x

Foto

Iklan

Alfin Riki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Rabu, 8 April 2020 14:33 WIB

Memahami Definisi Kekerasan Seksual pada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)

Memahami Definisi Kekerasan Seksual pada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pada bulan Januari 2020, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masuk ke dalam daftar program legalisasi nasional (prolegnas) tahun 2020-2024. Menariknya, website tersebut memberikan dua jenis RUU yang masuk dalam Prolegnas yaitu daftar panjang, dan daftar prioritas berdasarkan penilaian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.

RUU PKS menjadi salah satu dari 50 RUU prioritas nasional pada periode tersebut. Namun, tidak seluruh kelompok masyarakat memiliki suara yang bulat mengenai RUU PKS. Meminjam istilah hukum, secara kajian sosiologis, beberapa topik sensitif menurut masyarakat masih didiskusikan sejak 17 Desember 2019 . Secara lebih lanjut, tulisan ini akan mencoba untuk membahas secara lebih lanjut definisi kekerasan seksual dalam RUU PKS yang sempat menjadi perdebatan dari sebagian kelompok masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk membedah beberapa poin tersebut, penting untuk kembali melihat mismatch yang terjadi antara definisi yang diusulkan dengan pemahaman masyarakat secara luas. Pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, definisi kekerasan seksual dijabarkan sebagai berikut “…setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik” . Berdasarkan kata yang digunakan, penulis beragumen terdapat tiga poin penting yaitu bentuk tindakan kekerasan, persetujuan (consent), serta konsekuensi-konsekuensi yang terjadi.

Secara kajian demografis, serta sosiologis, kasus kekerasan di Indonesia masih sulit untuk diketahui. Berdasarkan laporan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, sekitar 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2019. Meskipun data tersebut hanya berdasarkan laporan yang diterima oleh Komnas Perempuan, pengadilan agama, serta 239 mitra Komnas Perempuan di 33 provinsi, terdapat peningkatan 6% kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dibandingkan pada tahun sebelumnya . Data yang dikumpulkan masih belum mampu mencatat keseluruhan kasus mengingat inisiatif yang diberikan oleh lembaga terkait hanya bersifat penanganan kasus/dengan menjemput bola. Meskipun upaya tersebut dalam memberikan gambaran angka dan kasus kekerasan terhadap perempuan, namun pada saat yang sama juga berdampak terhadap kasus-kasus yang tidak dilaporkan, karena bedanya pemahaman masyarakat mengenai kekerasan seksual. Secara lebih lanjut, penting juga untuk mendiskusikan kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki yang hingga saat ini belum didiskusikan secara komprehensif pada masyarakat luas.

Keberadaan UU PKS mampu menjadi salah satu solusi untuk memunculkan kepedulian masyarakat terhadap poin-poin yang disampaikan di atas. Poin pertama pada undang-undang tersebut memberikan penjelasan yang empiris mengenai jenis kekerasan seksual yang mungkin terjadi baik pada laki-laki dan/atau perempuan. Pada poin kedua, RUU PKS memberikan penekanan pada kata persetujuan. Konsep persetujuan menjadi hal yang penting untuk dipahami secara lebih lanjut. Kompleksitas, dan lapisan (layers) dari konsep persetujuan penting untuk didiskusikan bersama dengan masyarakat. Contohnya, kekerasan seksual yang mungkin terjadi di dalam rumah tangga antara Istri atau Suami (pada keluarga konvensional). Tindakan pemaksaan atau tanpa persetujuan dalam aktivitas seksual menjadi isu yang sempat dibahas di media. Pada ranah praktis, bentuk persetujuan verbal seringkali dianggap sebagai persetujuan. Pemahaman yang baik terkait dengan konsep persetujuan menjadi potensi besar bagi RUU PKS dapat diterima oleh masyarakat luas.

Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menunjukan hasil yang baik dalam upaya meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai dampak kekerasan khususnya terhadap anak. Saat ini, sudah banyak lembaga yang ikut serta dalam mengkampanyekan UU Perlindungan Anak melalui aktivitas digital dan langsung. Bukti kesuksesan UU Pelindungan Anak dapat menjadi acuan pentingnya UU PKS dalam upaya penghapusan kekerasan seksual.

Namun, proses legalisasi RUU PKS juga mendapatkan belum mendapat suara penuh dari berbagai kelompok masyarakat. Secara singkat, kelompok masyarakat melihat UU PKS menentang KUHP terkait pasal 284 mengenai perzinaan, dan UUD 1945 Pasal 29 mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika dilihat secara lebih lanjut, keberadaan UU PKS mencoba untuk memberikan definisi yang relevan terkait pemahaman tindakan kekerasan seksual, yang tidak dibahas pada KUHP pasal 284 yang hanya membahas poin perzinaan. Keberadaan dari RUU PKS dan UUD 1945 menjadi tidak relevan karena RUU PKS dianggap tidak ada pembahasan terhadap nilai ketuhanan.

Tulisan ini mencoba untuk memberikan kesimpulan pentingnya untuk memahami pandangan masyarakat mengenai kekerasan seksual, serta membuka ruang diskusi lebih lanjut terkait dengan pasal-pasal yang dituliskan pada RUU PKS. Oleh sebab itu, penting juga untuk masyarakat agar ikut serta dalam proses perumusan RUU PKS sehingga definisi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan serta aspirasi masyarakat, terutama dalam konteks sosial dan budaya Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Alfin Riki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu