x

Cover buku The Kruetzer Sonata

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 2 April 2020 13:12 WIB

The Kruetzer Sonata - Mempertanyakan Dasar Pernikahan

Membongkar dasar pernikahan yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Mempertanyakan peran cinta dalam pernikahan. Apakah memang ada?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Judul: The Kreutzer Sonata

Penulis: Leo Tolstoy

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Wawan Eko Yulianto

Tahun Terbit: 2009

Penerbit: Jalansutra                                                                                               

Tebal: vii + 160

ISBN: 978-602-8252-23-2

Dengan begitu, kami hidup di dalam kabut abadi yang membuat kami buta keadaan sebenarnya. Kami seperti dua tukang dayung perahu yang dikaitkan pada satu bola besi, saling menyerapahi, meracuni kehidupan, dan mencoba memancing kemarahan satu sama lain.

 

Leo Tolstoy menggugat landasan perkawinan yang selama ini dijadikan pedoman oleh hampir semua manusia di bumi. Dia menunjukkan bahwa ketidak-seimbangan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perkawinan sebagai sebuah ikatan yang membahayakan. Perkawinan menjadi sebuah tempat penyiksaan baik bagi perempuan maupun laki-laki. Bahkan perkawinan adalah rumah bagi tumbuhnya kebencian yang memuncak bagi masing-masing pasangan.

Tanpa sadar kita telah membangun sebuah landasan yang salah dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan. Landasan yang salah itu adalah berupa perkawinan untuk mencari kesenangan. Bentuk kesenangan pun telah ditanamkan begitu rupa. Kesenangan bagi lelaki adalah seks. Kesenangan bagi perempuan adalah kalau dia dipuji kecantikannya. Tanpa sadar hampir semua pasangan yang memasuki pernikahan berbekal keinginan seperti itu.

Ketertarikan fisik dan seksual lebih mendominasi hubungan laki-laki kepada perempuan. Itulah sebabnya lelaki mencari perempuan yang memenuhi idaman seksual mereka. Lelaki sangat memperhatikan bentik fisik perempuan yang akan dipilih menjadi pasangannya. Sedangkan perempuan dari sejak kecil sudah disiapkan untuk “cantik.” Kemudaan menjadi semacam syarat untuk memasuki pernikahan. Jika sampai umur awal 20-an belum menikah, maka perempuan dianggap kasep dan tidak layak untuk dipilih oleh lelaki memasuki dunia pernikahan. Perempuan dibuat sedemikian rupa memuja kecantikan sehingga ketertarikannya kepada perhiasan begitu kemaruk. Dia melengkapi tubuhnya dengan berbagai asesoris dan pulasan-pulasan.

Hubungan yang didasarkan kepada hal ini segera menjadi masalah saat mereka memasuki kesepakatan hidup bersama yang disebut sebagai pernikahan. Ketika si lelaki ternyata hilang ketertarikan seksualnya kepada pasangannya, maka ia mulai tidak menghargai istrinya. Jika sang perempuan merasa bahwa harapannya untuk bisa mendapatkan segala keinginan untuk tetap cantik dari pasangannya, makai a mulai tidak menghargai suaminya. Masing-masing mereka akan mulai menengok bahwa ada yang lain di luar sana. Para suami akan membandingkan kemenarikan seksual istrinya dengan perempuan-perempuan lain di luar sana. Para perempuan akan melihat bahwa di luar sana banyak lelaki lain yang bisa memberikan perhatian kepada kecantikannya.

Hubungan yang demikian juga menghancurkan tujuan hakiki pernikahan, yaitu untuk melanjutkan keturunan. Melanjutkan keberlangsungan generasi manusia. Itulah sebabnya  kehadiran anak-anak tak lagi membantu hubungan dalam pernikahan. Seringkali anak-anak justru menjadi penyebab pertengkaran. Malah-malah digunakan sebagai alasan untuk menyerang pihak lain. Suami menggunakan anak untuk menyerang istri. Istri menggunakan anak untuk menyerang suami.

Leo Tolstoy menggunakan tokoh lelaki bernama Posdnicheff. Posdnicheff adalah seorang lelaki dari kalangan menengah. Ia hidup berfoya-foya saat mudanya. Ia hidup dengan banyak perempuan yang dibayarnya. Sebab dia tidak ingin terikat kepada perempuan yang hanya dibutuhkan untuk kesenangannya. Ia mendambakan seorang perempuan sempurna sebagai istrinya kelak. Dalam benaknya ia tetap berkeyakinan bahwa setelah menikah ia akan menjadi lelaki yang baik, setia dan bertanggung-jawab kepada pasangannya.

Posdnicheff akhirnya bertemu dengan seorang gadis yang menurutnya sesuai untuk menjadi istrinya. Mereka pun menikah. Posdnicheff dengan teguh memegang janjinya untuk menjadi seorang lelaki yang setia dalam pernikahan. Namun ternyata setelah pernikahan mereka mengalami kuslitan untuk berkomunikasi. Mula-mula mereka mencari pengalihan supaya tidak berkomunikasi. Lama-lama mereka mulai cekcok. Pertengkaran menjadi semakin banyak. Namun kadang-kadang mereka masih bercinta. Meski banyak cekcok mereka toh mendapatnya banyak anak.

Saat anak-anak sudah lahir, Posdnicheff berpikir bahwa mereka bisa lebih baik hubungannya. Namun apa daya. Justru hadirnya anak malah membuat mereka mempunyai alasan untuk saling mencaci. Masing-masing dari mereka menggunakan anak kesayangannya untuk menyerang pihak lainnya.

Ketidak-cocokan menjadi semakin mendalam.

Sampai suatu hari datanglah seorang pemuda yang pandai bermain biola. Datangnya tamu ini membuat cemburu Posdnicheff menjadi-jadi. Benarkah cemburu? Atau ini sebenarnya hanya momentum saja untuk semakin mengungkapkan ketidak-sukaannya kepada istrinya? Atau memang cemburu?

Meski ia cemburu, namun demi gengsi (ciri khas lelaski) ia tetap mengundang sang pemuda tersebut untuk berlatih musik bersama istrinya demi sebuah pertunjukan yang sudah direncakanan. Saat Troukhatchevsky – demikian nama sang pemuda itu, sedang berlatih berdua dengan istrinya, Posdnicheff begitu marah. Namun sekali lagi demi gengsi, ia tetap melanjutkan rencana pertunjukan musik yang sudah disiapkan itu.

Pertunjukan berhasil baik. Troukhatchevsky bermain biola dan istri Posdnicheff bermain piano. Mereka memainkan Kreutzer Sonata karya Beethoven dan beberapa lagu lainnya.

Hubungan antara Troukhatchevsky dengan istri Posdnicheff ternyata tidak berhenti sampai di pertunjukan tersebut. Saat Posdnicheff pergi ke sebuah seminar di luar kota, ternaya keduanya malah sering bertemu. Posdnicheff yang terbakar cemburu pulang ke rumah sebelum waktunya. Saat tengah malam sampai di rumah, ternyata menemukan istri dan Troukhatchevsky sedang berduaan. Maka emosi tak dapat dikekang. Posdnicheff membunuh istrinya.

Posdnicheff tidak dihukum karena dianggap membela diri. Namun ia mengakui bahwa sesungguhnya masalah rapuhnya pernikahan merekalah yang menjadi penyebab utama pembunuhan. Bukan rasa cemburu itu sendiri.

Dalam pengantar di buku ini disebutkan bahwa Leo Tolstoy menikah dengan seorang gadis berumur 16 tahun dan membangun keluarga besar. Di masa tuanya, saat ia berumur 82 tahun, ia berselisih paham dengan sang istri karena sang istri tidak rela Tolstoy menghibahkan sebagian hartanya untuk gerakan petani. Leo Tolstoy memilih untuk meninggalkan rumah dan tiga hari kemudian ditemukan meninggal di sebuah stasiun kereta. Sejauh mana hubungan yang tidak harmonis dengan istrinya di masa tua ini mengilhami karyanya, saya tidak tahu.

Novel ini mengambil alur yang sangat sederhana. Yaitu percakapan dua orang penumpang kereta. Lebih tepatnya cerita dari satu penumpang kereta kepada teman seperjalanannya. Percakapan antara Posdnicheff dengan si aku yang berada di atas kereta. Leo Tolstoy berhasil mengemas pendapatnya mengenai keluarga dalam bentuk 90% monolog tanpa jatuh ke level ceramah moral.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler