x

keterampilan berbahasa

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 26 Maret 2020 07:50 WIB

Di tengah Wabah Corona, Inilah Potret Keterampilan Berbahasa Masyarakat Indonesia

Sebelum wabah corona datang, tingkat keterampilan berbahasa masyarakat Indonesia rendah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Virus corona yang terus berdampak dengan korban yang tiap hari meningkat, juga membawa dampak wabah baca/dengar masyarakat semakin menurun. 

Akibatnya, bukannya bersatu melawan virus corona, karena berbagai persoalan virus corona, malah membikin masyarakat tetap berseteru. Sebab ingin ikut tampil menjadi pahlawan, mau menang sendiri, dan merasa pintar sendiri. Inilah kelemahan mendasar keterampilan berbahasa masyarakat Indonesia. 

Harusnya pemerintah menyadari hal ini, tetapi orang-orang dalam pemerintahan pun banyak yang masih lemah dalam keterampilan berbahasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keterampilan berbahasa

Dalam berbagai literasi, dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbahasa adalah keterampilan seseorang untuk mengungkapkan sesuatu dan memahami sesuatu yang diungkapkan oleh orang lain dengan media bahasa, baik secara lisan maupun tulisan. 

Selain itu, keterampilan berbahasa  sangat vital, penting untuk dikuasai setiap orang. Sebab, dalam kehidupan bermasyarakat, setiap orang saling berhubungan dengan orang lain dengan cara berkomunikasi. Karenanya, tidak dapat dipungkiri bahwa keterampilan berbahasa adalah salah satu unsur penting yang menentukan kesuksesan mereka dalam berkomunikasi. 

Secara berurutan, keterampilan berbahasa itu diawali oleh keterampilan mendengar (menyimak), lalu membaca (melihat, mengamati, mengawasi, memahami), kemudian berbicara, dan menulis. 

Bagaimana kondisi keterampilan berbahasa masyarakat Indonesia terkini, terlebih dalam situasi wabah croona?

Mendengar dan membaca lemah

Hikmah di balik virus corona juga semakin menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang abai dan sulit diatur oleh pemerintah pusat maupun daerah menyoal kebijakan pencegahan virus croona. Ini bukti kemampuan mendengar rendah. Meski bila diperdebatkan, tetap ada justifikasinya.

Selain itu, keterampilan membaca pun lemah. Sebagai contoh, di media whatsapp, kini masyarakat sangat latah turut menyebarkan berbagai informasi, tanpa lebih dahulu memahami secara utuh isinya dari awal sampai akhir, dan mencoba memahami dulu apakah informasi itu benar atau sekadar hoaks, tanpa ada pertimbangan, kalkulasi (matematik), dan mencoba mencari referensi kebenarannya dalam ilmu pengetahuan yang terkait (Sains).

Bukti-buktinya misalnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sepak bola nasional, selama puluhan tahun timnas di besut pelatih lokal maupun asing, baru Shin Tae-yong lah yang berani mengungkap dan menyebut bahwa menyoal passing saja pemain nasional masih salah. 

Lebih tepatnya kesalahan ini sudah terjadi sejak mereka di bina di kawah candradimukanya sepak bola usia dini, yaitu di pembinaan sepak bola akar rumput (usia dini dan usia muda). Mengapa? 

Tentu karena kemampuan mendengar dan membaca dalam proses latihan lemah, yang dipastikan pula sumber kelemahannya adalah dari para pelatih yang belum mumpuni dalam teknik mentrasfer ilmu yang seharusnya layaknya sebagai guru di sekolah formal. Buntutnya, dasarnya saja salah, maka ujungnya juga kaprah.

Wahai PSSI, tidak cukup untuk membuat sepak bola nasional berprestasi, para pelatih, khususnya di sepak bola akar rumput hanya berbekal lisensi D atau C atau bahkan B atau A, yang diperoleh hanya dalam pelatihan hitungan minggu dan bulan. 

Ini menangani anak usia dini, yang tidak hanya menyoal terampil teknik. Tetapi seorang pelatih sepak bola atau olah raga lainpun wajib terampil dalam ketampilan berbahasa dan keterampilan mengajar terutama aspek pedagogi. 

Lihat, urusan passing saja sudah salah dari dasar! Karena para pemain sepak bola kita tidak dibudayakan untuk menjadi pendengar yang benar dan pembaca atau pemaham yang benar (baca: pembelajar yang benar). 

Bagaimaan bila program Mas Nadiem, Merdeka Belajar benar-benar direalisasikan? Tahukan Mendikbud kita atas kondisi kegagalan ini akarnya dari mana?

Lalu, fakta bahwa kemampuan baca masyarakat Indonesia rendah pun, telah gagal sejak mereka masih duduk di bangku pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA). 

Bahkan peringkat Indonesia merosot dalam evaluasi Programme for International Student Asessment (PISA). Sejak empat tahun terakhir, posisi Indonesia menurun di semua bidang yang diujikan: membaca, matematika, dan sains. 

Tes PISA yang menguji anak-anak sekolah berusia 15 tahun di berbagai negara, dalam dirilis terbaru, Selasa, 3 Desember 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara. 

Tiga skor itu kompak menurun dari tes PISA 2015. Kala itu, skor membaca Indonesia ada di peringkat 65, skor sains peringkat 64, dan skor matematika peringkat 66. 

Mirisnya, di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia berada paling bawah bersama Filipina yang mendapat peringkat terakhir dalam membaca dan skor sebelum terakhir di dua bidang lain. 

Mengapa skor matematika dan sains juga rendah? Sebab ibu dari kedua tes tersebut juga membaca. Kegagalan yang juga selama ini cukup siginifikan adalah dalam hal mendengar/menyimak masyarakat Indonesia. 

Bila di tanya, apakah orang tua di rumah,  guru di sekolah, pemuka agama dll, tidak pernah memberi nasihat, petuah, ceramah pada anak-anak hingga orang dewasa?

Namun, nyatanya tawuran dan berbagai persoalan kerawanan sosial, politik, hingga yang mengarah disintegrasi bangsa  terus terjadi di tengah masyarakat kita. 

Keterampilan berbahasa = proses bayi lahir

Menjadi pertanyaan pula, apakah selama ini para guru di sekolah, dosen di perguruan tinggi, hingga para pelatih semua jenis olahraga, dan masyarakat umum Indonesia mengetahui bahwa pembelajaran keterampilan berbahasa secara hirarki seperti halnya proses bayi lahir dari kandungan ibu? 

Bisa jadi, para guru/dosen yang mengampu bidang studi bahasa Indonesia pun belum pernah membaca atau mendengar tentang analogi berikut ini, yang sudah puluhan tahun saya bagikan kepada murid-murid saya, dulu saat masih menjadi guru.

Saat seorang bayi lahir, prosesnya, begitu bayi ke luar dari rahim ibu, bila ternyata bayi tidak menangis, maka orangtua akan langsung sedih dan ditenangkan oleh dokter. Bayi yang tidak langsung menangis saat lahir, maka dipastikan, ada "sesuatu" pada bayi tersebut. 

Kelahiran yang normal, begitu bayi keluar langsung menangis, sebab apa? Suasana yang berbeda di dalam rahim ibu dan di alam dunia membuat bayi langsung merespon (mendengar) melalui indra pendengaran maupun indra perasa, dan respon yang baru dilakukan oleh bayi hanyalah menangis. 

Berikutnya, setelah beberapa lama mata bayi terbuka dan dapat melihat siapa ibunya, bapaknya dan lainnya (bayi membaca). Itulah dua langkah keterampilan sejak bayi lahir yang didapatkan secara alami, yaitu mendengar, kemudian membaca. 

Dua langkah urutan tersebut tidak dapat dibolak-balik. Baru kemudian, bayi belajar berbicara. Menyebut mamanya, papanya dll. 

Saat bayi sudah menjadi anak, dan duduk di bangku sekolah maka, keterampilan dasar mendengar, membaca, berbicaranya dipakai hingga akhirnya dapat menulis

Itulah proses bayi lahir bila dianalogikan dengan keterampilan berbahasa yang urutannya tidak dapat dibolak-balik, yaitu mendengar, membaca, berbicara, dan menulis (MMBM). 

Bila hal ini betul-betul disadari oleh sertiap masyarakat, khususnya guru/dosen/para pelatih dll di sekolah/perguruan tinggi/tempat olahraga dll, maka setiap memberikan materi baik pelajaran maupun pelatihan atau ceramah atau nasihat, maka jangan asal langsung tancap gas. 

Lihat dulu anak/siswa/mahasiswa/audiennya, apakah mereka benar-benar konsentrasi menjadi pendengar yang sudah benar? Inilah pemicu utama kegagalan pendidikan di Indonesia. Tetap memaksakan pembelaran/pelatihan/ceramah, meski siswa/mahasiswa/audien tidak dalam kondisi konsentrasi untuk mendengar. 

Jadi apapun asupan materi/pelajaran/pelatihan/ceramah, hanya masuk telinga kanan terus kabur lewat telinga kiri. Tidak ada yang membekas, alias gagallah upaya pembelajaran itu. 

Setali tiga uang, bila akhirnya Tae-yong menyebut "passing" pemain timnas sepak bola kita "gagal" tak ubahnya maka sangat signifikan dengan kegagalan cara pendidikan dasar keterampilan berbahasa di Indonesia, telah gagal dari pondasi: mendengar dan membaca.

Memperhatikan keterampilan mendengar siswa/mahasiswa/audien, bukan hanya tanggung jawab guru/dosen bahasa Indonesia, namun menjadi tanggungjawab semua guru/dosen bidang studi lain, pun para pelatih olahraga, seni, penceramah dll. 

Setop bicara, bila ada siswa/mahasiswa/audien yang tidak memperhatikan, tidak menyimak. Budaya dan kebiasaan ini sangat lemah. Sampai anak-anak ini lolos menjadi orang dewasa. Keterampilan mendengar/menyimak yang menjadi dasar kualitas individu manusia Indonesia terus terabaikan, bahkan di kelas dan situasi formal, maka bagaimana anak-anak hingga orang dewasa atau masyarakat Indonesia akan terbudaya menjadi pembaca yang benar? 

Dalam situasi wabah corona sekarang ini, kita dapat melihat wujud lemahnya keterampilan mendengar dan membaca masyarakat Indonesia. Masyarakat itu khususnya, tadinya adalah bayi, anak-anak, siswa, mahasiswa yang telah mengenyam bangku pendidikan. Bagaimana dengan masyarakat yang tidak mengenyam bangku pendidikan? 

Masyarakat yang mengenyam bangku pendidikan saja gagal dalam keterampilan mendengar dan membaca, apalagi dalam keterampilan berbicara dan menulis. 

Tak paham, tapi sok tahu

Lemahnya keterampilan mendengar dan membaca dapat dibuktikan dengan, lebih banyaknya masyarakat yang kini lebih ingin berbagi di media sosial di bidang apa saja, terlebih menyoal corona. 

Meski bukan ahli, praktisi, pengamat, atau pihak yang berwenang, khususnya di whatsapp (wa) masyarakat sangat mudah memviralkan dengan mengeshare berbagai informasi, yang kebayakan mereka belum membaca dan memahami isinya. 

Hanya melihat judul artikel/berita/brosur/video dan lainnya, sudah langsung main share saja padahal semua hal tersebut belum tentu valid atau sebaliknya malah hoaks. 

Ironisnya, bila ada informasi/berita/artikel/brosir/video yang valid, benar, dapat dipercaya, dengan sok tahunya ada yang berkomentar, padahal isi infomasinya saja belum di baca/disimak/ditonton.dari awal sampai selesai. 

Sangat menggemaskan. Ini adalah akumulasi dari kegagala pembelajaran mendengar, yang berakibat gagal membaca, buntutnya gagal pula mengkalkulasi (matematika). Pun gagal pula dalam sains, karena tidak ditunjang oleh keterampilan mendengar dan membaca. 

Ujungnya? Masyarakat bangsa ini hanya menjadi masyarakat pemakai produk kreativitas dan inovasi orang lain, pihak lain, bangsa lain. Tak ada pemikiran untuk berbuat kreatif dan inovatif sendiri. 

Sudah begitu, fakta kehidupan sehari-hari mulai dari rakyat biasa, elite partai, hingga pemimpin negeri, lebih banyak menonjolkan ke-sok-tahu-annya. Tak tertinggal gaya pamer kemewahan dan OKB pada nasyarakat yang kaya (benar) atau sok kaya.

Nampak rendahnya kecerdasan emosi, jauh dari empati, simpati, dan rendah hati, karena di hati dan pikirannya, hidup adalah untuk dirinya. 

Jadi, inilah potret masyarakat Indonesia terkini. Mulai dari anak-anak, terpuruk dalam membaca, matematika, dan sains. Maka dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat pun gagal dalam keterampilan berbahasa secara utuh. Bagaimana Bapak Presiden, Mas Nadiem?

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler