x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 5 April 2020 12:21 WIB

Dilema Dokter Saat Harus Memutuskan, Mana Pasien yang Dirawat dan Tidak

Faktanya sederhana: kapasitas rumah sakit (jumlah dokter, perawat, ruang/ranjang ICU dan ventilator) tidak sebanding dengan jumlah pasien Covid-19 yang terus bertambah secara eksponensial. Di hampir semua negara, sistem kesehatan kolaps.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dominique-Jean Larre, seorang dokter bedah yang bertugas di barisan prajurit Grande Armee, pasukan khusus Napoloen Boneparte yang kalah dalam pertempuran Waterloo (1815), harus menentukan prajurit mana yang perlu dan/atau tidak perlu diselamatkan. Ia lantas menentukan beberapa kriteria yang kemudian dijadikan acuan oleh dokter lain untuk memutuskan pasien mana yang perlu ditolong (hidupnya diselamatkan) dan pasien mana pula yang tidak perlu lagi ditolong (dibiarkan mati).
 
Konsep yang diperkenalkan Dominique-Jean Larre itu kemudian dikenal dengan istilah triage (berasal dari bahasa Perancis trier, yang bermakna memilih berdasarkan skala prioritas atau menyortir). Sebuah konsep perlakuan atau pengobatan (treatment) yang hari-hari ini sepertinya juga telah-sedang-dan-akan dipraktekkan sejumlah dokter ketika menangani pasien covid-19 di berbagai negara (Italia, Spanyol, Amerika, Kanada, Belanda, Inggris dan tentu saja Perancis serta sejumlah negara lainnya).
 
Dalam buku berjudul Hand Book of Nuclear, Biological and Chemical Agent Exposures (editor Jerrold B. Leikin dan Robin B. McFee; CRS Press, 2007)” disebutkan bahwa konsep dasar triage adalah “the maximal benefit to the largest number of people using the limited resources available (memaksimalkan sumber daya yang terbatas untuk sebanyak mungkin orang).”
 
Kajian tentang konsep triage itu kembali diulas sejumlah media internasional (misalnya artikel berjudul “Medical Ethical Dilemmas: Triage Under Trial”, di majalah The Economist, edisi 02 April 2020), dengan mengacu pada beberapa fakta baru di sejumlah negara terkait dengan penangangan pasien Covid-19.
 
Faktanya sederhana: kapasitas rumah sakit (jumlah dokter, perawat, ruang/ranjang ICU dan ventilator) tidak sebanding dengan jumlah pasien Covid-19 yang terus bertambah secara eksponensial. Di hampir semua negara, sistem kesehatan kolaps.
 
Di tengah situasi sistem kesehatan yang kolaps itu, dokter diperhadapkan pada situasi di mana mereka terpaksa mengambil keputusan dilematis alias buah simalakama: memutuskan pasian mana yang harus diprioritaskan untuk diselamatkan, dan pasian mana yang dibiarkan tak dirawat alias dibiarkan mati.
 
Ilustrasi: ketika seorang pasien muda masuk/datang ke rumah sakit, dan ia membutuhkan ventilator (alat bantu pernapasan), sementara semua ventilator sudah terpakai, pilihannya adalah mencabut ventilator yang sedang dipakai pasien yang lebih duluan dirawat. Dalam situasi seperti ini, berdasarkan para pakar, ventilator sebenarnya tidak terlalu efisien lagi bagi Lansia dan/atau pasien yang memiliki penyakit kronis, yang jika pun diselamatkan, masa hidupnya setelah sembuh juga tidak terlalu lama. Ya, wes, ...
 
Pada awal Maret 2020, seorang dokter di Eropa mengulas di akun medsos-nya tentang persatuan dokter anestasia dan analgesia di Italia (Siaarti), yang mengirim surat dan meminta Pemerintah Italia agar membuat semacam SOP (Standard Operational Procedures) terkait penggunaan ruang/ranjang ICU (Intensive Care Unit) yang intinya: diperuntukan untuk pasien usia tertentu saja, itu pun memprioritaskan pasien yang memiliki kemungkinan survive (harapan hidup) lebih tinggi. Alasannya, jumlah dokter dan perawat tidak lagi sebanding dengan jumlah pasien yang terus bertambah, dan ranjang/ICU di berbagai rumah sakit sudah over kapasitas.
 
Pada akhir Maret 2020, ada sebuah negara di Eropa yang bahkan telah membuat daftar 8 (delapan) penyakit, yang penderitanya kemungkinan akan dijadikan calon pasien yang "dikorbankan dan dibiarkan mati", ketika ruang ICU di rumah sakit sudah over kapasitas. Asumsinya, karena penderita delapan penyakit itu hanya memiliki 10 persen harapan hidup (terus terang, saya nggak tega menuliskan delapan penyakit itu).
 
Seolah mengantisipasi kemungkinan menghadapi situasi yang sama, pada 01 April 2020, British Medical Association membuat pernyataan jelas: “There is no ethically significant difference between dicisions to withold life-sustaining treatment or to withdraw it. Others clinically relevant factors being equal (tak ada perbedaan etis yang signifikan antara keputusan melakukan treatmen untuk mempertahankan hidup seorang pasien atau membiarkannya meninggal dunia. Semua faktor lain yang relevan secara klinis dianggap sama).”
 
Dalam situasi dilematis seperti itu, seorang dokter atau tim dokter bisa saja mengambil keputusan sulit, mungkin sambil menitikkan air mata dan nurani yang merintih.

Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 04 April 2020/ 11 Sya’ban 1441H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler