x

Ilustrasi ledakan Akibat covid-19, yang akan mempengaruhi paradigma dalam memandang kehidupan, kita yang menentukan.

Iklan

Muhammad Radhi Mafazi

Penulis Bebas
Bergabung Sejak: 15 Januari 2020

Sabtu, 4 April 2020 15:04 WIB

Kita yang Menentukan Efek Sosial Covid-19

Pandemi yang disebabkan oleh virus Covid-19 ini secara tidak sadar memaksa manusia di dunia khususnya Indonesia merubah paradigma terhadap kehidupan ini. Diibaratkan seperti bom waktu, maka dia akan meledak dan membuat suatu tatanan berfikir baru pada masyarakat dunia. Kini keinginan "meledak" menjadi pribadi baru ada di tangan kita masing-masing akan kah menjadi lebih baik atau malah menjadi puing-puing debu yang berserakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Covid-19 yang sedang transit di negara tercinta ini, adalah virus yang dibuat atau muncul dari negara Cina. Banyak sekali teori yang bermunculan mengenai asal muasal virus ini, hingga kita tidak tahu mana yang benar, seolah warga dunia sedang di “cuci” dengan teori konspirasi dari para ahli.

Dalam tulisan kali ini penulis tidak akan membahas dari sisi medis mengenai virus yang mempunyai nama beken corona. Dalam tulisan ini akan membahas dari sisi sosial. Menurut para ahli, ketika manusia, terjangkit virus ini gejalanya hampir sama dengan flu, tetapi diikut gangguan pernapasan.

Media-media menyiarkan terus menerus, hingga masyarakat semakin tidak tenang. Niat media membuat masyarakat waspada menjadi bias, yang dipersepsi menjadi sumber kepanikan, pada akhirnya kita tidak sengaja menekan tombol bom waktu ditengah masyarakat. Banyak sekali sesuatu yang dapat kita ambil dari adanya kejadian ini dengan mengevaluasi diri dan menambah pengetahuan mengenai virus yang satu ini.

Awal kemunculan virus ini diakhir tahun 2019 tepatnya 31 Desember  di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Menurut jejak digital yang bersumber dari BBC, Indonesia terserang pertama kali oleh virus ini pada bulan Februari 2020. Kita tidak siap untuk menerima tamu ini dengan baik, hingga ia terlalu berani menyentuh terlalu jauh, atau mungkin kita tidak menghormati serta menjamu tamu dengan baik, sehingga ia berani “menggerayangi” bagian vital dalam kehidupan bermasyarakat Negara ini.

Banyak dari masyarakat kita yang tidak mematuhi tentang langkah preventif dari penangan virus ini, seperti psychal distancing atau gerakan sosial “dirumah aja”, mungkin akan banyak sekali dari kita yang tidak terima dengan banyak alasan pribadi, pada tanggal 30 Maret 2020 lalu presiden RI bapak Joko Widodo mengumumkan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSSB) dan Darurat Sipil, diikuti dengan berbagai kebijakan bagi masyarakat yang ekonominya terdampak secara langsung. Peraturan ini dikeluarkan karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang bahaya persebaran virus ini, yang semakin hari persebarannya begitu masive.  

Dalam literatur dan penelitian dalam bidang psikologi sosial perilaku sosial yang cenderung meremehkan awal kedatangan virus ini sehingga menjangkit semua wilayah di Indonesia dikenal dengan istilah self-serving bias, adalah perilaku keberpihakkan yang menguntungkan diri sendiri. Biasanya perilaku ini mudah membuat kita berprasangka dan sedikit egois.

Selain itu kita mudah sekali menilai orang lain, suatu tempat, suatu kelompok dan suatu pemikiran, sering secara tidak adil (mengambil keputusan) atau bahkan intoleran. Menurut ahli perilaku ini merupakan dasar dari segala hal yang buruk dalam kemanusiaan.

Mark Manson pada bukunya Everything Is F*Cked, yang diterjemahkan oleh penerbit Grasindo menyebutkan bahwa dunia terlalu membiaskan rasa kecewa yang akan dialami oleh manusia dengan cara mencampurkan rasa pahit yang berbalut rasa manis. Yah, kita kadang tidak mau menerima kenyataan pahit. Bahkan Mark menggambarkan bila dirinya menjadi seorang barista di Starbucks, ia akan menuliskan seperti ini, diatas kopi yang ia sajikan:

“Kelak kamu dan semua orang yang kamu cintai akan mati. Dan dalam sekelompok kecil orang, selama waktu yang cukup singkat saja hanya sedikit kata-kata atau tindakanmu yang masih berpengaruh. Inilah kebenearan yang menggelishakan tentang kehidupan. Dan semua yang kamu pikir dan kerjakan hanyalah utuk menghindari kenyataan itu. Kita adalah debu kosmik yang tidak berguna, bertabrakan dan berputar-putar seperti titik biru yang kecil. Kita sendiri yang merasa sok penting. Kita mencari-cari tujuan kita—kita bukan apa-apa (enjoy your f*cking coffee)."

Selanjutnya: Era Disrupsi dan Ketahanan Keluarga

 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Radhi Mafazi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler