x

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (Foto: Bisnis Tempo)

Iklan

Fitria Rakhmah Alkhonsa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 April 2020

Jumat, 3 April 2020 06:13 WIB

Lepas dari Belitan Bank Emok, Sebuah Tanggung Jawab Bersama

narasi bersumber fakta dilapangan. untuk perenungan yang berakhir pada tindakan . tentang sebuah keadaan lama yang harus diubah Bersama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bismillahirrahminirrahim

“Mnyesal Teh sebetulnya mah, tapi gimana lagi kan anak-anak masih sekolah, penghasilan suami ga menentu, saya juga cuman buruh bantu-bantu. Jadi maunya cepat selesai cicilannya, tapi kalau udah selesai ada aja kebutuhan lain," ujar Bu Nia, salah satu warga di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Sehari-hari Bu Nia adalah asisten rumah tangga di sebuah keluarga samping desanya. Sudah tahun ke-lima ia menjadi anggota ‘Bank Emok’ , sebuah nama yang diberikan masyarakat karena operasionalnya yang sambil ‘emok’, yaitu bahasa sunda dari lesehan.

Seperti diketahui pada umumnya bBank adalah lembaga keuangan yang memiliki kewenangan untuk menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman modal kerja untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat umum. Dengan operasional mempunyai kantor pusat, kantor cabang lalu dengan teknis dan prosedur formal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun dalam hal ini yang dimaksud bank dalam ‘Bank Emok’, sangat berbeda dengan bank sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Bank Emok menjamur ditengah masyarakat menengah kebawah, ia mendatangi rumah-rumah warga di kampong, lalu menawarkan program yang sangat mudah untuk membantu kondisi ekonomi mereka.

Pinjaman uang dengan syarat fotokopi KTP, fotokopi KK, pas foto suami dan istri, serta menandatangani perjanjian-perjanjian bermaterai, maka cair-lah pinjaman pertama sebesar Rp 2 juta. Dua juta rupiah yang sangat berarti bagi mereka yang membutuhkan, dua juta rupiah yang tidak pernah bisa mereka dapatkan dalam nominal utuh, karena pekerjaan suami tukang beca, kuli bangunan, bahkan pengangguran.

Bank ini bertarget ibu-ibu rumah tangga yang mempunyai segudang fikiran tentang bagaimana agar dapurnya tetap ngebul dan agar anak-anaknya tetap berseragam sekolah. Bersedia-lah setiap satu minggu sekali, sekitar 20 sampai 40 orang ibu rumah tangga berkumpul di rumah yang mereka sebut ketua dari perkumpulan Bank Emok tersebut. Unik, syarat yang paling utama dari semua syarat adalah setiap perkumpulan mingguan itu harus lengkap tanpa terkecuali, jika ada yang kurang maka cicilan harus ditanggung bersama.

Sekilas tidak ada masalah bukan? Terlihat seperti membantu dan gotong royong. Tapi apa yang dirasa Bu Nia dan ibu-ibu yang lain adalah semakin hari semakin berat. Mereka tidak mengerti konsep bunga, perhitungan persen keuntungan si ‘bank’, bahkan sekedar tau dimana lokasi bank itupun mereka tidak tau. Yang mereka tau, diawal pinjaman dengan 2 juta kontan tersebut , mereka bisa membayar tunggakan SPP anak-anaknya, memperbaiki becak yang sudah tidak layak, sedikit sisa dijadikan modal berjualan, namun berakhir habis untung, habis pula modal.

Rp. 52.000, dibayarkan setiap pekannya untuk melunasi 2 juta pinjaman dari Bank Emok selama satu tahun, atau mereka lebih sering menyebutnya 50 minggu. Terdapat 30% bunga dari pinjaman tersebut, tanpa diberitahukan bahwa itu adalah bunga oleh pihak Bank.

Bahasa sosialisasi Bank Emok ini sangat sederhana, hanya dikatakan bahwa akan kembali lebih besar untuk pihak bank, sebagai kompensasi atas kemudahan syarat dan lama waktu pembayaran. Hal tersebut berhasil menjadi pemakluman para anggota dari Bank Emok tersebut. Padahal setiap pekannya hampir rata-rata separuh cicilan mereka dapatkan dari hasil utang yang lain, karena pendapatan mereka yang tidak cukup untuk menutupnya.

Pada akhirnya tak jarang membuat masalah baru, baik dalam lingkup kecil di keluarga, hingga lingkup besar dimasyarakat, dari mulai percekcokan suami istri tentang ekonomi keluarga, sampai resahnya masyarakat sekitar karena tetangganya kepayahan dalam membayar utang-utang.

Miris dan menyedihkan, hal tersebut bukan hanya terjadi hanya pada 20 atau 40 Bu Nia, tetapi hampir atau bahkan lebih dari ribuan Bu Nia lain membutuhkan solusi dari hal ini. Solusi berupa menggantikan lembaga keuangan yang mencekik tersebut menjadi lembaga keuangan yang meringankan. Sebuah lembaga keuangan yang tak mengenal bunga, agar masyarakat merasa berkah atas manfaatnya.

Menjadi sebuah PR bersama bagi semua pihak, sebuah tanggung jawab bersama bagi yang lebih paham, bersama-sama membantu ribuan Bu Nia diluar sana. Sepintas dalam ekonomi islam dikenal baitul mal wa tamwil, sebuah lembaga yang diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan diatas. Tugas spesifik bagi yang berada dibidangnya, mengembangkan lembaga islami tersebut untuk umat.

Ikuti tulisan menarik Fitria Rakhmah Alkhonsa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler