Hari-hari ini di seluruh dunia umumnya organisasi bisnis, nonprofit, dan sebagian institusi pemerintahan menerapkan bekerja dari rumah, meminimkan mobilitas dan kerumunan, untuk mengurangi ancaman penularan wabah Covid-19.
Sebagian waktu yang selama ini dimakan oleh kemacetan lalu-lintas dan fasilitas transpotasi umum yang belum mampu menopang produktivitas, saat ini sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk melakukan perenungan. Menata kembali mindset kita, menyiapkan action-action ke depan, mempertanyakan kembali tujuan hidup kita, dan apa yang akan kita wariskan kelak untuk kemanusiaan.
Dari sejak ribuan tahun silam sampai hari ini, umat manusia selalu menghadapi sederet test untuk menguji kesungguhan menjalani hidup, meningkatkan kompetensi, dan, menurut perspektif agama, menakar keimanan masing-masing. Krisis akibat wabah sekarang ini adalah fakta yang kita hadapi bersama. Accept it.
Sebuah apocalypse? Terserah masing-masing untuk menafsirkan krisis sekarang. Apocalypse dari bahasa Yunani, yang artinya “pengungkapan” ("revelation"), "an unveiling or unfolding of things not previously known and which could not be known apart from the unveiling".
Dalam level dan kasus tertentu, bisa jadi krisis akibat Covid-19 ini merupakan apocalypse, revelation, mengungkap kualitas dan perilaku kepemimpinan sejumlah orang. Kini kedok mereka terbuka, siapa yang mementingkan perut sendiri (menimbun komoditas untuk di-mark up), mana saja pihak yang tidak sensitif pada situasi dan sibuk membangun kerajaan ego (politik).
Sementara di lain pihak ada golongan orang (institusi) yang dengan tulus memberikan sokongan untuk bersama-sama mengatasi krisis.
Selanjutnya: Instropeksi dan menentukan respon positif
Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.