x

kecerdasan emosi

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 24 Maret 2020 06:02 WIB

Apakah Kecerdasan Emosional Saya Rendah?

Saat kini semua masyarakat dianjurkan mengisolasi dan berdiam diri di rumah karena corona, inilah saat yang tepat bagi setiap individu masyarakat untuk menilai diri sendiri, apakah memiliki kecerdasan emosi tinggi atau rendah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat virus corona masih terus berpandemi dan entah sampai kapan akan berakhir karena telah menyebar di ratusan negara planet dunia, inilah saat yang tepat bagi setiap individu manusia untuk dapat mengukur dirinya sebagai makhluk sosial. 

Secara mandiri, atas situasi ini, karena dianjurkan berdiam diri di rumah. Maka setiap individu manusia terutama yang sudah kategori dewasa secara umur, dapat instrospeksi diri serta menilai diri sendiri. Apakah mereka masuk kategori manusia yang sudah memiliki kecerdasan emosi, atau masih termasuk manusia yang lemah dalam kecerdasan emosi? 

Untuk dapat mengukur dan menilainya secara mandiri, setiap individu manusia dewasa, mungkin dapat menyimak deskripsi yang akan saya paparkan berikut ini. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, dilansir dari kompas.com (15/3/2017) menurut suatu survei oleh lembaga peneliti, ada 90 persen orang yang sukses memiliki kecerdasan emosional (emotional intelligence/EQ) yang tinggi. 

Kedua, EQ bisa berkembang seiring pembelajaran personal yang tidak seperti kecerdasan intelektual (intelligence quotient/IQ) yang cenderung stagnan tidak bisa berubah banyak. Mengapa kecerdasan emosi dapat meningkat? 

Pada tahun 1980-an, seorang psikologis bernama Dr. Reuven Baron memulai riset di bidang etika dan perilaku terhadap orang-orang yang dinilai pintar. Berikutnya, tahun 1985, dia menciptakan istilah kecerdasan emosi dan terus menguji keilmiahan dari teorinya. 

Setelah 17 tahun meneliti, tepatnya tahun 1997, Reuvon menerbitkan tulisan yang memverifikasi validitas dari kecerdasan emosi. Hasilnya, terdapat beberapa faktor dalam kecerdasan emosi yang menunjang kompetensi seseorang dalam suatu lingkungan kerja. 

Di antaranya, faktor kesadaran diri untuk memahami emosi pribadi dan mengendalikannya. Kemudian, faktor empati agar bisa lebih mengerti orang lain dan membaca arah dinamika berkelompok. Lalu, faktor ketegasan untuk mengekspresikan perasaan, keyakinan, dan pemikiran secara efektif tanpa agresivitas yang berlebihan. Dari hasil riset tersebut, kecerdasan emosi ternyata dapat mengembangkan kemampuan dan kesadaran memahami emosi, empati, dan ketegasan. 

Karenanya, kecerdasan emosi juga akan membuat seseorang  mampu untuk membedakan pengalaman subyektif dari fakta-fakta yang obyektif. Membuat seseorang mampu mengatur harapan yang realistis, dan mampu membuat seseorang menolak impuls atau dorongan untuk bertindak secara terburu-buru. 

Ketiga, kecerdasan emosi yang tinggi ditandai oleh keahlian beradaptasi secara fleksibel dengan menyesuaikan perilaku terhadap perkembangan situasi dan kondisi yang ada. Selain itu, manusia yang memiliki kecerdasan emosi tinggi, juga mampu membangun perilaku yang konstruktif serta penuh percaya diri untuk berkinerja secara lebih baik, rasa tanggung jawab, mandiri tapi mau bekerja sama dan jadi pendengar yang baik, optimis serta banyak sifat-sifat positif yang tahan terhadap stres ataupun tekanan. 

Keempat, teori-teori kecerdasan emosional juga dipopulerkan oleh Daniel Goleman (1999), yang menyatakan bahwa faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni kecerdasan emosional. Steiner (1997) juga mengungkap pengertian kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan yang dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan pribadi. 

Senada dengan definisi tersebut, Mayer dan Solovey (Davies, Stankov, dan Roberts, 1998) mengungkapkan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, dan menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan. 

Sementara Patton (1998) mengemukakan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengetahui emosi secara efektif guna mencapai tujuan, dan membangun hubungan yang produktif dan dapat meraih keberhasilan dan Bar-On (2000) menyebutkan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu rangkaian emosi, pengetahuan emosi dan kemampuan-kemampuan yang mempengaruhi kemampuan keseluruhan individu untuk mengatasi masalah tuntutan lingkungan secara efektif. 

Atas penjelasan teori-teori tersebut, ada kecenderungan arti bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri dan orang lain. 

Kelima, agar lebih mudah mengukur dan menilai apakah saya adalah individu yang memiliki kecerdasan emosi rendah atau tinggi, dapat kita ambil contoh tolok ukur berikut ini dengan menjawab apakah saya seperti demikian atau tidak, sesuai pernyataan berikut yang selama ini sangat mudah kita temukan dalam perilaku masyarakat Indonesia. Di antaranya: 

1. Saya gampang stres. Saya sering menyalahkan orang lain dan sulit mengatur mood (suasana hati) dll. 

2. Saya tidak tegas pada diri sendiri. Perilaku saya tidak baik, kurang rasa empati dan simpati, sering bereaksi atas suatu kondisi yang tidak saya suka dan mudah emosi tanpa berpikir panjang. 

Dalam situasi wabah virus corona, saya masih tetap abai pada anjuran pemerintah, masih suka keramaian, masih memaksa dan berdesakan naik moda transportasi umum.

3. Saya minim kosa kata emosi. Saya sering emosi karena perkara yang jelas atau tidak jelas, namun tanpa kata-kata, sehingga menimbulkan pemahaman dan reaksi yang keliru pada orang lain. Akhirnya memicu pilihan tindakan irasional dan kurang produktif dalam hal pekerjaan atau lainnya karena tidak menggunakan kata-kata spesifik untuk gambaran kemarahan dan emosi saya yang membuat orang lain bingung dan salah sangka. 

4. Saya cepat membuat asumsi. Saya sering cepat membuat opini lalu malas melakukan konfirmasi. Hanya mengumpulkan informasi yang mendukung opini saya dan mengabaikan bukti dari pendapat sebaliknya. Saya suka berdebat keras agar orang menerima pendapat saya. 

5. Saya suka menyimpan unek-unek. Saya suka menyimpan unek-unek yang membikin stres, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, sampai susah tidur. 6. Saya tidak melupakan kesalahan. Saya masih terlalu sering memikirkan kesalahan dan kesalahan, sehingga saya sering gelisah dan cemas dan saya sulit ke luar dari kesalahan. 

7. Saya sering merasa tak dipahami. Orang lain sering tak memahami maksud saya. 

8. Saya selalu marah. Saya selalu mudah marah bila ada situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan suasana hati saya. 

9. Saya selalu menyalahkan orang lain. Saya sering langsung menyalahkan orang lain atas situasi dan kondisi yang tidak saya kehendaki. 

10. Saya gampang tersinggung. Saya sangat mudah tersinggung, meski terkadang dalam situasi bercanda dan tidak suka diolok-olok. 

11. Saya selalu harus menang. Saya tidak mau kalah dalam berbagai hal, dalam berdebat, dalam gaya hidup, dalam diskusi, dalam kemewahan, dll.

12. Saya tidak mengakui kehebatan dan keberhasilan/prestasi orang lain. Saya susah menerima dan mengakui atas kehabatan, keberhasilan, dan prestasi orang lain, meski saya sadari saya belum mampu seperti mereka.

13. Saya sulit memaafkan. Saya tidak mudah memaafkan kesalahan yang orang lain perbuat, meski orang lain tersebut sudah berupaya meminta maaf.

14. Saya benci nasihat dan digurui. Saya kesal bila ada orang yang sok menasihati atau menggurui saya atas kesalahan atau kekhilafan saya.

15. Saya suka membantah. Saya sering membantah orang lain, meski sebenarnya saya akui perkataan orang lain itu benar.

Dari 15 kebiasaan tersebut, bila jawabannya adalah, ya. Saya sering bersikap dalam 15 hal tersebut, maka saya masih dalam taraf manusia yang memiliki kecerdasan emosional rendah. 

Dikaitkan dengan situasi wabah corona ini, kira-kira manakah kebiasaan saya yang mencerminkan saya masih rendah dalam kecerdasan emosi? 

Atau dengan gambaran-gambaran tersebut, saya juga dapat menilai orang-orang di sekililing saya yang masih rendah kecerdasan emosinya. 

Semoga, wabah virus corona, dengan kesempatan banyak berdiam diri di rumah, dapat melatih diri saya untuk dapat terus instrospeksi diri, memperbaiki diri, tambah khusu beribadah dan berdoa, agar menjadi manusia yang meningkat kecerdasan emosinya serta segera usai pandemi coronanya.

Saya pun akan tetap terus mengembangkan diri menjadi menusia yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, untuk kemaslahatan orang-orang terdekat saya, lingkungan sosial saya, dan lebih utama untuk kemajuan bangsa dan negara saya, sekurangnya mengurangi, sebagai 1 individu yang menjadi ahli dan pemicu kisruh. Aamiin. 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler