x

Iklan

Alin FM

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Maret 2020

Sabtu, 4 April 2020 16:20 WIB

Mengemis Cinta di Negara Korporasi


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keterlibatan pengusaha baik asing maupun domestik dalam proses politik di Indonesia bukan fenomena baru. Hanya saja kecenderungannya semakin meningkat seiring konsistensi Indonesia mengadopsi sistem kapitalisme-demokrasi dan ekonomi neoliberalisme. Terdapat hubungan simbiosis mutualisme antara pengusaha dan penguasa. Penguasa memerlukan sokongan dana untuk kejayaan politiknya sedangkan pengusaha membutuhkan dukungan politik untuk memperluas kepentingan bisnisnya. Politik transaksional bukanlah rahasia umun lagi.

Penjualan undang-undang, pasal per pasal hingga ayat per ayat menjadi fenomena yang biasa terjadi. Maka muncullah berbagai regulasi yang secara kasat mata dibuat untuk menjustifikasi penguasaan korporasi atas sumber-sumber vital secara legal, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Mineral dan Batubara, UU Migas, UU Pendidikan Nasional, UU Perbankan, UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Air, UU SJSN dan BPJS, dan lain-lain menjadi bukti konkrit. Legalisasi undang-undang untuk kepentingan pengusaha bahkan korporat asing.

Jadi, negara korporasi adalah negara yang dibangun di atas persekutuan antara kelompok politikus dan kelompok pengusaha dengan menjadikan negara sebagai instrumen untuk mengakomodir kepentingan kedua pihak. Bahkan seringkali kepentingan bisnis yang mendominasi keputusan-keputusan publik. Negara korporasi ibarat perusahaan yang selalu berfokus pada maksimalisasi profit. Seringkali pula negara mendapat tekanan dari korporasi-korporasi raksasa "multinational corporation".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekarang para politikus pengusaha yang naik ke tampuk kekuasaan. Mengaman semua kepentingan atas nama rakyat dengan bergabungnya kubu 01 dan 02. Indonesia secara otomatis bertransformasi menjadi negara korporasi, keputusan-keputusan politik berbau kepentingan bisnis. Beberapa Menteri pembantu Presiden pun berasal dari kalangan pengusaha kelas kakap bisa menjadi indikasinya. Dan Undang-undang syarat liberal kapitalistik akan semakin bermunculan yang muaranya semakin menyengsarakan rakyat demi kepentingan penguasa.

Sejarah panjang bangsa ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita, bahwa tidak cukup sekadar mengganti pemimpin, tidak selesai masalah hanya dengan mengganti rezim. Tidak ada perubahan mendasar meski telah sebelas kali pemilu dan enam kali presiden berganti. Rakyat tetap miskin, ekonomi kian sulit. Sebab, pemilu didesain hanya untuk memilih dan menjalankan roda pemerintahan Demokrasi transaksional penguasa dan pengusaha.

Teori demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sekarang bergeser ke definisi dari perusahaan besar, untuk perusahaan besar oleh perusahaan besar, "a government of the corporate, by corporate and for the corporation". Jadi pemerintahan dari korporasi, perusahaan besar yang mengendalikan, one man, one vote dari rakyat sudah dikendalikan dan sudah direkonstruksi dengan apik sehingga tidak lagi suara rakyat tapi suara korporasi.

Sistem Demokrasi memberi ruang besar bagi korporasi untuk memanfaatkan sumber-sumber vital negara dan masyarakat atas nama investasi. Dominasi korporasi baik asing maupun domestik semakin menguat. Karena itu, jika ingin Indonesia berubah menuju kondisi yang lebih baik, harus ada political will dari elite politik dan seluruh masyarakat untuk tidak hanya mengganti rezim, tapi juga mengganti sistem kapitalisme-demokrasi.

Cinta Seorang Pemimpin

Islam tentu tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Dalam ajaran Islam tidak dikenal sekularisasi atau pemisahan urusan agama dengan urusan dunia, termasuk pemisahan agama dengan kekuasaan.

Sebegitu lekatnya hubungan Islam dan kekuasaan, keduanya laksana saudara kembar. Imam al-Ghazali menyatakan, "Agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaga. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap." (Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I'tiqad, hlm. 199).

Menurut Imam an-Nasafi, keberadaan penguasa bertujuan untuk memelihara urusan umat dan menegakkan hukum-hukum Islam (An-Nasafi, Aqa'id an-Nasafi, hlm. 142). Tanpa kehadiran penguasa, berbagai perintah dan larangan Allah tak dapat ditegakkan, dan kepentingan umat akan terabaikan.

Islam menjelaskan bahwa ada dua jenis penguasa di muka bumi ini: yang Allah cintai dan yang Allah benci. Pemimpin yang Allah cintai adalah pemimpin yang adil. Kelak pada Hari Kiamat ia akan menjadi insan yang paling dicintai Allah SWT dan memiliki kedudukan yang dekat dengan-Nya. Rasulullah saw. bersabda:

"Sungguh manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya dengan-Nya adalah pemimpin yang adil." (HR at-Tirmidzi).

Selain dicintai Allah SWT, pemimpin yang baik pastinya dicintai dan didoakan oleh segenap rakyatnya. Ini sebagaimana sabda Nabi saw.:

"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; yang mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka." (HR Muslim).

Sosok pemimpin yang adil, yang dicintai Allah dan umat, adalah yang menjalankan apa saja yang Allah perintahkan:

Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil (TQS an-Nisa' [4]: 58).

Rakyat berharap dapat merengkuh cinta dari seorang pemimpin yang benar-benar mengurus urusan rakyat. Lelah mengemis cinta di negara koorporasi. Tidak ada cinta untuk rakyat. Karena cinta negara koorporasi hanya antara penguasa dan pengusaha. Cinta sejati yang mampu menerima titah ilahi sebagai pemimpin akan lahir pada Sistem Islam yang menjalankan seluruh hukum-hukum Allah SWT tanpa terkecuali.

Oleh: Alin FM
Praktisi Multimedia dan Penulis

Ikuti tulisan menarik Alin FM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler