin kekurangan harapan. Sayangnya, harapan itu justru harus kita jaga dan pelihara jika kita ingin menghentikan gerak laju corona. Harapanlah yang membuat kita termotivasi untuk terus berikhtiar mencari jalan keluar dari invasi virus ini.

Meski begitu, memelihara harapan tidaklah cukup hanya dengan merenung, apa lagi dengan sikap meremehkan dan acuh tak acuh. Diperlukan ikhtiar agar harapan tetap terpelihara. Harapan bukanlah kata benda yang akan hadir tiba-tiba tanpa ikhtiar, harapan adalah kata kerja yang berarti ada proses yang mesti kita jalani bersama agar harapan itu terwujud. Bila kita diam atau acuh tak acuh, menganggap remeh dan sepele, maka harapan akan menunjukkan wajah kejamnya, sebab ia menghadirkan kesuraman masa depan kita. Menjaga harapan harus kita lakukan dengan ikhtiar. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler